Minggu, 03 Juli 2016

HARUS BERTANGGUNG JAWAB


Aku sudah memimpikan untuk belajar di bangku perkuliahan, di kampungku hanya sedikit orang yang duduk di bangku perkuliahan bukannya dia tidak mau tapi karena perekonomian yang sederhana, apalagi jarak antara kampus dengan desaku cukup jauh, minimal 5 kali berganti angkot atau dengan jasa ojeg. Sangat beruntung bagi Nanang bisa sampai menyelesaikan pendidikan di bangku SMA. Tapi lepas dari SMA kebingungan menyertainya, karena tidak tahu harus bagaimana lagi setelah menyelesaikan pendidikan SMA. Keinginan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi tetap besar.
Namun semua itu tentunya sangat berhubungan dengan biaya. Apalagi kalau kuliahnya harus pulang pergi, tentunya biaya akan lebih tinggi dibandingkan dengan biaya kuliahnya. Dengan segala kegelisahan yang ada, akhirnya semuanya diceritakan di hadapan kedua orang tuanya.
Mereka dengan penuh bijaksana menerangkan semua kemungkinan yang akan terjadi dari kemungkinan kekurangan uang dengan akan menjual sepetak sawah. Sampai dengan alternatif untuk tinggal di rumah kakak ibunya.
Mendengar antusiasnya kedua orang tuanya, membuat semangat Nanang bertambah untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Memang keluarganya bisa dikatakan mapan untuk ukuran orang-orang yang ada di kampung itu. Kedua orang tuanya memiliki beberapa petak sawah dan menjadi salah satu tokoh di kampung itu.
“Nanang..” sapa ibunya ketika Nanang sedang merapikan beberapa pakaian untuk dibawa ke kota. Ini ada surat dari ayahmu untuk Oom di kota nanti. Sebuah surat yang mungkin penegasan dari ayah Nanang untuk menyakinkan bahwa anaknya akan tinggal untuk sementara waktu di rumah Oomnya.
Sebetulnya orang tua Nanang sudah menelepon Tuan Budiman tetapi karena Tuan Budiman dan Nanang sangat jarang sekali bertemu maka orang tua Nanang memberikan surat penegasan bahwa anaknya akan tinggal di Bandung, di rumah Oomnya untuk sementara waktu.
Oomnya yang bernama Budiman memang paling kaya dari keluarga ibunya yang terdiri dari empat keluarga. Oomnya yang tinggal di Bandung dan mempunyai beberapa usaha dibidang jasa, percetakan sampai dengan sebuah suratkabar mingguan dan juga bisnis lainnya yang sangat berhasil.
Hubungan antara Oomnya yang bernama Budiman dan kedua orang tua Nanang sebetulnya tidak ada masalah, hanya karena kedua orang tua Nanang yang sering memberikan nasehat karena kelakuan Oomnya yang sering berganti-ganti istri dan akibat dari berganti-ganti istri itu sehingga anak-anaknya tercecer di mana-mana.
Menurut ibu Nanang, Oomnya telah berganti istri sampai dengan empat kali dan sekarang ia sedang menduda. Dari keempat istri tersebut Budiman dianugerahi empat anak, dua dari istri yang pertama dan duanya lagi dari istri-istri yang kedua dan ketiga sedang dari istri yang keempat Om Budiman tidak mempunyai anak.
Anak Om Budiman yang paling bungsu di bawah Nanang dua tahun dan ia masih SMA di Bandung. Jadi usia Om Budiman kira-kira sekarang berada diatas limapuluh tahun.
Sesampainya di kotanBandung yang begitu banyak aktivitas manusia, Nanang langsung masuk ke sebuah kantor yang bertingkat tiga. Kedatangannya ke kantor itu disambut oleh kedua satpam yang menyambutnya dengan ramah. Belakangan diketahui namannya Asep dari papan nama yang dikenakan di bajunya.
“Selamat siang Pak,” Tegur Nanang kepada salah satu satpam yang ada dua orang.
“Selamat siang Dik, ada yang bisa dibantu,” jawab satpam yang bernama Asep. “Anu Pak, apa Bapak Budiman ada?”
“Bapak Budiman yang mana Dik,” tegas satpam Asep, karena melihat suatu keraguan bahwa tidak mungkin bosnya ada bisnis dengan anak kecil yang baru berumur dua puluh tahunan.
“Anu Pak, apa ini PT. Rido,” tanya Nanang menyusul keraguan satpam. Karena sebetulnya Nanang juga belum pernah tahu di mana kantor-kantor Oomnya itu, apalagi bisnis yang digelutinya.
“Iya.. Benar Dik, dan Bapak Budiman itu adalah pemilik perusahaan ini,” tegas satpam Asep menjelaskan tentang keberadaan PT.Rido dan siapa pemiliknya.
“Adik ini siapa,” tanya satpam kepada Nanang, sambil mempersilakan duduk di meja lobby bawah.
“Saya Nanang Pak, keponakan dari Bapak Budiman dari desa Gunung Heulang.”. “Keponakan,” tegas satpam, sambil terus mengangkat telepon menghubungi Pak Dadi kepercayaan Tuan Budiman.
Selang beberapa menit kemudian Pak Dadi datang menghampiri Nanang sambil memberikan selamat datang di kotaBandung. “Nanang.. Apa masih ingat sama Bapak,” kata Pak Dadi sambil duduk seperti teman lama yang baru ketemu. Mimik Nanang jadi bingung karena orang yang datang ini ternyata sudah mengenalnya. “Maaf Pak, Nanang Sudah lupa dengan Bapak,” kata Nanang sambil terus mengigat-ingat.
Pak Dadi terus menerangkan dirinya, “Saya yang dulu sering mancing bersama Tuan Budiman ketika Nanang berumur kurang lebih lima tahun.”
Nanang jadi bingung, “Wah, Bapak bisa saja.. mana saya ingat Pak, itu kan sudah bertahun-tahun.”
Selanjutnya obrolan dengan Pak Dadi yang belakangan ini diketahui selain kepercayaan di kantor, ia juga sebagai tangan kanan Tuan Budiman. Bapak Dadi mengetahui apa pun tentang Tuan Budiman. Kadangkala anak Om Budiman sering minta uang pada Pak Dadi bila ternyata Om Budiman sedang keluar kota.
Malah belakangan ini Om Budiman membeli sebuah rumah dan di belakangnya dibuat lagi rumah yang tidak kalah besarnya untuk Pak Dadi dan istrinya sedangkan yang depan dipakai oleh istri mudanya yang kurang lebih baru berumur 35 tahun.
“Aduh Dik Nanang, Bapak tadi dapat perintah dari Tuan Budiman bahwa ia tidak dapat menemani Dik Nanang karena harus pergi ke Semarang untuk urusan bisnis. Dan saya diperintahkan untuk mencukupi keperluan Dik Nanang.
Nah, sekarang kamu mau langsung pulang atau kita jalan-jalan dulu,” sambung Pak Dadi melihat ekpresi Nanang yang sedikit kecewa karena ketakutan akan tempat tinggal.
Melihat gelagat itu Pak Dadi langsung berkomentar, “Jangan takut Dik Nanang pokoknya kamu tidak akan ada masalah,” tegur Pak Dadi sambil menegaskan akan tidur dimana dan akan kuliah dimana, itu semunya telah diaturnya karena mempunyai uang dan uang sangat berkuasa dibidang apapun.
Mendengar itu Nanang menjadi tersenyum, sambil melihat-lihat orang yang berlalu lalang di depanya. Kebetulan pada saat itu jam masuk karyawan sudah dimulai. Begitu banyak karyawati yang cantik-cantik ditambah lagi dengan penampilannya yang mengunakan rok mini.
Keberadaan Nanang sebagai keponakan dari pemilik perusahan itu sudah tersebar dengan cepatnya. Ditambah lagi dengan postur badan Nanang yang atletis dan wajah yang gagah membuat para karyawati semakin banyak yang tersenyum bila melewati Nanang dan Pak Dadi yang sedang asyik ngobrol.
Mereka tersenyum ketika bertatap wajah dengan Nanang dan ia segaja duduk di lobby depan, meskipun tawaran untuk pindah ke lobby tengah terus dilontarkan oleh Pak Dadi karena takut dimarahi oleh Tuan Budiman. Memang tempat lobby itu banyak orang lalu lalang keluar masuk perusahaan, dan semua itu membuat Nanang menjadi betah sampai-sampai lupa waktu karena keasyikan cuci mata.
Keasyikan cuci mata terhenti ketika Pak Dadi mengajaknya pulang dengan mengendarai sebuah mobil sedan dengan merek Mesri terbaru, melaju ke sebuah kawasan villa yang terletak di pinggirankotaBandung. Sebuah pemukiman elit yang terletak di pinggiran Kota Bandung yang berjarak kurang lebih 17 Km dari pusat kota. Sebuah kompleks yang sangat mengah dan dijaga oleh satpam.
Laju mobil terhenti di depan rumah biru yang berlantai dua dengan halaman yang luas dan di belakangnya terdapat satu rumah yang sama megahnya, kolam renang yang cantik menghiasi rumah itu dan sebagai pembatas antara rumah yang sering didiami Om Budiman dan rumah yang didiami Pak Dadi dan Istrinya.
Sedangkan pos satpam dan rumah kecil ada di samping pintu masuk yang diisi oleh Mang Ade penjaga rumah dan istrinya Bi Enung yang selalu menyiapkan makanan untuk Nyonya Budiman. Ketika mobil telah berhenti, dengan sigap Mang Ade membawa semua barang-barang yang ada di bagasi mobil. Satu tas penuh dibawa oleh Mang Ade dan itulah barang-barang yang dibawa Nanang. Bi Enung membawa ke ruang tamu sambil menyuruhnya duduk untuk bertemu dengan majikannya.
Pak Dadi yang sejak tadi menemaninya, langsung pergi ke rumahnya yang ada di belakang rumah Om Budiman tetapi masih satu pagar dengan rumah Om Budiman. Pak Dadi meninggalkan Nanang, sedangkan Nanang ditemani oleh Bi Enung menuju ruang tengah. Setelah Tante Rani datang sambil tersenyum menyapa Nanang, Bi Enung pun meninggalkan Nanang sambil terlebih dahulu menyuruh menyiapkan air minum untuk Nanang.
“Tante sudah menunggu dari tadi Nanang,” bisiknya sambil menggenggam tangan Nanang tanda mengucapkan selamat datang.
“Sampai-sampai Tante ketiduran di sofa”, lanjut Tante Rani yang pada waktu itu menggunakan rok mini warna Merah. Wajah Tante Rani yang cantik dengan uraian rambut sebahu menampakkan sifatnya yang ramah dan penuh perhatian.

