
Aku sudah memimpikan untuk belajar di
bangku perkuliahan, di kampungku hanya sedikit orang yang duduk di bangku
perkuliahan bukannya dia tidak mau tapi karena perekonomian yang sederhana,
apalagi jarak antara kampus dengan desaku cukup jauh, minimal 5 kali berganti
angkot atau dengan jasa ojeg. Sangat beruntung bagi Nanang bisa sampai
menyelesaikan pendidikan di bangku SMA. Tapi lepas dari SMA kebingungan
menyertainya, karena tidak tahu harus bagaimana lagi setelah menyelesaikan
pendidikan SMA. Keinginan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi tetap besar.
Namun semua itu tentunya sangat
berhubungan dengan biaya. Apalagi kalau kuliahnya harus pulang pergi, tentunya
biaya akan lebih tinggi dibandingkan dengan biaya kuliahnya. Dengan segala kegelisahan
yang ada, akhirnya semuanya diceritakan di hadapan kedua orang tuanya.
Mereka dengan penuh bijaksana
menerangkan semua kemungkinan yang akan terjadi dari kemungkinan kekurangan
uang dengan akan menjual sepetak sawah. Sampai dengan alternatif untuk tinggal
di rumah kakak ibunya.
Mendengar antusiasnya kedua orang
tuanya, membuat semangat Nanang bertambah untuk melanjutkan ke perguruan
tinggi. Memang keluarganya bisa dikatakan mapan untuk ukuran orang-orang yang
ada di kampung itu. Kedua orang tuanya memiliki beberapa petak sawah dan
menjadi salah satu tokoh di kampung itu.
“Nanang..” sapa ibunya ketika Nanang
sedang merapikan beberapa pakaian untuk dibawa ke kota. Ini ada surat dari
ayahmu untuk Oom di kota nanti. Sebuah surat yang mungkin penegasan dari ayah
Nanang untuk menyakinkan bahwa anaknya akan tinggal untuk sementara waktu di
rumah Oomnya.
Sebetulnya orang tua Nanang sudah
menelepon Tuan Budiman tetapi karena Tuan Budiman dan Nanang sangat jarang
sekali bertemu maka orang tua Nanang memberikan surat penegasan bahwa anaknya
akan tinggal di Bandung, di rumah Oomnya untuk sementara waktu.
Oomnya yang bernama Budiman memang
paling kaya dari keluarga ibunya yang terdiri dari empat keluarga. Oomnya yang
tinggal di Bandung dan mempunyai beberapa usaha dibidang jasa, percetakan
sampai dengan sebuah suratkabar mingguan dan juga bisnis lainnya yang sangat
berhasil.
Hubungan antara Oomnya yang bernama
Budiman dan kedua orang tua Nanang sebetulnya tidak ada masalah, hanya karena
kedua orang tua Nanang yang sering memberikan nasehat karena kelakuan Oomnya
yang sering berganti-ganti istri dan akibat dari berganti-ganti istri itu
sehingga anak-anaknya tercecer di mana-mana.
Menurut ibu Nanang, Oomnya telah
berganti istri sampai dengan empat kali dan sekarang ia sedang menduda. Dari
keempat istri tersebut Budiman dianugerahi empat anak, dua dari istri yang
pertama dan duanya lagi dari istri-istri yang kedua dan ketiga sedang dari
istri yang keempat Om Budiman tidak mempunyai anak.
Anak Om Budiman yang paling bungsu di
bawah Nanang dua tahun dan ia masih SMA di Bandung. Jadi usia Om Budiman
kira-kira sekarang berada diatas limapuluh tahun.
Sesampainya di kotanBandung yang begitu
banyak aktivitas manusia, Nanang langsung masuk ke sebuah kantor yang
bertingkat tiga. Kedatangannya ke kantor itu disambut oleh kedua satpam yang
menyambutnya dengan ramah. Belakangan diketahui namannya Asep dari papan nama
yang dikenakan di bajunya.
“Selamat siang Pak,” Tegur Nanang kepada
salah satu satpam yang ada dua orang.
“Selamat siang Dik, ada yang bisa
dibantu,” jawab satpam yang bernama Asep. “Anu Pak, apa Bapak Budiman ada?”
“Bapak Budiman yang mana Dik,” tegas
satpam Asep, karena melihat suatu keraguan bahwa tidak mungkin bosnya ada
bisnis dengan anak kecil yang baru berumur dua puluh tahunan.
“Anu Pak, apa ini PT. Rido,” tanya
Nanang menyusul keraguan satpam. Karena sebetulnya Nanang juga belum pernah
tahu di mana kantor-kantor Oomnya itu, apalagi bisnis yang digelutinya.
“Iya.. Benar Dik, dan Bapak Budiman itu
adalah pemilik perusahaan ini,” tegas satpam Asep menjelaskan tentang
keberadaan PT.Rido dan siapa pemiliknya.
“Adik ini siapa,” tanya satpam kepada
Nanang, sambil mempersilakan duduk di meja lobby bawah.
“Saya Nanang Pak, keponakan dari Bapak
Budiman dari desa Gunung Heulang.”. “Keponakan,” tegas satpam, sambil terus
mengangkat telepon menghubungi Pak Dadi kepercayaan Tuan Budiman.
Selang beberapa menit kemudian Pak Dadi
datang menghampiri Nanang sambil memberikan selamat datang di kotaBandung.
“Nanang.. Apa masih ingat sama Bapak,” kata Pak Dadi sambil duduk seperti teman
lama yang baru ketemu. Mimik Nanang jadi bingung karena orang
yang datang ini ternyata sudah mengenalnya. “Maaf Pak, Nanang Sudah lupa dengan
Bapak,” kata Nanang sambil terus mengigat-ingat.
Pak Dadi terus menerangkan dirinya,
“Saya yang dulu sering mancing bersama Tuan Budiman ketika Nanang berumur
kurang lebih lima tahun.”
Nanang jadi bingung, “Wah, Bapak bisa
saja.. mana saya ingat Pak, itu kan sudah bertahun-tahun.”
Selanjutnya obrolan dengan Pak Dadi yang
belakangan ini diketahui selain kepercayaan di kantor, ia juga sebagai tangan
kanan Tuan Budiman. Bapak Dadi mengetahui apa pun tentang Tuan Budiman.
Kadangkala anak Om Budiman sering minta uang pada Pak Dadi bila ternyata Om
Budiman sedang keluar kota.
Malah belakangan ini Om Budiman membeli
sebuah rumah dan di belakangnya dibuat lagi rumah yang tidak kalah besarnya
untuk Pak Dadi dan istrinya sedangkan yang depan dipakai oleh istri mudanya
yang kurang lebih baru berumur 35 tahun.
“Aduh Dik Nanang, Bapak tadi dapat
perintah dari Tuan Budiman bahwa ia tidak dapat menemani Dik Nanang karena
harus pergi ke Semarang untuk urusan bisnis. Dan saya diperintahkan untuk
mencukupi keperluan Dik Nanang.
Nah, sekarang kamu mau langsung pulang
atau kita jalan-jalan dulu,” sambung Pak Dadi melihat ekpresi Nanang yang
sedikit kecewa karena ketakutan akan tempat tinggal.
Melihat gelagat itu Pak Dadi langsung
berkomentar, “Jangan takut Dik Nanang pokoknya kamu tidak akan ada masalah,”
tegur Pak Dadi sambil menegaskan akan tidur dimana dan akan kuliah dimana, itu
semunya telah diaturnya karena mempunyai uang dan uang sangat berkuasa dibidang
apapun.
Mendengar itu Nanang menjadi tersenyum,
sambil melihat-lihat orang yang berlalu lalang di depanya. Kebetulan pada saat
itu jam masuk karyawan sudah dimulai. Begitu banyak karyawati yang
cantik-cantik ditambah lagi dengan penampilannya yang mengunakan rok mini.
Keberadaan Nanang sebagai keponakan dari
pemilik perusahan itu sudah tersebar dengan cepatnya. Ditambah lagi dengan postur
badan Nanang yang atletis dan wajah yang gagah membuat para karyawati semakin
banyak yang tersenyum bila melewati Nanang dan Pak Dadi yang sedang asyik
ngobrol.
Mereka tersenyum ketika bertatap wajah
dengan Nanang dan ia segaja duduk di lobby depan, meskipun tawaran untuk pindah
ke lobby tengah terus dilontarkan oleh Pak Dadi karena takut dimarahi oleh Tuan
Budiman. Memang tempat lobby itu banyak orang lalu lalang keluar masuk
perusahaan, dan semua itu membuat Nanang menjadi betah sampai-sampai lupa waktu
karena keasyikan cuci mata.
Keasyikan cuci mata terhenti ketika Pak
Dadi mengajaknya pulang dengan mengendarai sebuah mobil sedan dengan merek
Mesri terbaru, melaju ke sebuah kawasan villa yang terletak di
pinggirankotaBandung. Sebuah pemukiman elit yang terletak di pinggiran Kota
Bandung yang berjarak kurang lebih 17 Km dari pusat kota. Sebuah kompleks yang
sangat mengah dan dijaga oleh satpam.
Laju mobil terhenti di depan rumah biru
yang berlantai dua dengan halaman yang luas dan di belakangnya terdapat satu
rumah yang sama megahnya, kolam renang yang cantik menghiasi rumah itu dan
sebagai pembatas antara rumah yang sering didiami Om Budiman dan rumah yang
didiami Pak Dadi dan Istrinya.
Sedangkan pos satpam dan rumah kecil ada
di samping pintu masuk yang diisi oleh Mang Ade penjaga rumah dan istrinya Bi
Enung yang selalu menyiapkan makanan untuk Nyonya Budiman. Ketika mobil telah
berhenti, dengan sigap Mang Ade membawa semua barang-barang yang ada di bagasi
mobil. Satu tas penuh dibawa oleh Mang Ade dan itulah barang-barang yang dibawa
Nanang. Bi Enung membawa ke ruang tamu sambil menyuruhnya duduk untuk bertemu
dengan majikannya.
Pak Dadi yang sejak tadi menemaninya,
langsung pergi ke rumahnya yang ada di belakang rumah Om Budiman tetapi masih
satu pagar dengan rumah Om Budiman. Pak Dadi meninggalkan Nanang, sedangkan
Nanang ditemani oleh Bi Enung menuju ruang tengah. Setelah Tante Rani datang
sambil tersenyum menyapa Nanang, Bi Enung pun meninggalkan Nanang sambil
terlebih dahulu menyuruh menyiapkan air minum untuk Nanang.
“Tante sudah menunggu dari tadi Nanang,”
bisiknya sambil menggenggam tangan Nanang tanda mengucapkan selamat datang.
“Sampai-sampai Tante ketiduran di sofa”,
lanjut Tante Rani yang pada waktu itu menggunakan rok mini warna Merah. Wajah Tante
Rani yang cantik dengan uraian rambut sebahu menampakkan sifatnya yang ramah
dan penuh perhatian.
“Tante sudah tahu bahwa Nanang akan
datang sekarang dan Tante juga tahu bahwa Om Budiman tidak dapat menemanimu
karena dia sedang sibuk.”
Obrolan pun mengalir dengan punuh
kekeluargaan, seolah-olah mereka telah lama saling mengenal. Tante Rani dengan
penuh antusias menjawab segala pertanyaan Nanang. Gerakan-gerakan tubuh Tante
Rani yang pada saat itu memakai rok mini dan berhadapan dengan Nanang membuat
Nanang salah tingkah karena celana dalam yang berwarna biru terlihat dengan
jelas dan gumpalan-gumpalan bulu hitam terlihat indah dan menantang dari balik
CD-nya. Paha yang putih dan pinggulnya yang besar membuat kepala Nanang pusing
tujuh keliling. Meskipun Tante Rani telah yang berumur Kira-kira 35 tahun tapi
kelihatan masih seperti gadis remaja.
“Nah, itu Diah,” kata Tante Rani sambil
membawa Nanang ke ruang tengah. Terlihat gadis dengan seragam sekolah SMP.
Memang ruangan tengah rumah itu dekat dengan garasi mobil yang jumlah mobilnya
ada empat buah.
Sambil tersenyum, Tante Rani
memperkenalkan Nanang kepada Diah. Mendapat teman baru dalam rumah itu Diah
langsung bergembira karena nantinya ada teman untuk ngobrol atau untuk
mengerjakan PR-nya bila tidak dapat dikerjakan sendiri.
“Nanti Kak Nanang tidurnya sama Diah ya
Kak.” Mendapat pertanyaan itu Nanang dibuatnya kaget juga karena yang
memberikan penawaran tidur itu gadis yang tingginya hampir sama dengan Nanang.
Adik kakak yang sama-sama mempunyai badan sangat bangus dan paras yang sangat
cantik.
Lalu Tante Rani menerangkan kelakuan
Diah yang meskipun sudah besar karena badannya yang bongsor padahal baru kelas
dua SMP. Mendengar keterangan itu, Nanang hanya tersenyum dan sedikit heran
dengan postur badannya padahal dalam pikiran Nanang, ia sudah menaruh hati pada
Diah yang mempunyai wajah yang cantik dam putih bersih itu.
Setelah selesai berkeliling di rumah Om
Budiman dengan ditemani oleh Tante Rani, Nanang masuk ke kamarnya yang
berdekatan dengan kamar Diah. Memang di lantai dua itu ada empat kamar dan tiap
kamar terdapat kamar mandi. Tante Rani menempati kamar yang paling depan
sedangkan Nanang memilih kamar yang paling belakang, sedangkan kamar Diah
berhadapan dengan kamar Nanang.
Setelah membuka baju yang penuh
keringat, Nanang melihat-lihat pemandangan belakang rumah. Tanpa sengaja
terlihat dengan jelas Pak Dadi sedang memeluk istrinya sambil nonton TV. Tangan
kanannya memeluk istrinya yang bermana Astri.
Sedangkan tangan kirinya menempel
sebatang rokok. Keluarga Pak Dadi dari dulu memang sangat rukun tetapi sampai
sekarang belum dikeruniai anak dan menurut salah satu dokter pribadi Om
Budiman, Pak Dadi divonis tidak akan mempunyai anak karena di dalam spermanya
tidak terdapat bibit yang mampu membuahinya.
Hari-hari selanjutnya Nanang semakin
kerasan tinggal di rumah Om Budiman karena selain Tante Rani Yang ramah dan
seksi, juga kelakuaan Diah yang menggemaskan dan kadang-kadang membuat batang
kemaluan Nanang berdiri.
Nanang semakin tahu tentang keadaan
Tante Rani yang sebetulnya sangat kesepian. Kenyataan itu ia ketahui ketika ia
dan tantenya berbelanja di suatu toko di pusat kota Bandung yang bernama BIP.
Tante Rani dengan mesranya menggandeng Nanang, tapi Nanang tidak risih karena
kebiasaan itu sudah dianggap hal wajar apalagi di depan banyak orang.
Tapi yang membuat kaget Nanang ketika di
dalam mobil, Tante Rani mengatakan bahwa ia sebetulnya tidak bahagia secara
batin. Mendengar itu Nanang kaget setengah mati karena tidak tahu apa yang
harus ia katakan. Tante Rani menceritakan bahwa Om Budiman sekarang itu sudah
loyo saat bercinta dengannya.
Nanang tambah bingung dengan apa yang
harus ia lontarkan karena ia tidak mungkin memberikan kebutuhan itu meskipun
selama ini ia sering menghanyalkan bila ia mampu memasukkan burungnya yang
besar ke dalam kemaluan Tante Rani.