“Tante sudah tahu bahwa Nanang akan datang sekarang dan Tante juga tahu bahwa Om Budiman tidak dapat menemanimu karena dia sedang sibuk.”
Obrolan pun mengalir dengan punuh kekeluargaan, seolah-olah mereka telah lama saling mengenal. Tante Rani dengan penuh antusias menjawab segala pertanyaan Nanang. Gerakan-gerakan tubuh Tante Rani yang pada saat itu memakai rok mini dan  berhadapan dengan Nanang membuat Nanang salah tingkah karena celana dalam yang berwarna biru terlihat dengan jelas dan gumpalan-gumpalan bulu hitam terlihat indah dan menantang dari balik CD-nya. Paha yang putih dan pinggulnya yang besar membuat kepala Nanang pusing tujuh keliling. Meskipun Tante Rani telah yang berumur Kira-kira 35 tahun tapi kelihatan masih seperti gadis remaja.
“Nah, itu Diah,” kata Tante Rani sambil membawa Nanang ke ruang tengah. Terlihat gadis dengan seragam sekolah SMP. Memang ruangan tengah rumah itu dekat dengan garasi mobil yang jumlah mobilnya ada empat buah.
Sambil tersenyum, Tante Rani memperkenalkan Nanang kepada Diah. Mendapat teman baru dalam rumah itu Diah langsung bergembira karena nantinya ada teman untuk ngobrol atau untuk mengerjakan PR-nya bila tidak dapat dikerjakan sendiri.

“Nanti Kak Nanang tidurnya sama Diah ya Kak.” Mendapat pertanyaan itu Nanang dibuatnya kaget juga karena yang memberikan penawaran tidur itu gadis yang tingginya hampir sama dengan Nanang. Adik kakak yang sama-sama mempunyai badan sangat bangus dan paras yang sangat cantik.
Lalu Tante Rani menerangkan kelakuan Diah yang meskipun sudah besar karena badannya yang bongsor padahal baru kelas dua SMP. Mendengar keterangan itu, Nanang hanya tersenyum dan sedikit heran dengan postur badannya padahal dalam pikiran Nanang, ia sudah menaruh hati pada Diah yang mempunyai wajah yang cantik dam putih bersih itu.
Setelah selesai berkeliling di rumah Om Budiman dengan ditemani oleh Tante Rani, Nanang masuk ke kamarnya yang berdekatan dengan kamar Diah. Memang di lantai dua itu ada empat kamar dan tiap kamar terdapat kamar mandi. Tante Rani menempati kamar yang paling depan sedangkan Nanang memilih kamar yang paling belakang, sedangkan kamar Diah berhadapan dengan kamar Nanang.
Setelah membuka baju yang penuh keringat, Nanang melihat-lihat pemandangan belakang rumah. Tanpa sengaja terlihat dengan jelas Pak Dadi sedang memeluk istrinya sambil nonton TV. Tangan kanannya memeluk istrinya yang bermana Astri.
Sedangkan tangan kirinya menempel sebatang rokok. Keluarga Pak Dadi dari dulu memang sangat rukun tetapi sampai sekarang belum dikeruniai anak dan menurut salah satu dokter pribadi Om Budiman, Pak Dadi divonis tidak akan mempunyai anak karena di dalam spermanya tidak terdapat bibit yang mampu membuahinya.
Hari-hari selanjutnya Nanang semakin kerasan tinggal di rumah Om Budiman karena selain Tante Rani Yang ramah dan seksi, juga kelakuaan Diah yang menggemaskan dan kadang-kadang membuat batang kemaluan Nanang berdiri.
Nanang semakin tahu tentang keadaan Tante Rani yang sebetulnya sangat kesepian. Kenyataan itu ia ketahui ketika ia dan tantenya berbelanja di suatu toko di pusat kota Bandung yang bernama BIP. Tante Rani dengan mesranya menggandeng Nanang, tapi Nanang tidak risih karena kebiasaan itu sudah dianggap hal wajar apalagi di depan banyak orang.
Tapi yang membuat kaget Nanang ketika di dalam mobil, Tante Rani mengatakan bahwa ia sebetulnya tidak bahagia secara batin. Mendengar itu Nanang kaget setengah mati karena tidak tahu apa yang harus ia katakan. Tante Rani menceritakan bahwa Om Budiman sekarang itu sudah loyo saat bercinta dengannya.
Nanang tambah bingung dengan apa yang harus ia lontarkan karena ia tidak mungkin memberikan kebutuhan itu meskipun selama ini ia sering menghanyalkan bila ia mampu memasukkan burungnya yang besar ke dalam kemaluan Tante Rani.


Ketika mobil berhenti di lampu merah, Tante Rani dengan berani tiduran di atas paha Nanang sambil terus bercerita tentang kegundahan hatinya selama ini dan dia pun bercerita bahwa cerita ini baru Nanang yang mengetahuinya.
Sambil bercerita, lipatan paha Tante Rani yang telentang di atas jok mobil agak terbuka sehingga rok mininya melorot ke bawah. Nanang dengan jelas dapat melihat gundukan hitam yang tumbuh di sekitar kemaluan Tante Rani yang terbungkus CD nilon yang sangat transparan itu.
Nanang menelah ludah sambil terus berusaha menenangkan tantenya yang birahinya mulai tinggi. Ketika Nanang akan memindahkan gigi perseneling, secara tidak segaja dia memegang buah dada tantenya yang telah mengeras dan saat itu pula bibir tantenya yang merekah meminta Nanang untuk terus merabanya.
Nanang menghentikan mobilnya di pinggir jalan menuju rumahnya sambil berkata, “Aku tidak mungkin bisa melakukan itu Tante,” Tante Rani hanya berkata, “Nanang, Tolong dong.. Tante sudah tidak kuat lagi ingin gituan, masa Nanang tidak kasihan sama Tante.”
Tangan Tante Rani dengan berani membuka baju bagian atas dan memperlihatkan buah dadanya yang besar. Terlihat buah dada yang besar yang masih ditutupi oleh BH warna ungu menantang untuk disantap.