Ketika mobil berhenti di lampu merah,
Tante Rani dengan berani tiduran di atas paha Nanang sambil terus bercerita
tentang kegundahan hatinya selama ini dan dia pun bercerita bahwa cerita ini
baru Nanang yang mengetahuinya.
Sambil bercerita, lipatan paha Tante
Rani yang telentang di atas jok mobil agak terbuka sehingga rok mininya melorot
ke bawah. Nanang dengan jelas dapat melihat gundukan hitam yang tumbuh di
sekitar kemaluan Tante Rani yang terbungkus CD nilon yang sangat transparan
itu.
Nanang menelah ludah sambil terus
berusaha menenangkan tantenya yang birahinya mulai tinggi. Ketika Nanang akan
memindahkan gigi perseneling, secara tidak segaja dia memegang buah dada
tantenya yang telah mengeras dan saat itu pula bibir tantenya yang merekah
meminta Nanang untuk terus merabanya.
Nanang menghentikan mobilnya di pinggir
jalan menuju rumahnya sambil berkata, “Aku tidak mungkin bisa melakukan itu
Tante,” Tante Rani hanya berkata, “Nanang, Tolong dong.. Tante sudah tidak kuat
lagi ingin gituan, masa Nanang tidak kasihan sama Tante.”
Tangan Tante Rani dengan berani membuka
baju bagian atas dan memperlihatkan buah dadanya yang besar. Terlihat buah dada
yang besar yang masih ditutupi oleh BH warna ungu menantang untuk disantap.

Melihat Nanang yang tidak ada
perlawanan, akhirnya Tante Rani memakai kembali bajunya dan duduk seperti
semula sambil diam seperti patung sampai tiba di rumah. Perjalanan itu membuat
Nanang jadi salah tingkah dengan kelakuan tantenya itu.
Kedekatan Nanang dengan Diah semakin
menjadi karena bila ada PR yang sulit Diah selalu meminta bantuan Nanang. Pada
saat itu Diah mendapatkan kesulitan PR matematika. Dengan sekonyong-konyong
masuk ke kamar Nanang.
Pada saat itu Ari baru keluar dari kamar
mandi sambil merenungkan tentang kelakuannya tadi siang dengan Tante Rani yang
menolak melakukan itu. Nanang keluar dari kamar mandi tanpa sehelai benang pun
yang menutupinya.
Dengan jelas Diah melihat batang
kemaluan Nanang yang mengerut kedinginan. Sambil menutup wajah dengan kedua
tangannya, Diah membalikkan badannya. Nanang hanya tersenyum sambil berkata,
“Mangkanya, kalau masuk kamar ketok
pintu dulu,” goda Nanang sambil menggunakan celana pendek tanpa celana dalam.
Kebiasaan itu dilakukan agar batang kemaluannya dapat bergerak dengan nyaman
dan bebas.
Nanang bergerak mendekati Diah dan
mencium pundaknya yang sangat putih dan berbulu-bulu kecil. “Ahh, geli Kak
Nanang.. Kak Nanang sudah pake celana yah,” tanya Diah.
“Belum,” jawab Nanang menggoda Diah.
“Ahh, cepet dong pake celananya. Diah
mau minta tolong Kak Nanang mengerjakan PR,” rengek Diah sambil tangan kirinya
meraba belakang Nanang.
Melihat rabaan itu, Nanang segaja
memberikan batang kemaluannya untuk diraba. Diah hanya meraba-raba sambil
berkata, “Ini apa Kak, kok kenyal.”
Mendapat rabaan itu batang kemaluan
Nanang semakin menengang dan dalam pikirannya kalau dengan Diah aku mau tapi
kalau dengan kakakmu meskipun sama-sama cantiknya tapi aku juga masih punya
pikiran yang betul, masa tenteku digarap olehku.
Rabaan Diah berhenti ketika batang
kemaluan Nanang sudah menegang setengahnya dan ia melepaskan rabaannya dan
langsung membalikkan badannya. Nanang kaget dan hampir saja tali kolornya yang
terbuat dari karet, menjepit batang kemaluannya yang sudah menegang.
Tangan yang tadi digunakan meraba batang
kemaluan Nanang kembali digunakan menutup wajahnya dan perlahan Diah membuka
tangannya yang menutupi wajahnya dan terlihat Nanang sudah memakai celana
pendek.
“Nah, gitu dong pake celana,” kata Diah
sambil mencubit dada Nanang yang menempel di susu kecil Diah. “Udah dong
meluknya,” rintih Diah sambil memberikan buku Matematikanya.
Saling memeluk antara Nanang dan Diah
sudah merupakan hal yang biasa tetapi ketika Nanang merasakan kenikmatan dalam
memeluk Diah, Diah tidak merasakan apa-apa mungkin karena Diah masih anak
ingusan yang badannya saja yang bongsor.
Nanang langsung naik ke atas ranjang
besarnya dan bersandar di bantal pojok ruangan kamar itu. Meskipun ada meja
belajar tapi Nanang segaja memilih itu karena Diah sering menindihnya dengan
pantatnya sehingga batang kemaluan Nanang terasa hangat dibuatnya.
Dan memang seperti dugaan Nanang, Diah
tiduran di dada Nanang. Pada saat itu Diah menggunakan daster yang sangat tipis
dan di atas paha sehingga celana dalam berwarna putih dan BH juga yang warna
putih terlihat dengan jelas. Diah tidak merasa risih dengan kedaan itu karena
memang sudah seperti itu hari-hari yang dilakukan bersama Nanang.
Sambil mengerjakan PR, pikiran Nanang
melayang-layang bagaimana caranya agar ia dapat mengatakan kepada Diah bahwa
dirinya sekarang berubah hati menjadi cinta pada Diah. Tapi apakah dia sudah
mengenal cinta soalnya bila orang sudah mengenal cinta biasanya syahwatnya juga
pasti bergejolak bila diperlakukan seperti yang sering dilakukan oleh Nanang
dan Diah.
PR pertama telah diselesaikan dengan
cepat, Diah terseyum gembira. Terlihat dengan jelas payudara Diah yang kecil.
Pikiran Nanang meliuk-liuk membayangkan seandainya ia mampu meraba susu itu
tentunya sangat nikmat dan sangat hangat. Ketegangan Nanang semakin menjadi ketika
batang kemaluannya yang tanpa celana dalam itu tersentuh oleh pinggul Diah yang
berteriak karena masih ada PR-nya yang belum terisi. Memang posisi Nanang
menerangkan tersebut ada di bawah Diah dan pinggul Diah sering bergerak-gerak
karena sifatnya yang agresif. Gerakan badan Diah yang agresif itu
membuat paha putihnya terlihat dengan jelas dan kadangkala gumpalan kemaluannya
terlihat dengan jelas hanya terhalang oleh CD yang berwarna putih. Hal itu
membuat nafas Nanang naik turun.
Diah tidak peduli dengan apa yang
terjadi pada batang kemaluan Nanang, malah Diah semakin terus bermanja-manja
dengan Nanang yang terlihat bermalas-malasan dalam mengerjakan PR-nya itu.
Pikiran Nanang semakin kalang kabut ketika Diah mengerak-gerakkan badan ke
belakang yang membuat batang kemaluannya semakin berdiri menegang.
Dengan pura-pura tidak sadar Nanang
meraba gundukan kemaluan Diah yang terbungkus oleh CD putih. Bukit kemaluan
Diah yang hangat membuat Nanang semakin bernafsu dan membuat nafasnya semakin
terengah-engah.
“Kak cepat dong kerjakan PR yang satunya
lagi. Yang ini, yang nomor sepuluh susah.” Nanang membalikkan badannya sehingga
bukit kemaluan Diah tepat menempel di batang kemaluan Nanang. Dalam keadaan itu
Diah hanya mendekap Nanang sambil terus berkata, “Tolong ya Kak, nomor
sepuluhnya.”
“Boleh, tapi ada syaratnya,” kata Nanang
sambil terus merapatkan batang kemaluannya ke bukit kemaluan Diah yang masih
terbungkus CD warna Putih. Pantat Diah terlihat dengan jelas dan mulai merekah
membentuk sebuah badan seorang gadis yang sempurna, pinggul yang putih membuat
Nanang semakin panas dingin dibuatnya. Diah hanya bertanya apa syaratnya kata
Diah sambil mengangkat wajahnya ke hadapanya Nanang. Dalam posisi seperti itu
batang kemaluan Nanang yang sudah menegang seakan digencet oleh bukit kemaluan
Diah yang terasa hangat. Nanang tidak kuat lagi dengan semua itu,
ia langsung mencium mulut Diah. Diah hanya diam dan terus menghidar ciuman itu.
“Kaak… apa dong syaratnya”, kata Diah manja agresif menggerak-gerakkan badannya
sehingga bukit kemaluannya terus menyentuh-nyentuh batang kemaluan Nanang. Gila anak ini belum tahu apa- apa
tentang masalah seks. Memang Diah tidak merasakan apa-apa dan ia seakan-akan
bermain dengan teman wanitanya tidak ada rasa apa pun. “Syaratnya kamu nanti
akan kakak peluk sepuasnya.”. Mendengar itu Diah hanya tertawa, suatu
syarat yang mudah, dikirain harus pus-up 1000 kali. Konsenterasi Nanang dibagi
dua yang satu terus mendekatkan batang kemaluannya agar tetap berada di bawah
bukit kemaluan Diah yang sering terlepas karena Diah yang banyak bergerak dan
satunya lagi berusaha menyelesaikan PR-matematikanya. Diah terus mendekap badan Nanang sambil
kadang-kadang menggerakkan lipatan pahanya yang menyetuh paha Nanang. Setelah selesai mengerjakan PR-nya,
Nanang menggerak-gerakkan pantatnya sehingga berada tepat di atas bukit
kemaluan Diah. Nanang semakin tidak tahan dengan kedaaan itu dan langsung
meraba-raba pantat Diah. Ketika Nanang akan meraba payudara Diah. Diah bangkit
dan terus melihat ke wajah Nanang, sambil berkata, “PR-nya sudah Kaak..
Nanang,” sambil Menguap. Melihat PR-nya yang sudah dikerjakan
Nanang, Diah langsung memeluk Nanang erat-erat seperti memeluk bantal guling karena
syaratnya itu. Kesempatan itu tidak dilewatkan oleh Nanang begitu saja, Nanang
langsung memeluk Diah berguling-guling sehingga Diah sekarang berada di bawah
Nanang. Mendapat perlakuan yang kasar dalam
memeluk itu Diah berkata, “Masa Kakak meluk Diah nggak bosan-bosan.” Berbagai
alasan Nanang lontarkan agar Diah tetap mau di peluk dan akhirnya akibat
gesekan-gesekan batang kemaluan Nanang bergerak-gerak seperti akan ada yang
keluar. Dan pada saat itu Diah berhasil lepas
dari pelukan Nanang sambil pergi dan tidak lupa melenggokkan pantatnnya yang
besar sambil mencibirkan mulutnya.
“Aduh, Gila si Diah masih tidak
merasakan apa-apa dengan apa yang barusan saya lakukan,” guman Nanang dalam
hati sambil terus memengang batang kemaluannya. Nanang berusaha menetralisir
batang kemaluannya agar tidak terlalu tegang. “Tenang ya jago, nanti kamu juga akan
menikmati kepunyaan Diah cuma tinggal waktu saja. Nanti saya akan pura-pura
memberikan pelajaran Biologi tentang anatomi badan dan di sanalah akan saya
suruh buka baju. Masa kalau sudah dibuka baju masih belum terangsang.”
Nanang memang punya prinsip kalau dalam
berhubungan badan ia tidak mau enak sediri tapi harus enak kedua-duanya. Itulah
pola pikir Nanang yang terus ia pertahankan. Seandainya ia mau tentunya dengan
gampang ia memperkosa Diah. Ketegangan batang kemaluan Nanang terus
bertambah besar tidak mau mengecil meskipun sudah diguyur oleh air. Untuk
menghilangkan kepenatan Nanang keluar kamar sambil membakar sebatang rokok.
Ternyata Tante Rani masih ada di ruang
tengah sambil melihat TV dan meminum susu yang dibuatnya sendiri. Tante Rani
yang menggunakan tank top dengan rambut yang dibiarkan terurai tampak
sangat cantik malam itu. Lekukan tubuhnya terlihat dengan jelas
dan kedua payuadaranya pun terlihat dengan jelas tanpa BH, juga pahanya yang
putih dan mulus terpampang indah di hadapannya. Keadaan itu terlihat karena
Tante Rani duduk di sofa yang panjang dengan kaki yang putih menjulur ke depan.
Ketenganan Nanang semakin memuncak
melihat keidahan tubuh Tante Rani yang sangat seksi dan mulus itu. “Kamu kenapa belum tidur,” kata
Tante Rani sambil menuangkan segelas air susu untuk Nanang.
“Anu Tante, tidak bisa tidur,” balas
Nanang dengan gugup.
Memang Tante Rani yang cantik itu tidak
merasa canggung dengan keberadaan Nanang, ia tidak peduli dengan keberaan nya malah ia segaja memperlihatkan keindahan tubuhnya di hadapan Nanang yang sudah
sangat terangsang.
“Maaf ya, Tante tadi siang telah berlaku
kurang sopan terhadap Nanang.”
“Tidak apa-apa Tante, Nanang mengerti
tentang hal itu,” jawab Nanang sambil terus menahan gejolak nafsunya yang sudah
diluar batas normal ditambah lagi dengan perlakuan Diah yang membuat batang
kemaluannya semakin menegang tidak tentu arah.
“Oom ke mana Tante, kok tidak kelihatan,”
tanya Nanang mengisi perbincangan.
“Kamu tidak tahu, Oom kan sedang ke Bali
mengurus proyek yang baru,” jawab Tante Rani.
Memang Om Budiman sangat jarang sekali
ada di rumah dan itu membuat Ari semakin tahu akan kebutuhan batin Tante Rani,
tapi itu tidak mungkin dilakukannya dengan tantenya.
Nanang dan Tante Rani duduk di sofa yang
besar sambil sesekali tubuhnya digerak-gerakkan seperti cacing kepanasan. Tak
diduga sebelumnya oleh Nanang, Tante Rani membuka dasternya yang menutupi paha
putihnya yang putih bersih sambil menggaruk-garukkan tangannya di seputar
gundukan kemaluannya.
Mata Nanang melongo tidak percaya. Dua
kali dalam satu hari ia melihat paha Tante Rani, tapi yang ini lebih parah dari
yang tadi siang di dalam mobil, sekarang Tante Rani tidak menggunakan celana
dalam. Kemaluannya yang ditumbuhi bulu-bulu yang hitam tersingkap dengan jelas
dan tangan Tante Rani terus menggaruk-garuk di seputar kemaluannya itu karena
merasa ada yang gatal.
Melihat itu Nanang semakin gelisah dan
tidak enak badan ditambah lagi dengan ketegangan di batang kemaluannya yang
semakin menegang.
“Kamu kenapa Nanang,” tanya Tante Rani
yang melihat wajah Nanang keluar keringat dingin.
“Nggak Tante, Nanang cuma mungkin
capek,” balas Nanang sambil terus sekali-kali melihat ke pangkal paha putih
milik Tante Rani.
Setelah merasa agak baikan di sekitar
kemaluannya, Tante Rani segaja tidak menutup pahanya, malah ia duduk bersilang
sehingga terlihat dengan jelas pangkal pahanya dan kemaluannya yang merekah.
Melihat Nanang semakin menegang, Tante Rani tersenyum dan mempersilakan Nanang
untuk meminum susu yang dituangkan di dalam gelas itu.
Ketegangan Nanang semakin memuncak dan
Nanang tidak berani kurang ajar pada tantenya meskipun tahu bahwa tantenya
segaja memperlihatkan kemulusan pahanya itu. “Tante, saya mau ke paviliun
belakang untuk mencari udara segar. ” Melihat Nanang yang sangat tegang itu
Tante Rani hanya tersenyum, dalam pikirannya sebentar lagi kamu akan tunduk
padaku dan akan meminta untuk tidur denganku.
Sebelum sampai ke paviliun belakang
Nanang jalan-jalan dulu di pinggiran kolam lalu ia duduk sambil melihat kolam
di depannya. Sambil terus berusaha menahan gejolaknya antara menyetubuhi
tantenya atau tidak. Sambil terus berpikir tentang kejadian itu.
Tidak segaja ia mendegar rintihan dari
belakang yang kebetulan kamar Pak Dadi. Nanang terus mendekati kamar Pak Dadi
yang kebetulan dekat dengan Paviliun. Nanang mengendus-endus mendekati jendela
dan ternyata jendelanya tidak dikunci dan dengan mudah Nanang dapat melihat
adegan suami istri yang sedang bermesraan.
Di dalam kamar yang berukuran cukup
besar itu, Nanang melihatnya leluasa karena hanya terhalang oleh tumpukan
pakaian yang digantung dekat jendela itu. Di dalamnya ternyata Pak Dadi dengan
istrinya sedang bermesraan.
Istri Pak Dadi yang bernama Astri sedang
asyik mengulum batang kejantanan Pak Dadi dengan lahapnya. Dengan penuh birahi
Astri terus melahap dan mengulum batang kemaluan Pak Dadi yang ukurannya lebih
kecil dari ukuran yang dimiliki Nanang.
Astri terus mengulum batang kemaluan Pak
Dadi. Posisi Pak Dadi yang masih menggunakan pakaian dan celananya yang telah
melorot ada di lantai dengan posisi berdiri terus mengerang-erang kenikmatan yang
tiada bandingnya sedangkan Astri jongkok di lantai.
Terlihat Astri menggunakan CD warna
hitam dan BH warna hitam. Erangan-erangan Pak Dadi membuat batang kemaluan Pak
Dadi semakin mesra di kulum oleh Astri.
Dengan satu gerakan Astri membuka daster
yang dipakainya karena melihat suaminya sudah kewalahan dengan kulumannya. Terlihat
dengan jelas buah dada yang besar masih ditutupi BH hitamnya. Pak Dadi membantu
membuka BH-nya dan dilanjutkan dengan membuka CD hitam Astri. Astri yang masih
melekat di bandan Pak Dadi meminta Pak Dadi supaya duduk di samping ranjang.
Lalu Pak Dadi menyuruh
Astri telentang di atas ranjang dan pantatnya diganjal oleh bantal sehingga
dengan jelas terlihat bibir kemaluan Astri yang merah merekah menantang
kejantanan Pak Dadi.
Sebelum memasukkan batang kemaluannya,
Pak Dadi mengoleskan air ludahnya di permukaan bukit kemaluan Astri. Dengan
kaki yang ada di pinggul Pak Dadi, Astri tersenyum melihat hasil karyanya yaitu
batang kemaluan suaminya tercinta telah mampu bangkit dan siap bertempur.
Dengan perlahan batang kemaluan Pak Dadi
dimasukkan ke dalam liang kemaluan Astri, terlihat Astri merintih saat
merasakan kenikmatan yang tiada tara, kepala Astri dibolak-balikkan tanpa arah
dan tangannya terus meraba-raba dada Pak Dadi dan sekali-kali meraba buah
dadanya.
Memang beradunya batang kemaluan Pak
Dadi dengan liang senggama Astri terasa cukup lancar karena ukurannya sudah pas
dan kegiatan itu sering dilakukannya. Erangan-erangan Astri dan Pak Dadi
membuat tubuh Nanang semakin Panas dingin, entah sudah berapa menit lamanya
Tante Rani memainkan kemaluan Nanang yang sudah menegang, ia tersenyum ketika
tahu bahwa di belakangnya ada orang yang sedang memegang kemaluannya.
“Tante, kapan Tante datang”, suara
Nanang perlahan karena takut ketahuan oleh Pak Dadi sambil berusaha menjauh
dari tempat tidur Pak Dadi. Tangan Tante Rani terus menggandeng Nanang menuju
ruang tengah sambil tangannya menyusup pada kemaluan Nanang yang sudah menegang
sejak tadi. Sesampainya di ruang tengah, Nanang
duduk di tempat yang tadi diduduki Tante Rani, sementara Tante Rani tiduran
telentang sambil kepalanya ada seputar pangkal paha Nanang dengan posisi pipi
kanannya menyentuh batang kemaluan Nanang yang sudah menegang.
“Kamu kok orang yang sedang begituan
kamu intip, nanti kamu jadi panas dingin dan kalau sudah panas dingin susah
untuk mengobatinya. Untung saja kamu tadi tidak ketahuan oleh Pak Dadi kalau
kamu ketahuan kamu kan jadi malu. Apalagi kalau ketahuan sama Oommu
bisa-bisa Tante ini, juga kena marah.” Tante Rani memberikan nasehat-nasehat
yang bijak sambil kepalanya yang ada diantara kedua selangkangan Nanang terus
digesek-gesek ke batang kemaluan Nanang.
“Tante tahu kamu sekarang sudah besar
dan kamu juga tahu tentang kehidupan seks. Tapi kamu pura-pura tidak mau,” goda
Tante Rani,
“Dan kamu sudah tahu keinginan Tantemu
ini, kamu malah mengintip kemesraan Pak Dadi,” nasehat-nasehat itu terus
terlontar dari bibir yang merah merekah, dilain pihak pipi kirinya
digesek-gesekkan pada batang kemaluan Nanang.