Melihat Nanang yang tidak ada perlawanan, akhirnya Tante Rani memakai kembali bajunya dan duduk seperti semula sambil diam seperti patung sampai tiba di rumah. Perjalanan itu membuat Nanang jadi salah tingkah dengan kelakuan tantenya itu.
Kedekatan Nanang dengan Diah semakin menjadi karena bila ada PR yang sulit Diah selalu meminta bantuan Nanang. Pada saat itu Diah mendapatkan kesulitan PR matematika. Dengan sekonyong-konyong masuk ke kamar Nanang.
Pada saat itu Ari baru keluar dari kamar mandi sambil merenungkan tentang kelakuannya tadi siang dengan Tante Rani yang menolak melakukan itu. Nanang keluar dari kamar mandi tanpa sehelai benang pun yang menutupinya.
Dengan jelas Diah melihat batang kemaluan Nanang yang mengerut kedinginan. Sambil menutup wajah dengan kedua tangannya, Diah membalikkan badannya. Nanang hanya tersenyum sambil berkata,
“Mangkanya, kalau masuk kamar ketok pintu dulu,” goda Nanang sambil menggunakan celana pendek tanpa celana dalam. Kebiasaan itu dilakukan agar batang kemaluannya dapat bergerak dengan nyaman dan bebas.
Nanang bergerak mendekati Diah dan mencium pundaknya yang sangat putih dan berbulu-bulu kecil. “Ahh, geli Kak Nanang.. Kak Nanang sudah pake celana yah,” tanya Diah.
“Belum,” jawab Nanang menggoda Diah.
“Ahh, cepet dong pake celananya. Diah mau minta tolong Kak Nanang mengerjakan PR,” rengek Diah sambil tangan kirinya meraba belakang Nanang.
Melihat rabaan itu, Nanang segaja memberikan batang kemaluannya untuk diraba. Diah hanya meraba-raba sambil berkata, “Ini apa Kak, kok kenyal.”
Mendapat rabaan itu batang kemaluan Nanang semakin menengang dan dalam pikirannya kalau dengan Diah aku mau tapi kalau dengan kakakmu meskipun sama-sama cantiknya tapi aku juga masih punya pikiran yang betul, masa tenteku digarap olehku.
Rabaan Diah berhenti ketika batang kemaluan Nanang sudah menegang setengahnya dan ia melepaskan rabaannya dan langsung membalikkan badannya. Nanang kaget dan hampir saja tali kolornya yang terbuat dari karet, menjepit batang kemaluannya yang sudah menegang.
Tangan yang tadi digunakan meraba batang kemaluan Nanang kembali digunakan menutup wajahnya dan perlahan Diah membuka tangannya yang menutupi wajahnya dan terlihat Nanang sudah memakai celana pendek.
“Nah, gitu dong pake celana,” kata Diah sambil mencubit dada Nanang yang menempel di susu kecil Diah. “Udah dong meluknya,” rintih Diah sambil memberikan buku Matematikanya.
Saling memeluk antara Nanang dan Diah sudah merupakan hal yang biasa tetapi ketika Nanang merasakan kenikmatan dalam memeluk Diah, Diah tidak merasakan apa-apa mungkin karena Diah masih anak ingusan yang badannya saja yang bongsor.
Nanang langsung naik ke atas ranjang besarnya dan bersandar di bantal pojok ruangan kamar itu. Meskipun ada meja belajar tapi Nanang segaja memilih itu karena Diah sering menindihnya dengan pantatnya sehingga batang kemaluan Nanang terasa hangat dibuatnya.
Dan memang seperti dugaan Nanang, Diah tiduran di dada Nanang. Pada saat itu Diah menggunakan daster yang sangat tipis dan di atas paha sehingga celana dalam berwarna putih dan BH juga yang warna putih terlihat dengan jelas. Diah tidak merasa risih dengan kedaan itu karena memang sudah seperti itu hari-hari yang dilakukan bersama Nanang.
Sambil mengerjakan PR, pikiran Nanang melayang-layang bagaimana caranya agar ia dapat mengatakan kepada Diah bahwa dirinya sekarang berubah hati menjadi cinta pada Diah. Tapi apakah dia sudah mengenal cinta soalnya bila orang sudah mengenal cinta biasanya syahwatnya juga pasti bergejolak bila diperlakukan seperti yang sering dilakukan oleh Nanang dan Diah.
PR pertama telah diselesaikan dengan cepat, Diah terseyum gembira. Terlihat dengan jelas payudara Diah yang kecil. Pikiran Nanang meliuk-liuk membayangkan seandainya ia mampu meraba susu itu tentunya sangat nikmat dan sangat hangat. Ketegangan Nanang semakin menjadi ketika batang kemaluannya yang tanpa celana dalam itu tersentuh oleh pinggul Diah yang berteriak karena masih ada PR-nya yang belum terisi. Memang posisi Nanang menerangkan tersebut ada di bawah Diah dan pinggul Diah sering bergerak-gerak karena sifatnya yang agresif. Gerakan badan Diah yang agresif itu membuat paha putihnya terlihat dengan jelas dan kadangkala gumpalan kemaluannya terlihat dengan jelas hanya terhalang oleh CD yang berwarna putih. Hal itu membuat nafas Nanang naik turun.
Diah tidak peduli dengan apa yang terjadi pada batang kemaluan Nanang, malah Diah semakin terus bermanja-manja dengan Nanang yang terlihat bermalas-malasan dalam mengerjakan PR-nya itu. Pikiran Nanang semakin kalang kabut ketika Diah mengerak-gerakkan badan ke belakang yang membuat batang kemaluannya semakin berdiri menegang.
Dengan pura-pura tidak sadar Nanang meraba gundukan kemaluan Diah yang terbungkus oleh CD putih. Bukit kemaluan Diah yang hangat membuat Nanang semakin bernafsu dan membuat nafasnya semakin terengah-engah.
“Kak cepat dong kerjakan PR yang satunya lagi. Yang ini, yang nomor sepuluh susah.” Nanang membalikkan badannya sehingga bukit kemaluan Diah tepat menempel di batang kemaluan Nanang. Dalam keadaan itu Diah hanya mendekap Nanang sambil terus berkata, “Tolong ya Kak, nomor sepuluhnya.”
“Boleh, tapi ada syaratnya,” kata Nanang sambil terus merapatkan batang kemaluannya ke bukit kemaluan Diah yang masih terbungkus CD warna Putih. Pantat Diah terlihat dengan jelas dan mulai merekah membentuk sebuah badan seorang gadis yang sempurna, pinggul yang putih membuat Nanang semakin panas dingin dibuatnya. Diah hanya bertanya apa syaratnya kata Diah sambil mengangkat wajahnya ke hadapanya Nanang. Dalam posisi seperti itu batang kemaluan Nanang yang sudah menegang seakan digencet oleh bukit kemaluan Diah yang terasa hangat. Nanang tidak kuat lagi dengan semua itu, ia langsung mencium mulut Diah. Diah hanya diam dan terus menghidar ciuman itu. “Kaak… apa dong syaratnya”, kata Diah manja agresif menggerak-gerakkan badannya sehingga bukit kemaluannya terus menyentuh-nyentuh batang kemaluan Nanang. Gila anak ini belum tahu apa- apa tentang masalah seks. Memang Diah tidak merasakan apa-apa dan ia seakan-akan bermain dengan teman wanitanya tidak ada rasa apa pun. “Syaratnya kamu nanti akan kakak peluk sepuasnya.”. Mendengar itu Diah hanya tertawa, suatu syarat yang mudah, dikirain harus pus-up 1000 kali. Konsenterasi Nanang dibagi dua yang satu terus mendekatkan batang kemaluannya agar tetap berada di bawah bukit kemaluan Diah yang sering terlepas karena Diah yang banyak bergerak dan satunya lagi berusaha menyelesaikan PR-matematikanya. Diah terus mendekap badan Nanang sambil kadang-kadang menggerakkan lipatan pahanya yang menyetuh paha Nanang. Setelah selesai mengerjakan PR-nya, Nanang menggerak-gerakkan pantatnya sehingga berada tepat di atas bukit kemaluan Diah. Nanang semakin tidak tahan dengan kedaaan itu dan langsung meraba-raba pantat Diah. Ketika Nanang akan meraba payudara Diah. Diah bangkit dan terus melihat ke wajah Nanang, sambil berkata, “PR-nya sudah Kaak.. Nanang,” sambil Menguap. Melihat PR-nya yang sudah dikerjakan Nanang, Diah langsung memeluk Nanang erat-erat seperti memeluk bantal guling karena syaratnya itu. Kesempatan itu tidak dilewatkan oleh Nanang begitu saja, Nanang langsung memeluk Diah berguling-guling sehingga Diah sekarang berada di bawah Nanang. Mendapat perlakuan yang kasar dalam memeluk itu Diah berkata, “Masa Kakak meluk Diah nggak bosan-bosan.” Berbagai alasan Nanang lontarkan agar Diah tetap mau di peluk dan akhirnya akibat gesekan-gesekan batang kemaluan Nanang bergerak-gerak seperti akan ada yang keluar. Dan pada saat itu Diah berhasil lepas dari pelukan Nanang sambil pergi dan tidak lupa melenggokkan pantatnnya yang besar sambil mencibirkan mulutnya.
“Aduh, Gila si Diah masih tidak merasakan apa-apa dengan apa yang barusan saya lakukan,” guman Nanang dalam hati sambil terus memengang batang kemaluannya. Nanang berusaha menetralisir batang kemaluannya agar tidak terlalu tegang. “Tenang ya jago, nanti kamu juga akan menikmati kepunyaan Diah cuma tinggal waktu saja. Nanti saya akan pura-pura memberikan pelajaran Biologi tentang anatomi badan dan di sanalah akan saya suruh buka baju. Masa kalau sudah dibuka baju masih belum terangsang.”
Nanang memang punya prinsip kalau dalam berhubungan badan ia tidak mau enak sediri tapi harus enak kedua-duanya. Itulah pola pikir Nanang yang terus ia pertahankan. Seandainya ia mau tentunya dengan gampang ia memperkosa Diah. Ketegangan batang kemaluan Nanang terus bertambah besar tidak mau mengecil meskipun sudah diguyur oleh air. Untuk menghilangkan kepenatan Nanang keluar kamar sambil membakar sebatang rokok.

Ternyata Tante Rani masih ada di ruang tengah sambil melihat TV dan meminum susu yang dibuatnya sendiri. Tante Rani yang menggunakan tank top dengan rambut yang dibiarkan terurai tampak sangat cantik malam itu. Lekukan tubuhnya terlihat dengan jelas dan kedua payuadaranya pun terlihat dengan jelas tanpa BH, juga pahanya yang putih dan mulus terpampang indah di hadapannya. Keadaan itu terlihat karena Tante Rani duduk di sofa yang panjang dengan kaki yang putih menjulur ke depan.
Ketenganan Nanang semakin memuncak melihat keidahan tubuh Tante Rani yang sangat seksi dan mulus itu. “Kamu kenapa belum tidur,” kata Tante Rani sambil menuangkan segelas air susu untuk Nanang.
“Anu Tante, tidak bisa tidur,” balas Nanang dengan gugup.
Memang Tante Rani yang cantik itu tidak merasa canggung dengan keberadaan Nanang, ia tidak peduli dengan keberaan nya malah ia segaja memperlihatkan keindahan tubuhnya di hadapan Nanang yang sudah sangat terangsang.
“Maaf ya, Tante tadi siang telah berlaku kurang sopan terhadap Nanang.”
“Tidak apa-apa Tante, Nanang mengerti tentang hal itu,” jawab Nanang sambil terus menahan gejolak nafsunya yang sudah diluar batas normal ditambah lagi dengan perlakuan Diah yang membuat batang kemaluannya semakin menegang tidak tentu arah.
“Oom ke mana Tante, kok tidak kelihatan,” tanya Nanang mengisi perbincangan.
“Kamu tidak tahu, Oom kan sedang ke Bali mengurus proyek yang baru,” jawab Tante Rani.
Memang Om Budiman sangat jarang sekali ada di rumah dan itu membuat Ari semakin tahu akan kebutuhan batin Tante Rani, tapi itu tidak mungkin dilakukannya dengan tantenya.
Nanang dan Tante Rani duduk di sofa yang besar sambil sesekali tubuhnya digerak-gerakkan seperti cacing kepanasan. Tak diduga sebelumnya oleh Nanang, Tante Rani membuka dasternya yang menutupi paha putihnya yang putih bersih sambil menggaruk-garukkan tangannya di seputar gundukan kemaluannya.
Mata Nanang melongo tidak percaya. Dua kali dalam satu hari ia melihat paha Tante Rani, tapi yang ini lebih parah dari yang tadi siang di dalam mobil, sekarang Tante Rani tidak menggunakan celana dalam. Kemaluannya yang ditumbuhi bulu-bulu yang hitam tersingkap dengan jelas dan tangan Tante Rani terus menggaruk-garuk di seputar kemaluannya itu karena merasa ada yang gatal.
Melihat itu Nanang semakin gelisah dan tidak enak badan ditambah lagi dengan ketegangan di batang kemaluannya yang semakin menegang.
“Kamu kenapa Nanang,” tanya Tante Rani yang melihat wajah Nanang keluar keringat dingin.
“Nggak Tante, Nanang cuma mungkin capek,” balas Nanang sambil terus sekali-kali melihat ke pangkal paha putih milik Tante Rani.
Setelah merasa agak baikan di sekitar kemaluannya, Tante Rani segaja tidak menutup pahanya, malah ia duduk bersilang sehingga terlihat dengan jelas pangkal pahanya dan kemaluannya yang merekah. Melihat Nanang semakin menegang, Tante Rani tersenyum dan mempersilakan Nanang untuk meminum susu yang dituangkan di dalam gelas itu.
Ketegangan Nanang semakin memuncak dan Nanang tidak berani kurang ajar pada tantenya meskipun tahu bahwa tantenya segaja memperlihatkan kemulusan pahanya itu. “Tante, saya mau ke paviliun belakang untuk mencari udara segar. ” Melihat Nanang yang sangat tegang itu Tante Rani hanya tersenyum, dalam pikirannya sebentar lagi kamu akan tunduk padaku dan akan meminta untuk tidur denganku.
Sebelum sampai ke paviliun belakang Nanang jalan-jalan dulu di pinggiran kolam lalu ia duduk sambil melihat kolam di depannya. Sambil terus berusaha menahan gejolaknya antara menyetubuhi tantenya atau tidak. Sambil terus berpikir tentang kejadian itu.
Tidak segaja ia mendegar rintihan dari belakang yang kebetulan kamar Pak Dadi. Nanang terus mendekati kamar Pak Dadi yang kebetulan dekat dengan Paviliun. Nanang mengendus-endus mendekati jendela dan ternyata jendelanya tidak dikunci dan dengan mudah Nanang dapat melihat adegan suami istri yang sedang bermesraan.
Di dalam kamar yang berukuran cukup besar itu, Nanang melihatnya leluasa karena hanya terhalang oleh tumpukan pakaian yang digantung dekat jendela itu. Di dalamnya ternyata Pak Dadi dengan istrinya sedang bermesraan.

Istri Pak Dadi yang bernama Astri sedang asyik mengulum batang kejantanan Pak Dadi dengan lahapnya. Dengan penuh birahi Astri terus melahap dan mengulum batang kemaluan Pak Dadi yang ukurannya lebih kecil dari ukuran yang dimiliki Nanang.
Astri terus mengulum batang kemaluan Pak Dadi. Posisi Pak Dadi yang masih menggunakan pakaian dan celananya yang telah melorot ada di lantai dengan posisi berdiri terus mengerang-erang kenikmatan yang tiada bandingnya sedangkan Astri jongkok di lantai.
Terlihat Astri menggunakan CD warna hitam dan BH warna hitam. Erangan-erangan Pak Dadi membuat batang kemaluan Pak Dadi semakin mesra di kulum oleh Astri.
Dengan satu gerakan Astri membuka daster yang dipakainya karena melihat suaminya sudah kewalahan dengan kulumannya. Terlihat dengan jelas buah dada yang besar masih ditutupi BH hitamnya. Pak Dadi membantu membuka BH-nya dan dilanjutkan dengan membuka CD hitam Astri. Astri yang masih melekat di bandan Pak Dadi meminta Pak Dadi supaya duduk di samping ranjang.

Lalu Pak Dadi menyuruh Astri telentang di atas ranjang dan pantatnya diganjal oleh bantal sehingga dengan jelas terlihat bibir kemaluan Astri yang merah merekah menantang kejantanan Pak Dadi.
Sebelum memasukkan batang kemaluannya, Pak Dadi mengoleskan air ludahnya di permukaan bukit kemaluan Astri. Dengan kaki yang ada di pinggul Pak Dadi, Astri tersenyum melihat hasil karyanya yaitu batang kemaluan suaminya tercinta telah mampu bangkit dan siap bertempur.
Dengan perlahan batang kemaluan Pak Dadi dimasukkan ke dalam liang kemaluan Astri, terlihat Astri merintih saat merasakan kenikmatan yang tiada tara, kepala Astri dibolak-balikkan tanpa arah dan tangannya terus meraba-raba dada Pak Dadi dan sekali-kali meraba buah dadanya.
Memang beradunya batang kemaluan Pak Dadi dengan liang senggama Astri terasa cukup lancar karena ukurannya sudah pas dan kegiatan itu sering dilakukannya. Erangan-erangan Astri dan Pak Dadi membuat tubuh Nanang semakin Panas dingin, entah sudah berapa menit lamanya Tante Rani memainkan kemaluan Nanang yang sudah menegang, ia tersenyum ketika tahu bahwa di belakangnya ada orang yang sedang memegang kemaluannya.
“Tante, kapan Tante datang”, suara Nanang perlahan karena takut ketahuan oleh Pak Dadi sambil berusaha menjauh dari tempat tidur Pak Dadi. Tangan Tante Rani terus menggandeng Nanang menuju ruang tengah sambil tangannya menyusup pada kemaluan Nanang yang sudah menegang sejak tadi. Sesampainya di ruang tengah, Nanang duduk di tempat yang tadi diduduki Tante Rani, sementara Tante Rani tiduran telentang sambil kepalanya ada seputar pangkal paha Nanang dengan posisi pipi kanannya menyentuh batang kemaluan Nanang yang sudah menegang.
“Kamu kok orang yang sedang begituan kamu intip, nanti kamu jadi panas dingin dan kalau sudah panas dingin susah untuk mengobatinya. Untung saja kamu tadi tidak ketahuan oleh Pak Dadi kalau kamu ketahuan kamu kan jadi malu. Apalagi kalau ketahuan sama Oommu bisa-bisa Tante ini, juga kena marah.” Tante Rani memberikan nasehat-nasehat yang bijak sambil kepalanya yang ada diantara kedua selangkangan Nanang terus digesek-gesek ke batang kemaluan Nanang.
“Tante tahu kamu sekarang sudah besar dan kamu juga tahu tentang kehidupan seks. Tapi kamu pura-pura tidak mau,” goda Tante Rani,
“Dan kamu sudah tahu keinginan Tantemu ini, kamu malah mengintip kemesraan Pak Dadi,” nasehat-nasehat itu terus terlontar dari bibir yang merah merekah, dilain pihak pipi kirinya digesek-gesekkan pada batang kemaluan Nanang.