Nanang semakin tidak dapat lagi menahan
gejolak yang sangat tinggi dengan tekanan voltage yang berada diluar batas
kemanusiaan.
“Tante jangan gitu dong, nanti saya jadi
malu sama Tante apalagi nanti kalau oom sampai tahu.” Mendengar elakan Nanang,
Tante Rani malah tersenyum, “Dari mana Oommu tahu kalau kamu tidak
memberitahunya.”
Gila, dalam pikiraanku mana mungkin aku
memberitahu Oomku. Gerakan kepala Tante Rani semakin menjadi ditambah lagi kaki
kirinya diangkat sehingga daster yang menutupi kakinya tersingkap dan gundukan
hitam yang terawat dengan bersih terlihat merekah.
Bukit kemaluan Tante Rani terlihat
dengan jelas dengan ditumbuhi bulu-bulu yang sudah dicukur rapi sehingga
terlihat seperti kemaluan gadis seumur Diah.
Nanang sebetulnya sudah tahu akan
keinginan Tante Rani. Tapi batinnya mengatakan bahwa dia tidak berhak untuk
melakukannya dengan tantenya yang selama ini baik dan selalu memberikan
kebutuhan hidupnya.
Tanpa disadari tantenya sudah menaikkan
celana pendeknya yang longgar sehingga kepala batang kemaluan Nanang terangkat
dengan bebas dan menyentuh pipi kirinya yang lebut dan putih itu. Melihat
Keberhasilanya itu Tante Rani membalikkan badan dan sekarang Tante Rani
telungkup di atas sofa dengan kemaluannya yang merekah segaja diganjal oleh
bantal sofa.
Tangan Tante Rani terus memainkan batang
kemaluan Nanang dengan sangat lembut dan penuh kasih sayang. “Aduh punya kamu
ternyata besar juga,” bisik Tante Rani mesra sambil terus memainkan batang
kejantanan Nanang dengan kedua tangannya.
“Masa kamu tega sama Tante dengan tidak
memberikan reaksi apa pun Riee,” bisik Tante Rani dengan nafas yang berat.
Mendengar ejekan itu hati Nanang semakin berontak dan rasanya ingin menelan
tubuh molek di depannya bulat-bulat dan membuktikan pada tantenya itu bahwa
saya sebetulnya bisa lebih mampu dari Pak Dadi.
Mulut Tante Rani yang merekah telah
mengulum batang kemaluan Nanang dengan liarnya dan terlihat badan Tante Rani
seperti orang yang tersengat setrum ribuan volt.
“Ayoo doong Riee, masa kamu akan
menyiksa Tante dengan begini… ayo dong gerakin tanganmu.
” Kata-kata itu terlontar sebanyak tiga
kali. Sehingga tangan Nanang semakin berani menyentuh pantatnya yang terbuka.
Dengan sedikit malu-malu tapi ingin karena sudah sejak tadi batang kemaluan Ari
menegang. Nanang mulai meraba-saba pantatnya dengan penuh kasih sayang.
Mendapakan perlakuan seperti itu, Tante
Rani terus semakin menggila dan terus mengulum kepuyaan Nanang dengan penuh
nafsu yang sudah lama dipendam. Sedotan bibir Tante Rani yang merekah itu
seperti mencari sesuatu di dalam batang kemaluan Nanang.
Mendapat serangan yang sangat berapi-api
itu akhirnya Nanang memutar kaki kirinya ke atas sehingga posisi Nanang dan
tantenya seperti huruf T.
Tangan Nanang semakin berani
mengusap-usap pinggul tantenya yang tersingkap dengan jelas. Daster tantenya yang
sudah berada di atas pinggulnya dan kemaluan tantenya dengan lincah menjepit
bantal kecil sofa itu.
“Ahkkk, nikmat..” Tantenya mengerang
sambil terus merapatkan bibir kemaluannya ke bantal kecil itu sambil
menghentikan sementara waktu kulumannya. Ketika ia merasakan akan orgasme.
“Nanang… Tante sudah tidak tahan lagi
nich..” diiringi dengan sedotan yang dilakukan oleh tantenya itu karena
tantenya ternyata sangat mahir dalam mengulum batang kemaluannya sementara
tangannya dengan aktif mempermainkan sisi-sisi batang kemaluan Nanang sehingga
Nanang dibuatnya tidak berdaya.
“Aduh . aduh.. Tante nikmat sekalii…”
erang tantenya semakin menjadi-jadi. Hampir tiga kali Tante Rani merintih
sambil mengerang. “Aduuh Rieee.. terus tekan-tekan pantat Tante..” desah Tante
Rani sambil terus menggesek-gesekkan bibir kemaluannya ke bantal kecil itu.
Nanang meraba kemaluan tantenya,
ternyata kemaluan Tante Rani sudah basah oleh cairan-cairan yang keluar dari
liang kewanitaannya.
“Nanange… nah itu terus Riee.. terus..”
erang Tante Rani sambil tidak henti-hentinya mengulum batang kemaluan Nanang.
“Kamu kok kuat sekali Riee,” bisik tante
rRni dengan nafas yang terengah-engah sambil terus mengulum batang kemaluan
Nanang. Tante Rani setengah tidak percaya dengan kuluman yang dilakukannya
karena belum mampu membuat Nanang keluar sperma.
Nanang berguman, “Belum tahu dia, ini
belum seberapa. Tante pasti sudah keluar lebih dari empat kali terbukti dengan
bantal yang digunakan untuk mengganjal liang kewanitaannya basah dengan cairan
yang keluar seperti air hujan yang sangat deras.”
Melihat batang kemaluan Nanang yang
masih tegak Tante Rani semakin bernafsu, ia langsung bangkit dari posisi
telungkup dengan berdiri sambil berusaha membuka baju Nanang yang masih melekat
di badannya.
“Buka yaa Sayang bajunya,” pinta Tante
Rani sambil membuka baju Nanang perlahan namun pasti. Setelah baju Nanang
terbuka, Tante Rani membuka juga celana pendek Nanang agar posisinya tidak
terganggu.
Lalu Tante Rani membuka dasternya dengan
kedua tangannya, ia sengaja memperlihatkan keindahan tubuhnya di depan Nanang.
Melihat dua gunung yang telah merekah oleh gesekan sofa dan liang kewanitaan
tantenya yang merah ranum akibat gesekan bantal sofa, Ari menelan ludah. Ia
tidak membayangkan ternyata tantenya mempunyai tubuh yang indah. Ditambah lagi
ia sangat terampil dalam memainkan batang kemaluan laki-laki.
Masih dengan posisi duduk, tantenya
sekarang ada di atas permadani dan ia langsung menghisap kembali batang
kemaluan Nanang sambil tangannya bergantian meraba-raba sisi batang kemaluan
Nanang dan terus mengulumnya seperti anak kecil yang baru mendapatkan permen
dengan penuh gairah.