Nanang semakin tidak dapat lagi menahan gejolak yang sangat tinggi dengan tekanan voltage yang berada diluar batas kemanusiaan.
“Tante jangan gitu dong, nanti saya jadi malu sama Tante apalagi nanti kalau oom sampai tahu.” Mendengar elakan Nanang, Tante Rani malah tersenyum, “Dari mana Oommu tahu kalau kamu tidak memberitahunya.”
Gila, dalam pikiraanku mana mungkin aku memberitahu Oomku. Gerakan kepala Tante Rani semakin menjadi ditambah lagi kaki kirinya diangkat sehingga daster yang menutupi kakinya tersingkap dan gundukan hitam yang terawat dengan bersih terlihat merekah.
Bukit kemaluan Tante Rani terlihat dengan jelas dengan ditumbuhi bulu-bulu yang sudah dicukur rapi sehingga terlihat seperti kemaluan gadis seumur Diah.
Nanang sebetulnya sudah tahu akan keinginan Tante Rani. Tapi batinnya mengatakan bahwa dia tidak berhak untuk melakukannya dengan tantenya yang selama ini baik dan selalu memberikan kebutuhan hidupnya.
Tanpa disadari tantenya sudah menaikkan celana pendeknya yang longgar sehingga kepala batang kemaluan Nanang terangkat dengan bebas dan menyentuh pipi kirinya yang lebut dan putih itu. Melihat Keberhasilanya itu Tante Rani membalikkan badan dan sekarang Tante Rani telungkup di atas sofa dengan kemaluannya yang merekah segaja diganjal oleh bantal sofa.
Tangan Tante Rani terus memainkan batang kemaluan Nanang dengan sangat lembut dan penuh kasih sayang. “Aduh punya kamu ternyata besar juga,” bisik Tante Rani mesra sambil terus memainkan batang kejantanan Nanang dengan kedua tangannya.
“Masa kamu tega sama Tante dengan tidak memberikan reaksi apa pun Riee,” bisik Tante Rani dengan nafas yang berat. Mendengar ejekan itu hati Nanang semakin berontak dan rasanya ingin menelan tubuh molek di depannya bulat-bulat dan membuktikan pada tantenya itu bahwa saya sebetulnya bisa lebih mampu dari Pak Dadi.
Mulut Tante Rani yang merekah telah mengulum batang kemaluan Nanang dengan liarnya dan terlihat badan Tante Rani seperti orang yang tersengat setrum ribuan volt.
“Ayoo doong Riee, masa kamu akan menyiksa Tante dengan begini… ayo dong gerakin tanganmu.
” Kata-kata itu terlontar sebanyak tiga kali. Sehingga tangan Nanang semakin berani menyentuh pantatnya yang terbuka. Dengan sedikit malu-malu tapi ingin karena sudah sejak tadi batang kemaluan Ari menegang. Nanang mulai meraba-saba pantatnya dengan penuh kasih sayang.
Mendapakan perlakuan seperti itu, Tante Rani terus semakin menggila dan terus mengulum kepuyaan Nanang dengan penuh nafsu yang sudah lama dipendam. Sedotan bibir Tante Rani yang merekah itu seperti mencari sesuatu di dalam batang kemaluan Nanang.
Mendapat serangan yang sangat berapi-api itu akhirnya Nanang memutar kaki kirinya ke atas sehingga posisi Nanang dan tantenya seperti huruf T.
Tangan Nanang semakin berani mengusap-usap pinggul tantenya yang tersingkap dengan jelas. Daster tantenya yang sudah berada di atas pinggulnya dan kemaluan tantenya dengan lincah menjepit bantal kecil sofa itu.
“Ahkkk, nikmat..” Tantenya mengerang sambil terus merapatkan bibir kemaluannya ke bantal kecil itu sambil menghentikan sementara waktu kulumannya. Ketika ia merasakan akan orgasme.
“Nanang… Tante sudah tidak tahan lagi nich..” diiringi dengan sedotan yang dilakukan oleh tantenya itu karena tantenya ternyata sangat mahir dalam mengulum batang kemaluannya sementara tangannya dengan aktif mempermainkan sisi-sisi batang kemaluan Nanang sehingga Nanang dibuatnya tidak berdaya.
“Aduh . aduh.. Tante nikmat sekalii…” erang tantenya semakin menjadi-jadi. Hampir tiga kali Tante Rani merintih sambil mengerang. “Aduuh Rieee.. terus tekan-tekan pantat Tante..” desah Tante Rani sambil terus menggesek-gesekkan bibir kemaluannya ke bantal kecil itu.
Nanang meraba kemaluan tantenya, ternyata kemaluan Tante Rani sudah basah oleh cairan-cairan yang keluar dari liang kewanitaannya.
“Nanange… nah itu terus Riee.. terus..” erang Tante Rani sambil tidak henti-hentinya mengulum batang kemaluan Nanang.
“Kamu kok kuat sekali Riee,” bisik tante rRni dengan nafas yang terengah-engah sambil terus mengulum batang kemaluan Nanang. Tante Rani setengah tidak percaya dengan kuluman yang dilakukannya karena belum mampu membuat Nanang keluar sperma.
Nanang berguman, “Belum tahu dia, ini belum seberapa. Tante pasti sudah keluar lebih dari empat kali terbukti dengan bantal yang digunakan untuk mengganjal liang kewanitaannya basah dengan cairan yang keluar seperti air hujan yang sangat deras.”
Melihat batang kemaluan Nanang yang masih tegak Tante Rani semakin bernafsu, ia langsung bangkit dari posisi telungkup dengan berdiri sambil berusaha membuka baju Nanang yang masih melekat di badannya.
“Buka yaa Sayang bajunya,” pinta Tante Rani sambil membuka baju Nanang perlahan namun pasti. Setelah baju Nanang terbuka, Tante Rani membuka juga celana pendek Nanang agar posisinya tidak terganggu.
Lalu Tante Rani membuka dasternya dengan kedua tangannya, ia sengaja memperlihatkan keindahan tubuhnya di depan Nanang. Melihat dua gunung yang telah merekah oleh gesekan sofa dan liang kewanitaan tantenya yang merah ranum akibat gesekan bantal sofa, Ari menelan ludah. Ia tidak membayangkan ternyata tantenya mempunyai tubuh yang indah. Ditambah lagi ia sangat terampil dalam memainkan batang kemaluan laki-laki.
Masih dengan posisi duduk, tantenya sekarang ada di atas permadani dan ia langsung menghisap kembali batang kemaluan Nanang sambil tangannya bergantian meraba-raba sisi batang kemaluan Nanang dan terus mengulumnya seperti anak kecil yang baru mendapatkan permen dengan penuh gairah.


Dengan bantuan payudaranya yang besar, Tante Rani menggesek-gesek payudaranya di belahan batang kemaluan Nanang. Dengan keadaan itu Nanang mengerang kuat sambil berkata, “Aduh Tante.. terus Tante..” Mendengar erangan Nanang, Tante Rani tersenyum dan langsung mempercepat gesekannya.
Melihat Nanang yang akan keluar, Tante Rani dengan cepat merubah posisi semula dengan mengulum batang kemaluan dengan sangat liar. Sehingga warna batang kemaluan Nanang menjadi kemerah-merahan dan di dalam batang kemaluannya ada denyutan-denyutan yang sangat tidak teratur.
Nanang menahan nikmat yang tiada tara sambil berkata, “Terus Tante.. terus Tante..”, Dan Nanang pun mendekap kepala tantenya agar masuk ke dalam batang kemaluannya dan semprotan yang maha dahsyat keluar di dalam mulut Tante Rani yang merekah.


Mendapatkan semburan lahar panas itu, Tante Rani kegirangan dan langsung menelannya dan menjilat semua yang ada di dalam batang kemaluan Nanang yang membuat Nanang meraung-raung kenikmatan. Terlihat dengan jelas tantenya memang sudah berpengalaman karena bila sperma sudah keluar dan batang kemaluan itu tetap disedotnya maka akan semakin nikmat dan semakin membuat badan menggigil.
Melihat itu Tante Rani semakin menjadi-jadi dengan terus menyedot batang kemaluan Nanang sampai keluar bunyi slurp…, slurp…, akibat sedotannya. Setelah puas menjilat sisa-sisa mani yang menempel di batang kemaluan Nanang, lalu Tante Rani kembali mengulum batang kejantanan Nanang dengan mulutnya yang seksi.
Melihat batang kemaluan Nanang yang masih memberikan perlawanan, Tante Rani bangkit sambil berkata, “Gila kamu Rieee.. kamu masih menantang tantemu ini yaah.. Tante sudah keluar hampir empat kali kamu masih menantangnya.
” Mendengar tantangan itu, Nanang hanya tersenyum saja dan terlihat Tante Rani mendekat ke hadapan Nanang sambil mengarahkan liang kewanitaannya untuk melahap batang kemaluan Nanang. Sebelum memasukkan batang kemaluan Nanang ke liang kewanitaannya, Tante Rani terlebih dahulu memberikan ciuman yang sangat mesra dan Nanang pun membalasnya dengan hangat.
Saling pagut terjadi untuk yang kedua kalinya, lidah mereka saling bersatu dan saling menyedot. Tante Rani semakin tergila-gila sehingga liang kewanitaannya yang tadinya menempel di atas batang kemaluan Nanang sekarang tergeser ke belangkang sehingga batang kemaluan Nanang tergesek-gesek oleh liang kewanitaannya yang telah basah itu.
Mendapat perlakuan itu Nanang mengerang kenikmatan. “Aduuh Tante…” sambil melepaskan pagutan yang telah berjalan cukup lama.


“Clepp…” suara yang keluar dari beradunya dua surga dunia itu, perlahan namun pasti Tante Rani mendorongnya masuk ke lembah surganya. Dorongan itu perlahan-lahan membuat seluruh urat nadi Nanang bergetar.
Mata Tante Rani dipejamkan sambil terus mendorong pantatnya ke bawah sehingga liang kewanitaan Tante Rani telah berhasil menelan semua batang kemaluan Nanang. Tante Rani pun terlihat menahan nikmat yang tiada tara.
“Nanangee…” rintihan Tante Rani semakin menjadi ketika liang senggamanya telah melahap semua batang kemaluan Nanang. Tante Rani diam untuk beberapa saat sambil menikmati batang kemaluan Nanang yang sudah terkubur di dalam liang kewanitaannya.


“Riee, Tante sudah tidak kuat lagi… Sayang..” desah Tante Rani sambil menggerakan-gerakkan pantatnya ke samping kiri dan kanan. Mulut tantenya terus mengaduh, mengomel sambil terus pantatnya digeser ke kiri dan ke kanan.
Mendapatkan permainan itu Nanang mendesir, “Aduh Tante… terus Tante..” mendengar itu Tante Rani terus menggeser-geserkan pantatnya. Di dalam liang senggama tantenya ada tarik-menarik antara batang kemaluan Nanang dan liang kewanitaan tantenya yang sangat kuat, mengikat batang kemaluan Nanang dengan liang senggama Tante Rani. Kuatnya tarikan itu dimungkinkan karena ukuran batang kemaluan Nanang jauh lebih besar bila dibandingkan dengan milik Om Budiman.
Goyangan pantatnya semakin liar dan Nanang mendekap tubuh tantenya dengan mengikuti gerakannya yang sangat liar itu. Kucuran keringat telah berhamburan dan beradunya pantat Tante Rani dengan paha Nanang menimbulkan bunyi yang sangat menggairahkan, “Prut.. prat.. pret..” Tangan Nanang merangkul tantenya dengan erat.
Pergerakan mereka semakin liar dan semakin membuat saling mengerang kenikmatan entah berapa kali Tante Rani mengucurkan cairan di dalam liang kewanitaannya yang terhalang oleh batang kemaluan Nanang.
Tante Rani mengerang kenikmatan yang tiada taranya dan puncak dari kenikmatan itu kami rasakan ketika Tante Rani berkata di dekat telingan Nanang. “Nanangee…” suara Tante Rani bergetar, “Kamu kalau mau keluar, kita keluarnya bareng-bareng yaaah”. “Iya Tante…” jawab Nanang.
Selang beberapa menit Nanang merasakan akan keluar dan tantenya mengetahui, “Kamu mau keluar yaaa.” Nanang merangkul Tante Rani dengan kuatnya tetapi kedua pantatnya masih terus menusuk-nusuk liang kewanitaan Tantenya, begitu juga dengan Tante Rani rangkulanya tidak membuat ia melupakan gigitannya terhadap batang kemaluan Nanang.


Sambil terus merapatkan rangkulan. Suara Nanang keluar dengan keras, “Tanteee.. Tanteee..” dan begitu juga Tante Rani mengerang keras, “Rieee…”. Sambil keduanya berusaha mengencangkan rangkulannya dan merapatkan batang kemaluan dan liang kewanitaannya sehingga betul-betul rapat membuat hampir biji batang kemaluan Nanang masuk ke dalam liang senggama Tante Rani.
Akhirnya Nanang dan Tante Rani diam sesaat menikmati semburan lahar panas yang beradu di dalam liang sorga Tante Rani. Masih dalam posisi Tante Rani duduk di pangkuan Nanang. Tante Rani tersenyum, “Kamu hebat Nanang seperti kuda binal dan ternyata kepunyaan kamu lebih besar dari suaminya dan sangat menggairahkan.”
“Kamu sebetulnya sudah tahu keinginan Tante dari dulu ya, tapi kamu berusaha mengelaknya yaa..” goda Tante Rani. Nanang hanya tersenyum di goda begitu. Tante Rani lalu mencium kening Nanang. Kurang lebih Lima menit batang kemaluan Nanang yang sudah mengeluarkan lahar panas bersemayam di liang kewanitaan Tante Rani, lalu Tante Rani bangkit sambil melihat batang kemaluan Nanang.
Melihat batang kemaluan Nanang yang mengecil, Tante Rani tersenyum gembira karena dalam pikirannya bila batang kemaluannya masih berdiri maka ia harus terus berusaha membuat batang kemaluan Nanang tidak berdiri lagi.
Untuk menyakinkannya itu, tangan Tante Rani meraba-raba batang kemaluan Nanang dan menijit-mijitnya dan ternyata setelah dipijit-pijit batang kemaluan Nanang tidak mau berdiri lagi.
“Aduh untung batang kemaluanmu Rieee… tidak hidup lagi,” bisik Tante Rani mesra sambil berdiri di hadapan Nanang, “Soalnya kalau masih berdiri, Tante sudah tidak kuat Rieee” lanjutnya sambil tersenyum dan Duduk di sebelah Nanang. Sesudah Tante Rani dan Nanang berpanutan mereka pun naik ke atas dan masuk kamar-masing-masing.
Pagi-pagi sekali Nanang bangun dari tempat tidur karena mungkin sudah kebiasaannya bangun pagi, meskipun badannya ingin tidur tapi matanya terus saja melek. Akhirnya Nanang jalan-jalan di taman untuk mengisi kegiatan agar badannya sedikit segar dan selanjutnya badannya dapat diajak untuk tidur kembali karena pada hari itu Nanang tidak ada kuliah.
Kebiasaan lari pagi yang sering dilakukan diwaktu pagi pada saat itu tidak dilakukannya karena badannya terasa masih lemas akibat pertarungan tadi malam dengan tantenya.
Lalu Nanang pun berjalan menuju kolam, tidak dibanyangkan sebelumnya ternyata Tante Rani ada di kolam sedang berenang. Tante Rani mengenakan celana renang warna merah dan BH warna merah pula. Melihat kedatangan Nanang.
Tante Rani mengajaknya berenang. Nanang hanya tersenyum dan berkata, “Nggak ah Tante, Saya malas ke atasnya.” Mendapat jawaban itu, Tante Rani hanya tersenyum, soalnya Tante Rani mengetahui Nanang tidak menggunakan celana renang.
“Sudahlah pakai celana dalam aja,” pinta Tante Rani. Tantenya yang terus meminta Nanang untuk berenang. Akhirnya iapun membuka baju dan celana pendeknya yang tinggal melekat hanya celana dalamnya yang berwarna biru.
Celana dalam warna biru menempel rapat menutupi batang kemaluan Nanang yang kedinginan. Loncatan yang sangat indah diperlihatkan oleh Nanang sambil mendekati Tante Rani, yang malah menjauh dan mengguyurkan air ke wajah Nanang.
Sehingga di dalam kolam renang itu Tante Rani menjadi kejaran Nanang yang ingin membalasnya. Mereka saling mengejar dan saling mencipratkan air seperti anak kecil. Karena kecapaian, akhinya Tante Rani dapat juga tertangkap. Nanang langsung memeluknya erat-erat, pelukan Nanang membuat Tante Rani tidak dapat lagi menghindar.
“Udah akh Nanang.. Tante capek,” seru mesra Tante Rani sambil membalikkan badannya. Nanang dan Tante Rani masih berada di dalam genangan kolam renang. “Kamu tidak kuliah Rieee,” tanya Tante Rani.
“Tidak,” jawab Nanang pendek sambil meraba bukit kemaluan Tante Rani. Terkena rabaan itu Tante Rani malah tersenyum sambil memberikan ciuman yang sangat cepat dan nakal lalu dengan cepatnya ia melepaskan ciuman itu dan pergi menjauhi Nanang. Mendapatkan perlakuan itu Nanang menjadi semakin menjadi bernafsu dan terus memburu tantenya. Dan pada akhirnya tantenya tertangkap juga.
“Sudah ah… Tante sekarang mau ke kantor dulu,” kata Tante Rani sambil sedikit menjauh dari Nanang.
Ketika jaraknya lebih dari satu meter Tante Rani tertawa geli melihat Nanang yang celana dalamnya telah melorot di antara kedua kakinya dengan batang kemaluannya yang sudah bangkit dari tidurnya.
“Kamu tidak sadar Nanang, celana dalammu sudah ada di bawah lutut..” Mendengar itu Nanang langsung mendekati Tante Rani sambil mendekapnya.
Tante Rani hanya tersenyum. “Kasihan kamu, adikmu sudah bangun lagi, tapi Tante tidak bisa membantumu karena Tante harus sudah pergi,” kata Tante Rani sambil meraba batang kemaluan Nanang yang sudah menegang kembali.
Mendengar itu Nanang hanya melongo kaget. “Akhh, Tante masa tidak punya waktu hanya beberapa menit saja,” kata Nanang sambil tangannya berusaha membuka celana renang Tante Rani yang berwarna merah.
Mendapat perlakuan itu Tante Rani hanya diam dan ia terus mencium Nanang sambiil berkata, “Iyaaa deh.. tapi cepat, yaa.. jangan lama-lama, nanti ketahuan orang lain bisa gawat.”
Tante Rani membuka celana renangnya dan memegangnya sambil merangkul Nanang. Batang kemaluan Nanang langsung masuk ke dalam liang kewanitaan Tante Rani yang sudah dibuka lebar-lebar dengan posisi kedua kakinya menempel di pundak Nanang.