Dengan bantuan payudaranya yang besar,
Tante Rani menggesek-gesek payudaranya di belahan batang kemaluan Nanang.
Dengan keadaan itu Nanang mengerang kuat sambil berkata, “Aduh Tante.. terus
Tante..” Mendengar erangan Nanang, Tante Rani tersenyum dan langsung
mempercepat gesekannya.
Melihat Nanang yang akan keluar, Tante
Rani dengan cepat merubah posisi semula dengan mengulum batang kemaluan dengan
sangat liar. Sehingga warna batang kemaluan Nanang menjadi kemerah-merahan dan
di dalam batang kemaluannya ada denyutan-denyutan yang sangat tidak teratur.
Nanang menahan nikmat yang tiada tara
sambil berkata, “Terus Tante.. terus Tante..”, Dan Nanang pun mendekap kepala
tantenya agar masuk ke dalam batang kemaluannya dan semprotan yang maha dahsyat
keluar di dalam mulut Tante Rani yang merekah.

Mendapatkan semburan lahar panas itu,
Tante Rani kegirangan dan langsung menelannya dan menjilat semua yang ada di
dalam batang kemaluan Nanang yang membuat Nanang meraung-raung kenikmatan.
Terlihat dengan jelas tantenya memang sudah berpengalaman karena bila sperma
sudah keluar dan batang kemaluan itu tetap disedotnya maka akan semakin nikmat
dan semakin membuat badan menggigil.
Melihat itu Tante Rani semakin
menjadi-jadi dengan terus menyedot batang kemaluan Nanang sampai keluar bunyi
slurp…, slurp…, akibat sedotannya. Setelah puas menjilat sisa-sisa mani yang
menempel di batang kemaluan Nanang, lalu Tante Rani kembali mengulum batang
kejantanan Nanang dengan mulutnya yang seksi.
Melihat batang kemaluan Nanang yang
masih memberikan perlawanan, Tante Rani bangkit sambil berkata, “Gila kamu
Rieee.. kamu masih menantang tantemu ini yaah.. Tante sudah keluar hampir empat
kali kamu masih menantangnya.
” Mendengar tantangan itu, Nanang hanya
tersenyum saja dan terlihat Tante Rani mendekat ke hadapan Nanang sambil
mengarahkan liang kewanitaannya untuk melahap batang kemaluan Nanang. Sebelum
memasukkan batang kemaluan Nanang ke liang kewanitaannya, Tante Rani terlebih
dahulu memberikan ciuman yang sangat mesra dan Nanang pun membalasnya dengan
hangat.
Saling pagut terjadi untuk yang kedua
kalinya, lidah mereka saling bersatu dan saling menyedot. Tante Rani semakin
tergila-gila sehingga liang kewanitaannya yang tadinya menempel di atas batang
kemaluan Nanang sekarang tergeser ke belangkang sehingga batang kemaluan Nanang
tergesek-gesek oleh liang kewanitaannya yang telah basah itu.
Mendapat perlakuan itu Nanang mengerang
kenikmatan. “Aduuh Tante…” sambil melepaskan pagutan yang telah berjalan cukup
lama.
“Clepp…” suara yang keluar dari
beradunya dua surga dunia itu, perlahan namun pasti Tante Rani mendorongnya
masuk ke lembah surganya. Dorongan itu perlahan-lahan membuat seluruh urat nadi
Nanang bergetar.
Mata Tante Rani dipejamkan sambil terus
mendorong pantatnya ke bawah sehingga liang kewanitaan Tante Rani telah
berhasil menelan semua batang kemaluan Nanang. Tante Rani pun terlihat menahan
nikmat yang tiada tara.
“Nanangee…” rintihan Tante Rani semakin
menjadi ketika liang senggamanya telah melahap semua batang kemaluan Nanang.
Tante Rani diam untuk beberapa saat sambil menikmati batang kemaluan Nanang
yang sudah terkubur di dalam liang kewanitaannya.