Beberapa detik kemudian, setelah liang kewanitaan Tante Rani telah melahap semua batang kemaluan Nanang dan dirasakannya batang kemaluan Nanang sudah menegang. Tante Rani menciumnya dengan cepat dan langsung mendorong Nanang sambil pergi dan terseyum manis meninggalkan Nanang yang tampak kebingungan dengan batang kemaluannya yang sedang menegang.
Mendapat perlakuan itu Nanang menjadi tambah bernafsu kepada Tante Rani, dan ia berjanji kalau ada kesempatan lagi ia akan menghabisinya sampai ia merasa kelelahan. Lalu Nanang langsung pergi meninggalkan kolam itu untuk membersihkan badannya.
Setelah di kamar, Nanang langsung membuka semua bajunya yang menjadi basah itu, ia langsung masuk kamar mandi dan menggosok badan dengan sabun. Ketika akan membersihkan badannya, air yang ada di kamar mandinya ternyata tidak berjalan seperti biasanya.
Dan langsung Nanang teringat akan keberadaan kamar Diah. Nanang lalu pergi keluar kamar dengan lilitan handuk yang menempel di tubuhnya. Wajahnya penuh dengan sabun mandi. “Diah.. Diah.. Diah..” teriak Nanang sambil mengetuk pintu kamar Diah. “Masuk Kak Nanange, tidak dikunci.” balas Diah dari dalam kamar.
Didapatinya ternyata Diah masih melilitkan badan dengan selimut dengan tangannya yang sedang asyik memainkan kemaluannya. Permainan ini baru didapatkannya ketika ia melihat adegan tadi malam antara kakaknya dengan Nanang dan kejadian itu membuat ia merasakan tentang sesuatu yang selama ini diidam-idamkan oleh setiap manusia.
“Ada apa Kak Nanang,” kata Diah sambil terus berpura-pura menutup badannya dengan selimut karena takut ketahuan bahwa dirinya sedang asyik memainkan kemaluannya yang sudah membasah sejak tadi malam karena melihat kejadiaan yang dilakukan kakaknya dengan Nanang.
“Anu Diah.. Kakak mau ikut mandi karena kamar mandi Nanang airnya tidak keluar.” Memang Diah melihat dengan jelas bahwa badan Nanang dipenuhi oleh sabun tapi yang diperhatikan Diah bukannya badan tapi Diah memperhatikan diantara selangkangannya yang kelihatan mencuat.
Iseng-iseng Diah menanyakan tentang apa yang mengganjalnya dalam lilitan handuk itu. Mendengar pertanyaan itu niat Nanang yang akan menerangkan tentang biologi ternyata langsung kesampaian dan Nanang pun langsung memperlihatkannya sambil memengang batang kemaluannya,
“Ini namanya penis.. Sayang,” kata Nanang yang langsung menuju kamar mandi karena melihat Diah menutup wajahnya dengan selimut.
Melihat batang kemaluan Nanang yang sedang menegang itu Diah membayangkan bila ia mengulumnya seperti yang dilakukan kakaknya.
Keringat dingin keluar di sekujur tubuh Diah yang membayangkan batang kemaluan Nanang dan ia ingin sekali seperti yang dilakukan oleh kakaknya juga ia melakukannya. Mata Diah terus memandang Nanang yang sedang mandi sambil tangan terus bergerak mengusap-usap kemaluannya.


Akhirnya karena Diah sudah dipuncak kenikmatan, ia mengerang akibat dari permainan tangannya itu telah berhasil dirasakannya .Dengan beraninya Diah pergi memasuki kamar mandi untuk ikut mandi bersama Nanang. Melihat kedatangan Diah ke kamar mandi, Nanang hanya tersenyum. “Kamu juga mau mandi,” kata Nanang sambil mencubit pinggang Diah.
Diah yang sudah dipuncak kenikmatan itu hanya tersenyum sambil melihat batang kemaluan Nanang yang masih mengeras.
“Kak boleh nggak Diah mengelus-elus barang itu,” bisik Diah sambil menunjuknya dengan jari manisnya. Mendengar permintaan itu Nanang langsung tersenyum nakal, ternyata selama ini apa yang diidam-idamkannya akan mendapatkan hasilnya.
Dalam pikiran Nanang, Diah sekarang mungkin telah mengetahui akan kenikmatan dunia. Tanpa diperintah lagi Nanang langsung mendekatkan batang kemaluannya ke tangan Diah dan menuntun cara mengelus-elusnya. Tangan Diah yang baru pertama kali meraba kepunyaan laki-laki itu sedikit canggung, tapi ia berusaha meremasnya seperti meremas pisang dengan tenaga yang sangat kuat hingga membuat Nanang kesakitan.


“Aduh.. jangan keras-keras dong Diah, nanti batang kemaluannya patah.” Mendengar itu Diah menjadi sedikit kaget lalu Ari membatunya untuk memainkan batang kemaluannya dengan lembut.
Tangan Diah dituntunnya untuk meraba batang kemaluan Nanang dengan halus lalu batang kemaluan Nanang didekatkan ke wajah Diah agar mengulumnya. Diah hanya menatapnya tanpa tahu harus berbuat apa.


Lalu Nanang memerintahkan untuk mengulumnya seperti mengulum ice crem, atau mengulumnya seperti mengulum permen karet. Diperintah tersebut Diah langsung menurut, mula-mula ia mengulum kepala batang kemaluan Nanang lalu 


Diah memasukkan semua batang kemaluan Nanang ke dalam mulutnya. Tapi belum juga berapa detik Diah terbatuk-batuk karena kehabisan nafas dan mungkin juga karena nafsunya terlalu besar.
Setelah sedikit tenang, Diah mengulum lagi batang kemaluan Nanang tanpa diperintah sambil pinggul Diah bergoyang menyentuh kaki Nanang. 


Melihat kejadian itu Nanang akhirnya menghentikan kuluman Diah dan langsung mengangkat Diah dan membawanya ke ranjang yang ada di samping kamar mandi. Sesampainya di pinggir ranjang, dengan hangat Diah dipeluk oleh Nanang dan Diah pun membalas pelukan Nanang. Bibir Diah yang polos tanpa liptik dicium Nanang dengan penuh kehangatan dan kelembutan.
Dicium dengan penuh kehangatan itu Diah untuk beberapa saat terdiam seperti patung tapi akhirnya naluri seksnya keluar juga, ia mengikuti apa yang dicium oleh Nanang. Bila Nanang menjulurkan lidahnya maka Diah pun sama menjulurkan lidahnya ke dalam mulut Nanang.
Dengan permainan itu Diah sangat menikmatinya apalagi Nanang yang bisa dikatakan telah dilatih oleh kakaknya yang telah berpengalaman.
Kecupan Diah kadang kala keluar suara yang keras karena kehabisan nafas. “Pek.. pek..” suara bibir Diah mengeluarkan suara yang membuat Nanang semakin terangsang. Mendengar suara itu Nanang tersenyum sambil terus memagutnya.
Tangan Nanang dengan terampil telah membuka daster putih yang dipakai Diah. Dengan gerakan yang sangat halus, Nanang menuntun Diah agar duduk di pinggir ranjang dan Diah pun mengetahui keinginan Nanang itu. Bibir Diah yang telah berubah warna menjadi merah terus dipagut Nanang dengan posisi Diah tertindih oleh Nanang. Tangan Diah terus merangkul Nanang sambil bukit kemaluannya menggesek-gesekkan sekenanya.
Lalu Nanang membalikkan tubuh Diah sehingga kini Diah berada di atas tubuh Nanang, dengan perlahan tangan Nanang membuka BH putih yang masih melekat di tubuh Diah. Setelah berhasil membuka BH yang dikenakan Diah, Nanang pun membuka CD putih yang membungkus bukit kemaluan Diah dilanjutkan menggesek-gesekkan sekenanya.
Erangan panjang keluar dari mulut Diah. “Auuu…” sambil mendekap Nanang keras-keras. Melihat itu Nanang semakin bersemangat. Setelah Nanang berhasil membuka semua pakaian yang dikenakan Diah, terlihat Diah sedikit tenang iapun kembali membalikkan Diah sehingga ia sekarang berada di atas tubuh Diah.
Nanang menghentikan pagutan bibirnya ia melanjutkan pagutannya ke bukit kemaluan Diah yang telah terbuka dengan bebas. Dipandanginya bukit kemaluan Diah yang kecil tapi penuh tantangan yang baru ditumbuhi oleh bulu-bulu hitam yang kecil-kecil. Kaki Diah direnggangkan oleh Nanang. Pagutan Nanang beganti pada bibir kecil kepunyaan Diah.
Pantat Diah terangkat dengan sendirinya ketika bibir Nanang mengulum bukit kemaluan kecilnya yang telah basah oleh cairan. Harum bukit kemaluan perawan membuat batang kemaluan Nanang semakin ingin langsung masuk ke sarangnya tapi Nanang kasihan melihat Diah karena kemaluannya belum juga merekah.
Jilatan bibir Nanang yang mengenai klitoris Diah membuat Diah menjepit wajah Nanang. Semburan panas keluar dari bibir bukit kemaluan Diah. Diah hanya menggeliat dan menahan rasa nikmat yang baru pertama kali didapatkanya.
Lalu Nanang merasa yakin bahwa ini sudah waktunya, ditambah lagi batang kemaluannya yang sudah telalu lama menengang. Nanang menarik tubuh Diah agar pantatnya pas tepat di pinggir ranjang. Kaki Diah menyentuh lantai dan Nanang berdiri diantara kedua paha Diah.
Melihat kondisi tubuh Diah yang sudah tidak menggunakan apa-apa lagi ditambah dengan pemandangan bukit kemaluan Diah yang sempit tapi basah oleh cairan yang keluar dari bibir kecilnya membuat Nanang menahan nafas.
Nanang berdiri, dan batang kemaluannya yang besar itu diarahkan ke bukit kemaluan Diah. Melihat itu Diah sedikit kaget dan merasa takut Diah menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Melihat gejala itu Nanang hanya tersenyum dan ia sedikit lebih melebarkan paha Diah sehingga klitorisnya terlihat dengan jelas.
Ia menggesek-gesekkan batang kemaluannya di bibir kemaluan Diah. Sambil menggesek-gesek batang kemaluan, Nanang kembali mendekap Diah sambil membuka tangannya yang menutupi wajahnya. Melihat Nanang yang membuka tangannya, Diah langsung merangkulnya dan mencium bibir Nanang. Pagutan pun kembali terjadi, bibir Diah dengan lahapnya terus memagut bibir Nanang.
Suara erangan kembali keluar lagi dari mulut Diah. “Aduhh… Kaak…” erang Diah sambil merangkul tubuh Nanang dengan keras.
Nanang meraba-raba bukit kemaluan Diah dengan batang kemaluannya setelah yakin akan lubang kemaluan Diah, Nanang mendorongnya perlahan dan ketika kepala kejantanan Nanang masuk ke liang senggama Diah. Diah mengerang kesakitan, “Kak.. aduh sakit, Kak…”


Mendengar rintihan itu, Nanang membiarkan kepala kemaluannya ada di dalam liang senggama Diah dan Nanang terus memberikan pagutannya. Kuluman bibir Diah dan Nanang pun berjalan lagi. Dada Nanang yang besar terus digesek-gesekkan ke payudara Diah yang sudah mengeras.
Diah yang menahan rasa sakit yang telah bercampur dengan rasa nikmat akhirnya mengangkat kakinya tinggi-tinggi untuk menghilangkan rasa sakit di liang senggamanya dan itu ternyata membantunya dan sekarang menjadi tambah nikmat.