“Riee, Tante sudah tidak kuat lagi…
Sayang..” desah Tante Rani sambil menggerakan-gerakkan pantatnya ke samping
kiri dan kanan. Mulut tantenya terus mengaduh, mengomel sambil terus pantatnya
digeser ke kiri dan ke kanan.
Mendapatkan permainan itu Nanang
mendesir, “Aduh Tante… terus Tante..” mendengar itu Tante Rani terus
menggeser-geserkan pantatnya. Di dalam liang senggama tantenya ada
tarik-menarik antara batang kemaluan Nanang dan liang kewanitaan tantenya yang
sangat kuat, mengikat batang kemaluan Nanang dengan liang senggama Tante Rani.
Kuatnya tarikan itu dimungkinkan karena ukuran batang kemaluan Nanang jauh
lebih besar bila dibandingkan dengan milik Om Budiman.
Goyangan pantatnya semakin liar dan
Nanang mendekap tubuh tantenya dengan mengikuti gerakannya yang sangat liar
itu. Kucuran keringat telah berhamburan dan beradunya pantat Tante Rani dengan
paha Nanang menimbulkan bunyi yang sangat menggairahkan, “Prut.. prat.. pret..”
Tangan Nanang merangkul tantenya dengan erat.
Pergerakan mereka semakin liar dan
semakin membuat saling mengerang kenikmatan entah berapa kali Tante Rani
mengucurkan cairan di dalam liang kewanitaannya yang terhalang oleh batang
kemaluan Nanang.
Tante Rani mengerang kenikmatan yang
tiada taranya dan puncak dari kenikmatan itu kami rasakan ketika Tante Rani
berkata di dekat telingan Nanang. “Nanangee…” suara Tante Rani bergetar, “Kamu
kalau mau keluar, kita keluarnya bareng-bareng yaaah”. “Iya Tante…” jawab
Nanang.
Selang beberapa menit Nanang merasakan
akan keluar dan tantenya mengetahui, “Kamu mau keluar yaaa.” Nanang merangkul
Tante Rani dengan kuatnya tetapi kedua pantatnya masih terus menusuk-nusuk
liang kewanitaan Tantenya, begitu juga dengan Tante Rani rangkulanya tidak
membuat ia melupakan gigitannya terhadap batang kemaluan Nanang.

Sambil terus merapatkan rangkulan. Suara
Nanang keluar dengan keras, “Tanteee.. Tanteee..” dan begitu juga Tante Rani
mengerang keras, “Rieee…”. Sambil keduanya berusaha mengencangkan rangkulannya
dan merapatkan batang kemaluan dan liang kewanitaannya sehingga betul-betul
rapat membuat hampir biji batang kemaluan Nanang masuk ke dalam liang senggama
Tante Rani.
Akhirnya Nanang dan Tante Rani diam
sesaat menikmati semburan lahar panas yang beradu di dalam liang sorga Tante
Rani. Masih dalam posisi Tante Rani duduk di pangkuan Nanang. Tante Rani
tersenyum, “Kamu hebat Nanang seperti kuda binal dan ternyata kepunyaan kamu
lebih besar dari suaminya dan sangat menggairahkan.”
“Kamu sebetulnya sudah tahu keinginan
Tante dari dulu ya, tapi kamu berusaha mengelaknya yaa..” goda Tante Rani.
Nanang hanya tersenyum di goda begitu. Tante Rani lalu mencium kening Nanang.
Kurang lebih Lima menit batang kemaluan Nanang yang sudah mengeluarkan lahar
panas bersemayam di liang kewanitaan Tante Rani, lalu Tante Rani bangkit sambil
melihat batang kemaluan Nanang.
Melihat batang kemaluan Nanang yang
mengecil, Tante Rani tersenyum gembira karena dalam pikirannya bila batang
kemaluannya masih berdiri maka ia harus terus berusaha membuat batang kemaluan
Nanang tidak berdiri lagi.
Untuk menyakinkannya itu, tangan Tante
Rani meraba-raba batang kemaluan Nanang dan menijit-mijitnya dan ternyata
setelah dipijit-pijit batang kemaluan Nanang tidak mau berdiri lagi.
“Aduh untung batang kemaluanmu Rieee…
tidak hidup lagi,” bisik Tante Rani mesra sambil berdiri di hadapan Nanang,
“Soalnya kalau masih berdiri, Tante sudah tidak kuat Rieee” lanjutnya sambil
tersenyum dan Duduk di sebelah Nanang. Sesudah Tante Rani dan Nanang berpanutan
mereka pun naik ke atas dan masuk kamar-masing-masing.
Pagi-pagi sekali Nanang bangun dari
tempat tidur karena mungkin sudah kebiasaannya bangun pagi, meskipun badannya
ingin tidur tapi matanya terus saja melek. Akhirnya Nanang jalan-jalan di taman
untuk mengisi kegiatan agar badannya sedikit segar dan selanjutnya badannya
dapat diajak untuk tidur kembali karena pada hari itu Nanang tidak ada kuliah.
Kebiasaan lari pagi yang sering
dilakukan diwaktu pagi pada saat itu tidak dilakukannya karena badannya terasa
masih lemas akibat pertarungan tadi malam dengan tantenya.
Lalu Nanang pun berjalan menuju kolam,
tidak dibanyangkan sebelumnya ternyata Tante Rani ada di kolam sedang berenang.
Tante Rani mengenakan celana renang warna merah dan BH warna merah pula.
Melihat kedatangan Nanang.
Tante Rani mengajaknya berenang. Nanang hanya
tersenyum dan berkata, “Nggak ah Tante, Saya malas ke atasnya.” Mendapat
jawaban itu, Tante Rani hanya tersenyum, soalnya Tante Rani mengetahui Nanang
tidak menggunakan celana renang.
“Sudahlah pakai celana dalam aja,” pinta
Tante Rani. Tantenya yang terus meminta Nanang untuk berenang. Akhirnya iapun
membuka baju dan celana pendeknya yang tinggal melekat hanya celana dalamnya
yang berwarna biru.
Celana dalam warna biru menempel rapat
menutupi batang kemaluan Nanang yang kedinginan. Loncatan yang sangat indah
diperlihatkan oleh Nanang sambil mendekati Tante Rani, yang malah menjauh dan
mengguyurkan air ke wajah Nanang.
Sehingga di dalam kolam renang itu Tante
Rani menjadi kejaran Nanang yang ingin membalasnya. Mereka saling mengejar dan
saling mencipratkan air seperti anak kecil. Karena kecapaian, akhinya Tante
Rani dapat juga tertangkap. Nanang langsung memeluknya erat-erat, pelukan
Nanang membuat Tante Rani tidak dapat lagi menghindar.
“Udah akh Nanang.. Tante capek,” seru
mesra Tante Rani sambil membalikkan badannya. Nanang dan Tante Rani masih
berada di dalam genangan kolam renang. “Kamu tidak kuliah Rieee,” tanya Tante
Rani.
“Tidak,” jawab Nanang pendek sambil
meraba bukit kemaluan Tante Rani. Terkena rabaan itu Tante Rani malah tersenyum
sambil memberikan ciuman yang sangat cepat dan nakal lalu dengan cepatnya ia
melepaskan ciuman itu dan pergi menjauhi Nanang. Mendapatkan perlakuan itu
Nanang menjadi semakin menjadi bernafsu dan terus memburu tantenya. Dan pada
akhirnya tantenya tertangkap juga.
“Sudah ah… Tante sekarang mau ke kantor
dulu,” kata Tante Rani sambil sedikit menjauh dari Nanang.
Ketika jaraknya lebih dari satu meter
Tante Rani tertawa geli melihat Nanang yang celana dalamnya telah melorot di
antara kedua kakinya dengan batang kemaluannya yang sudah bangkit dari
tidurnya.
“Kamu tidak sadar Nanang, celana dalammu
sudah ada di bawah lutut..” Mendengar itu Nanang langsung mendekati Tante Rani
sambil mendekapnya.
Tante Rani hanya tersenyum. “Kasihan
kamu, adikmu sudah bangun lagi, tapi Tante tidak bisa membantumu karena Tante
harus sudah pergi,” kata Tante Rani sambil meraba batang kemaluan Nanang yang
sudah menegang kembali.
Mendengar itu Nanang hanya melongo
kaget. “Akhh, Tante masa tidak punya waktu hanya beberapa menit saja,” kata
Nanang sambil tangannya berusaha membuka celana renang Tante Rani yang berwarna
merah.
Mendapat perlakuan itu Tante Rani hanya
diam dan ia terus mencium Nanang sambiil berkata, “Iyaaa deh.. tapi cepat,
yaa.. jangan lama-lama, nanti ketahuan orang lain bisa gawat.”
Tante Rani membuka celana renangnya dan
memegangnya sambil merangkul Nanang. Batang kemaluan Nanang langsung masuk ke
dalam liang kewanitaan Tante Rani yang sudah dibuka lebar-lebar dengan posisi
kedua kakinya menempel di pundak Nanang.

Beberapa detik kemudian, setelah liang
kewanitaan Tante Rani telah melahap semua batang kemaluan Nanang dan
dirasakannya batang kemaluan Nanang sudah menegang. Tante Rani menciumnya
dengan cepat dan langsung mendorong Nanang sambil pergi dan terseyum manis
meninggalkan Nanang yang tampak kebingungan dengan batang kemaluannya yang
sedang menegang.
Mendapat perlakuan itu Nanang menjadi
tambah bernafsu kepada Tante Rani, dan ia berjanji kalau ada kesempatan lagi ia
akan menghabisinya sampai ia merasa kelelahan. Lalu Nanang langsung pergi
meninggalkan kolam itu untuk membersihkan badannya.
Setelah di kamar, Nanang langsung
membuka semua bajunya yang menjadi basah itu, ia langsung masuk kamar mandi dan
menggosok badan dengan sabun. Ketika akan membersihkan badannya, air yang ada di
kamar mandinya ternyata tidak berjalan seperti biasanya.
Dan langsung Nanang teringat akan
keberadaan kamar Diah. Nanang lalu pergi keluar kamar dengan lilitan handuk
yang menempel di tubuhnya. Wajahnya penuh dengan sabun mandi. “Diah.. Diah..
Diah..” teriak Nanang sambil mengetuk pintu kamar Diah. “Masuk Kak Nanange,
tidak dikunci.” balas Diah dari dalam kamar.
Didapatinya ternyata Diah masih
melilitkan badan dengan selimut dengan tangannya yang sedang asyik memainkan
kemaluannya. Permainan ini baru didapatkannya ketika ia melihat adegan tadi
malam antara kakaknya dengan Nanang dan kejadian itu membuat ia merasakan
tentang sesuatu yang selama ini diidam-idamkan oleh setiap manusia.
“Ada apa Kak Nanang,” kata Diah sambil
terus berpura-pura menutup badannya dengan selimut karena takut ketahuan bahwa
dirinya sedang asyik memainkan kemaluannya yang sudah membasah sejak tadi malam
karena melihat kejadiaan yang dilakukan kakaknya dengan Nanang.
“Anu Diah.. Kakak mau ikut mandi karena
kamar mandi Nanang airnya tidak keluar.” Memang Diah melihat dengan jelas bahwa
badan Nanang dipenuhi oleh sabun tapi yang diperhatikan Diah bukannya badan
tapi Diah memperhatikan diantara selangkangannya yang kelihatan mencuat.
Iseng-iseng Diah menanyakan tentang apa
yang mengganjalnya dalam lilitan handuk itu. Mendengar pertanyaan itu niat
Nanang yang akan menerangkan tentang biologi ternyata langsung kesampaian dan
Nanang pun langsung memperlihatkannya sambil memengang batang kemaluannya,
“Ini namanya penis.. Sayang,” kata
Nanang yang langsung menuju kamar mandi karena melihat Diah menutup wajahnya
dengan selimut.
Melihat batang kemaluan Nanang yang
sedang menegang itu Diah membayangkan bila ia mengulumnya seperti yang
dilakukan kakaknya.
Keringat dingin keluar di sekujur tubuh
Diah yang membayangkan batang kemaluan Nanang dan ia ingin sekali seperti yang
dilakukan oleh kakaknya juga ia melakukannya. Mata Diah terus memandang Nanang
yang sedang mandi sambil tangan terus bergerak mengusap-usap kemaluannya.

Akhirnya karena Diah sudah dipuncak
kenikmatan, ia mengerang akibat dari permainan tangannya itu telah berhasil
dirasakannya .Dengan beraninya Diah pergi memasuki kamar mandi untuk ikut mandi
bersama Nanang. Melihat kedatangan Diah ke kamar mandi, Nanang hanya tersenyum.
“Kamu juga mau mandi,” kata Nanang sambil mencubit pinggang Diah.
Diah yang sudah dipuncak kenikmatan itu
hanya tersenyum sambil melihat batang kemaluan Nanang yang masih mengeras.
“Kak boleh nggak Diah mengelus-elus
barang itu,” bisik Diah sambil menunjuknya dengan jari manisnya. Mendengar
permintaan itu Nanang langsung tersenyum nakal, ternyata selama ini apa yang
diidam-idamkannya akan mendapatkan hasilnya.
Dalam pikiran Nanang, Diah sekarang
mungkin telah mengetahui akan kenikmatan dunia. Tanpa diperintah lagi Nanang
langsung mendekatkan batang kemaluannya ke tangan Diah dan menuntun cara
mengelus-elusnya. Tangan Diah yang baru pertama kali meraba kepunyaan laki-laki
itu sedikit canggung, tapi ia berusaha meremasnya seperti meremas pisang dengan
tenaga yang sangat kuat hingga membuat Nanang kesakitan.

“Aduh.. jangan keras-keras dong Diah,
nanti batang kemaluannya patah.” Mendengar itu Diah menjadi sedikit kaget lalu
Ari membatunya untuk memainkan batang kemaluannya dengan lembut.
Tangan Diah dituntunnya untuk meraba
batang kemaluan Nanang dengan halus lalu batang kemaluan Nanang didekatkan ke
wajah Diah agar mengulumnya. Diah hanya menatapnya tanpa tahu harus berbuat
apa.

Lalu Nanang memerintahkan untuk
mengulumnya seperti mengulum ice crem, atau mengulumnya seperti mengulum permen
karet. Diperintah tersebut Diah langsung menurut, mula-mula ia mengulum kepala
batang kemaluan Nanang lalu

Diah memasukkan semua batang kemaluan Nanang ke
dalam mulutnya. Tapi belum juga berapa detik Diah terbatuk-batuk karena kehabisan
nafas dan mungkin juga karena nafsunya terlalu besar.
Setelah sedikit tenang, Diah mengulum
lagi batang kemaluan Nanang tanpa diperintah sambil pinggul Diah bergoyang
menyentuh kaki Nanang.

Melihat kejadian itu Nanang akhirnya menghentikan
kuluman Diah dan langsung mengangkat Diah dan membawanya ke ranjang yang ada di
samping kamar mandi. Sesampainya di pinggir ranjang, dengan
hangat Diah dipeluk oleh Nanang dan Diah pun membalas pelukan Nanang. Bibir
Diah yang polos tanpa liptik dicium Nanang dengan penuh kehangatan dan
kelembutan.
Dicium dengan penuh kehangatan itu Diah
untuk beberapa saat terdiam seperti patung tapi akhirnya naluri seksnya keluar
juga, ia mengikuti apa yang dicium oleh Nanang. Bila Nanang menjulurkan
lidahnya maka Diah pun sama menjulurkan lidahnya ke dalam mulut Nanang.
Dengan permainan itu Diah sangat
menikmatinya apalagi Nanang yang bisa dikatakan telah dilatih oleh kakaknya
yang telah berpengalaman.
Kecupan Diah kadang kala keluar suara
yang keras karena kehabisan nafas. “Pek.. pek..” suara bibir Diah mengeluarkan
suara yang membuat Nanang semakin terangsang. Mendengar suara itu Nanang
tersenyum sambil terus memagutnya.
Tangan Nanang dengan terampil telah
membuka daster putih yang dipakai Diah. Dengan gerakan yang sangat halus,
Nanang menuntun Diah agar duduk di pinggir ranjang dan Diah pun mengetahui
keinginan Nanang itu. Bibir Diah yang telah berubah warna menjadi merah terus
dipagut Nanang dengan posisi Diah tertindih oleh Nanang. Tangan Diah terus
merangkul Nanang sambil bukit kemaluannya menggesek-gesekkan sekenanya.
Lalu Nanang membalikkan tubuh Diah
sehingga kini Diah berada di atas tubuh Nanang, dengan perlahan tangan Nanang
membuka BH putih yang masih melekat di tubuh Diah. Setelah berhasil membuka BH
yang dikenakan Diah, Nanang pun membuka CD putih yang membungkus bukit kemaluan
Diah dilanjutkan menggesek-gesekkan sekenanya.
Erangan panjang keluar dari mulut Diah.
“Auuu…” sambil mendekap Nanang keras-keras. Melihat itu Nanang semakin
bersemangat. Setelah Nanang berhasil membuka semua pakaian yang dikenakan Diah,
terlihat Diah sedikit tenang iapun kembali membalikkan Diah sehingga ia
sekarang berada di atas tubuh Diah.
Nanang menghentikan pagutan bibirnya ia
melanjutkan pagutannya ke bukit kemaluan Diah yang telah terbuka dengan bebas.
Dipandanginya bukit kemaluan Diah yang kecil tapi penuh tantangan yang baru
ditumbuhi oleh bulu-bulu hitam yang kecil-kecil. Kaki Diah direnggangkan oleh
Nanang. Pagutan Nanang beganti pada bibir kecil kepunyaan Diah.
Pantat Diah terangkat dengan sendirinya
ketika bibir Nanang mengulum bukit kemaluan kecilnya yang telah basah oleh
cairan. Harum bukit kemaluan perawan membuat batang kemaluan Nanang semakin
ingin langsung masuk ke sarangnya tapi Nanang kasihan melihat Diah karena
kemaluannya belum juga merekah.
Jilatan bibir Nanang yang mengenai
klitoris Diah membuat Diah menjepit wajah Nanang. Semburan panas keluar dari
bibir bukit kemaluan Diah. Diah hanya menggeliat dan menahan rasa nikmat yang
baru pertama kali didapatkanya.
Lalu Nanang merasa yakin bahwa ini sudah
waktunya, ditambah lagi batang kemaluannya yang sudah telalu lama menengang.
Nanang menarik tubuh Diah agar pantatnya pas tepat di pinggir ranjang. Kaki
Diah menyentuh lantai dan Nanang berdiri diantara kedua paha Diah.
Melihat kondisi tubuh Diah yang sudah
tidak menggunakan apa-apa lagi ditambah dengan pemandangan bukit kemaluan Diah
yang sempit tapi basah oleh cairan yang keluar dari bibir kecilnya membuat
Nanang menahan nafas.
Nanang berdiri, dan batang kemaluannya
yang besar itu diarahkan ke bukit kemaluan Diah. Melihat itu Diah sedikit kaget
dan merasa takut Diah menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Melihat gejala
itu Nanang hanya tersenyum dan ia sedikit lebih melebarkan paha Diah sehingga
klitorisnya terlihat dengan jelas.
Ia menggesek-gesekkan batang kemaluannya
di bibir kemaluan Diah. Sambil menggesek-gesek batang kemaluan, Nanang kembali
mendekap Diah sambil membuka tangannya yang menutupi wajahnya. Melihat Nanang
yang membuka tangannya, Diah langsung merangkulnya dan mencium bibir Nanang.
Pagutan pun kembali terjadi, bibir Diah dengan lahapnya terus memagut bibir
Nanang.
Suara erangan kembali keluar lagi dari
mulut Diah. “Aduhh… Kaak…” erang Diah sambil merangkul tubuh Nanang dengan
keras.
Nanang meraba-raba bukit kemaluan Diah dengan
batang kemaluannya setelah yakin akan lubang kemaluan Diah, Nanang mendorongnya
perlahan dan ketika kepala kejantanan Nanang masuk ke liang senggama Diah. Diah
mengerang kesakitan, “Kak.. aduh sakit, Kak…”

Mendengar rintihan itu, Nanang
membiarkan kepala kemaluannya ada di dalam liang senggama Diah dan Nanang terus
memberikan pagutannya. Kuluman bibir Diah dan Nanang pun berjalan lagi. Dada
Nanang yang besar terus digesek-gesekkan ke payudara Diah yang sudah mengeras.
Diah yang menahan rasa sakit yang telah
bercampur dengan rasa nikmat akhirnya mengangkat kakinya tinggi-tinggi untuk
menghilangkan rasa sakit di liang senggamanya dan itu ternyata membantunya dan
sekarang menjadi tambah nikmat.