Kepala kemaluan Nanang yang besar baru masuk ke liang kewanitaan Diah, tapi jepitan liang kemaluan Diah begitu keras dirasakan oleh batang kemaluan Nanang.
Sambil mencium telinga kiri Diah, Nanang kembali berusaha memasukkan batang kemaluannya ke liang senggama Diah. “Aduh.. aduh.. aduh.. Kak,” Mendengar rintihan itu Nanang berkata kepada Diah. “Kamu sakit Diah,” bisik Nanang di telinga Diah. “Nggak tahu Kaak ini bukan seperti sakit biasa, sakit tapi nikmat..”
Mendengar penjelasan itu, Nanang terus memasukkan batang kemaluannya sehingga sekarang kepala kemaluannya sudah masuk semua ke dalam liang senggama Diah. Batang kemaluan Nanang sudah masuk ke liang senggama Diah hampir setengahnya.
Batang kemaluannya sudah ditelan oleh liang kemaluan Diah, kaki Diah semakin diangkat dan tertumpang di punggung Nanang. Tiba-tiba tubuh Diah bergetar sambil merangkul Nanang dengan kuat.


“Aduhhh…” dan cairan hangat keluar dari bibir kemaluan Diah, Nanang dapat merasakan hal itu melalui kepala kemaluannya yang tertancap di bukit kemaluan Diah. Lipatan paha Diah telah terguyur oleh keringat yang keluar dari tubuh mereka berdua.
Mendapat guyuran air di dalam bukit kemaluan itu, Nanang lalu memasukkan semua batang kemaluannya ke dalam lubang senggama Diah. Dengan satu kali hentakan. “Preeet…” Diah melotot menahan kesakitan yang bercampur dengan kenikmatan yang tidak mungkin didapatkan selain dengan Nanang.


“Auh.. auh.. auh..” suara itu keluar dari mulut kecil Diah setelah seluruh batang kejantanan Nanang berada di dalam lembah kenikmatan Diah. “Kak, Badan Diah sesak, sulit bernafas,” kata Diah sambil menahan rasa nikmat yang tiada taranya.
Mendengar itu lalu Nanang membalikkan tubuh Diah agar ia berada di atas Ari. Mendapatkan posisi itu Diah seperti pasrah dan tidak melakukan gerakan apapun selain mendekap tubuh Nanang sambil meraung-raung kenikmatan yang tiada taranya yang baru kali ini dirasakannya.
Diah dan Nanang terdiam kurang lebih lima menit. “Diah, sekarang bagaimana badanmu,” kata Nanang yang melihat Diah sekarang sudah mulai menggoyang-goyangkan pantatnya dengan pelan-pelan.
“Udah agak enakan Kak,” balas Diah sambil terus menggoyang-goyangkan pantatnya ke kiri dan ke kanan. Mendapatkan serangan itu Nanang langsung mengikuti gerakan goyangan itu dan goyangan Nanang dari atas ke bawah.
Lipantan-lipatan kehangatan tercipta di antara selangkangan Diah dan Nanang. Sambil menggoyangkan pantatnya, mulut Diah tetap mengaduh, “Aduhhh…” Merasakan nikmat yang telah menyebar ke seluruh badannya. Tanpa disadari sebelumnya oleh Nanang.


Diah dengan ganasnya menggoyang-gonyangkan pantatnya ke samping dan ke kiri membuat Nanang kewalahan ditambah lagi kuatnya jepitan bukit kemaluan Diah yang semakin menjepit seperti tang yang sedang mencepit paku agar paku itu putus.
Beberapa menit kemudian Nanang memeluk badan Diah dengan eratnya dan batang kemaluannya berusaha ditekan ke atas membuat pantat Diah terangkat. Semburan panas pun masuk ke bukit kemaluan Diah yang kecil itu. Mendapat semburan panas yang sangat kencang, Diah mendesis kenikmatan sambil mengeram, “Aduhh… aduh.. Kak..”
Selang beberapa menit Nanang diam sambil memeluk Diah yang masih dengan aktif menggerak-gerakkan pantatnya ke kiri dan ke kanan dengan tempo yang sangat lambat. Setelah badannya merasa sudah agak baik, Nanang membalikkan tubuh Diah sehingga sekarang tubuh Diah berada di bawah Nanang.


Batang kemaluan Nanang masih menancap keras di lembah kemaluan Diah meskipun sudah mengeluarkan sperma yang banyak. Lalu kaki Diah diangkat oleh Nanang dan disilangkan di pinggul. Nanang mengeluarkan batang kemaluannya yang ada di dalam liang senggama Diah.
Mendapat hal itu mata Diah tertutup sambil membolak-balikkan kepala ke kiri dan ke kanan lalu dengan perlahan memasukkan lagi batang kemaluannya ke dalam liang senggama Diah, turun naik batang kemaluan Nanang di dalam liang perawan Diah membuat Diah beberapa kali mengerang dan menahan rasa sakit yang bercampur dengan nikmatnya dunia.
Tarikan bukit kemaluan Diah yang tadinya kencang pelan- pelan berkurang seiring dengan berkurangnya tenaga yang terkuras habis dan selanjutnya Nanang mengerang-erang sambil memeluk tubuh Diah dan Diah pun sama mengeluarkan erangan yang begitu panjang, keduanya sedang mendapatkan kenikmatan yang tiada taranya.
Nanang mendekap Diah sambil menikmati semburan lahar panas dan keluarnya sperma dalam batang kemaluan Nanang dan Diah pun sama menikmati lahar panas yang ada dilembah kenikmatannya. Kurang lebih lima menit, Nanang memeluk Diah tanpa adanya gerakan begitu juga Diah hanya memeluk Nanang.
Dirasakan oleh Nanang bahwa batang kemaluannya mengecil di dalam liang kemaluan Diah dan setelah merasa batang kemaluannya betul-betul mengecil Nanang menjatuhkan tubuhnya di samping Diah. Nanang mencium kening Diah. Diah membalasnya dengan rintihan penyesalan, seharusnya Nanang bertanggung jawab atas hilangnya perawan yang dimiliki Diah.
Mendengar itu Nanang hanya tersenyum karena memang selama ini Nanang mendambakan istri seperti Diah ditambah lagi ia mengetahui bila hidup dengan Diah maka ia akan mendapatkan segalanya. Nanang mengucapkan selamat bobo kepada Diah yang langsung tertidur kecapaian dan Nanang langsung keluar dari kamar Diah setelah Nanang menggunakan pakaiannya kembali.
Nanang masuk ke dapur, didapatnya tantenya sedang dalam keadaan menungging mengambil sesuatu. Terlihat dengan jelas celana merah muda yang dipakai tantenya. Tante Rani dibuat kaget karena Nanang langsung meraba liang kewanitaannya yang terbungkus CD merah muda sambil menegurnya. “Tante sudah pulang,” tanya Nanang.
Sambil melepaskan rabaan tangannya di liang kewanitaan tantenya. Lalu Nanang membuka kulkas untuk mencari air putih. “Iya, Tante hanya sebentar kok. Soalnya Tante kasihan dengan burung kamu yang tadi Tante tinggalkan dalam keadaan menantang,” jawab Tante Rani sambil tersenyum.
“Bagaimana sekarang Nanang burungnya, sudah mendapatkan sarang yang baru ya..” Mendapat ejekan itu, Nanang langsung kaget.
“Ah Tante, mau cari sangkar di mana,” jawab Nanang mengelak.
“Nanang kamu jangan mengelak, Tante tau kok.. kamu sudah mendapatkan sarang yang baru jadi kamu harus bertanggung jawab. Kalau tidak kamu akan Tante laporkan sama Oom dan kedua orang tuanmu bahwa kamu telah bermain gila bersama Diah dan Tante.”
Mendengar itu, Nanang langsung diam dan ia akan menikahi Diah seperti yang dijanjikanya. Mendengar hal itu Tante Rani tersenyum dan memberikan kecupan yang mesra kepada Nanang sambil meraba batang kemaluan Nanang yang sudah tidak kuat untuk berdiri.
Melihat batang kemaluan Nanang yang sudah tidak kuat berdiri itu Tante Rani tersenyum. “Pasti adikku dibuatnya KO sama kamu yaa… Buktinya burung kamu tidak mau berdiri,” goda Tante Rani. “Ahh nggak Tante, biasa saja kok.”
Tante Rani meninggalkan Nanang, sambil mewanti-wanti agar menikahi adiknya. Akhirnya pernikahan Diah dengan Nanang dilakukan dengan pernikahan dibawah tangan atau pernikahan secara agama tetapi dengan tanpa melalui KUA karena Diah masih dibawah umur.
Tamat


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KEBIASAAN BURUK Aku punya sebuah kebiasaan sejak lama. Aku suka sekali bila tubuhku dipandangi dengan bebas. Mungkin karena aku terl...