Kepala kemaluan Nanang yang besar baru
masuk ke liang kewanitaan Diah, tapi jepitan liang kemaluan Diah begitu keras
dirasakan oleh batang kemaluan Nanang.
Sambil mencium telinga kiri Diah, Nanang
kembali berusaha memasukkan batang kemaluannya ke liang senggama Diah. “Aduh..
aduh.. aduh.. Kak,” Mendengar rintihan itu Nanang berkata kepada Diah. “Kamu
sakit Diah,” bisik Nanang di telinga Diah. “Nggak tahu Kaak ini bukan seperti
sakit biasa, sakit tapi nikmat..”
Mendengar penjelasan itu, Nanang terus
memasukkan batang kemaluannya sehingga sekarang kepala kemaluannya sudah masuk
semua ke dalam liang senggama Diah. Batang kemaluan Nanang sudah masuk ke liang
senggama Diah hampir setengahnya.
Batang kemaluannya sudah ditelan oleh
liang kemaluan Diah, kaki Diah semakin diangkat dan tertumpang di punggung
Nanang. Tiba-tiba tubuh Diah bergetar sambil merangkul Nanang dengan kuat.

“Aduhhh…” dan cairan hangat keluar dari
bibir kemaluan Diah, Nanang dapat merasakan hal itu melalui kepala kemaluannya
yang tertancap di bukit kemaluan Diah. Lipatan paha Diah telah terguyur oleh keringat
yang keluar dari tubuh mereka berdua.
Mendapat guyuran air di dalam bukit
kemaluan itu, Nanang lalu memasukkan semua batang kemaluannya ke dalam lubang
senggama Diah. Dengan satu kali hentakan. “Preeet…” Diah melotot menahan
kesakitan yang bercampur dengan kenikmatan yang tidak mungkin didapatkan selain
dengan Nanang.

“Auh.. auh.. auh..” suara itu keluar
dari mulut kecil Diah setelah seluruh batang kejantanan Nanang berada di dalam
lembah kenikmatan Diah. “Kak, Badan Diah sesak, sulit bernafas,” kata Diah
sambil menahan rasa nikmat yang tiada taranya.
Mendengar itu lalu Nanang membalikkan
tubuh Diah agar ia berada di atas Ari. Mendapatkan posisi itu Diah seperti
pasrah dan tidak melakukan gerakan apapun selain mendekap tubuh Nanang sambil
meraung-raung kenikmatan yang tiada taranya yang baru kali ini dirasakannya.
Diah dan Nanang terdiam kurang lebih
lima menit. “Diah, sekarang bagaimana badanmu,” kata Nanang yang melihat Diah
sekarang sudah mulai menggoyang-goyangkan pantatnya dengan pelan-pelan.
“Udah agak enakan Kak,” balas Diah
sambil terus menggoyang-goyangkan pantatnya ke kiri dan ke kanan. Mendapatkan
serangan itu Nanang langsung mengikuti gerakan goyangan itu dan goyangan Nanang
dari atas ke bawah.
Lipantan-lipatan kehangatan tercipta di
antara selangkangan Diah dan Nanang. Sambil menggoyangkan pantatnya, mulut Diah
tetap mengaduh, “Aduhhh…” Merasakan nikmat yang telah menyebar ke seluruh
badannya. Tanpa disadari sebelumnya oleh Nanang.

Diah dengan ganasnya
menggoyang-gonyangkan pantatnya ke samping dan ke kiri membuat Nanang kewalahan
ditambah lagi kuatnya jepitan bukit kemaluan Diah yang semakin menjepit seperti
tang yang sedang mencepit paku agar paku itu putus.
Beberapa menit kemudian Nanang memeluk
badan Diah dengan eratnya dan batang kemaluannya berusaha ditekan ke atas
membuat pantat Diah terangkat. Semburan panas pun masuk ke bukit kemaluan Diah
yang kecil itu. Mendapat semburan panas yang sangat kencang, Diah mendesis
kenikmatan sambil mengeram, “Aduhh… aduh.. Kak..”
Selang beberapa menit Nanang diam sambil
memeluk Diah yang masih dengan aktif menggerak-gerakkan pantatnya ke kiri dan
ke kanan dengan tempo yang sangat lambat. Setelah badannya merasa sudah agak
baik, Nanang membalikkan tubuh Diah sehingga sekarang tubuh Diah berada di bawah
Nanang.

Batang kemaluan Nanang masih menancap
keras di lembah kemaluan Diah meskipun sudah mengeluarkan sperma yang banyak.
Lalu kaki Diah diangkat oleh Nanang dan disilangkan di pinggul. Nanang
mengeluarkan batang kemaluannya yang ada di dalam liang senggama Diah.
Mendapat hal itu mata Diah tertutup
sambil membolak-balikkan kepala ke kiri dan ke kanan lalu dengan perlahan
memasukkan lagi batang kemaluannya ke dalam liang senggama Diah, turun naik
batang kemaluan Nanang di dalam liang perawan Diah membuat Diah beberapa kali
mengerang dan menahan rasa sakit yang bercampur dengan nikmatnya dunia.
Tarikan bukit kemaluan Diah yang tadinya
kencang pelan- pelan berkurang seiring dengan berkurangnya tenaga yang terkuras
habis dan selanjutnya Nanang mengerang-erang sambil memeluk tubuh Diah dan Diah
pun sama mengeluarkan erangan yang begitu panjang, keduanya sedang mendapatkan
kenikmatan yang tiada taranya.
Nanang mendekap Diah sambil menikmati
semburan lahar panas dan keluarnya sperma dalam batang kemaluan Nanang dan Diah
pun sama menikmati lahar panas yang ada dilembah kenikmatannya. Kurang lebih
lima menit, Nanang memeluk Diah tanpa adanya gerakan begitu juga Diah hanya
memeluk Nanang.
Dirasakan oleh Nanang bahwa batang
kemaluannya mengecil di dalam liang kemaluan Diah dan setelah merasa batang
kemaluannya betul-betul mengecil Nanang menjatuhkan tubuhnya di samping Diah.
Nanang mencium kening Diah. Diah membalasnya dengan rintihan penyesalan,
seharusnya Nanang bertanggung jawab atas hilangnya perawan yang dimiliki Diah.
Mendengar itu Nanang hanya tersenyum
karena memang selama ini Nanang mendambakan istri seperti Diah ditambah lagi ia
mengetahui bila hidup dengan Diah maka ia akan mendapatkan segalanya. Nanang
mengucapkan selamat bobo kepada Diah yang langsung tertidur kecapaian dan
Nanang langsung keluar dari kamar Diah setelah Nanang menggunakan pakaiannya
kembali.
Nanang masuk ke dapur, didapatnya
tantenya sedang dalam keadaan menungging mengambil sesuatu. Terlihat dengan
jelas celana merah muda yang dipakai tantenya. Tante Rani dibuat kaget karena
Nanang langsung meraba liang kewanitaannya yang terbungkus CD merah muda sambil
menegurnya. “Tante sudah pulang,” tanya Nanang.
Sambil melepaskan rabaan tangannya di
liang kewanitaan tantenya. Lalu Nanang membuka kulkas untuk mencari air putih.
“Iya, Tante hanya sebentar kok. Soalnya Tante kasihan dengan burung kamu yang
tadi Tante tinggalkan dalam keadaan menantang,” jawab Tante Rani sambil
tersenyum.
“Bagaimana sekarang Nanang burungnya,
sudah mendapatkan sarang yang baru ya..” Mendapat ejekan itu, Nanang langsung
kaget.
“Ah Tante, mau cari sangkar di mana,”
jawab Nanang mengelak.
“Nanang kamu jangan mengelak, Tante tau
kok.. kamu sudah mendapatkan sarang yang baru jadi kamu harus bertanggung
jawab. Kalau tidak kamu akan Tante laporkan sama Oom dan kedua orang tuanmu
bahwa kamu telah bermain gila bersama Diah dan Tante.”
Mendengar itu, Nanang langsung diam dan
ia akan menikahi Diah seperti yang dijanjikanya. Mendengar hal itu Tante Rani
tersenyum dan memberikan kecupan yang mesra kepada Nanang sambil meraba batang
kemaluan Nanang yang sudah tidak kuat untuk berdiri.
Melihat batang kemaluan Nanang yang
sudah tidak kuat berdiri itu Tante Rani tersenyum. “Pasti adikku dibuatnya KO
sama kamu yaa… Buktinya burung kamu tidak mau berdiri,” goda Tante Rani. “Ahh
nggak Tante, biasa saja kok.”
Tante Rani meninggalkan Nanang, sambil
mewanti-wanti agar menikahi adiknya. Akhirnya pernikahan Diah dengan Nanang
dilakukan dengan pernikahan dibawah tangan atau pernikahan secara agama tetapi
dengan tanpa melalui KUA karena Diah masih dibawah umur.
Tamat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar