Kisah Ini sudah 13 tahun yang lalu, saat
Saya masih kuliah disebuah kota S di P. Saya mempunyai teman satu
angkatan satu jurusan Yon namanya, berasal dari kota W. Kami begitu lengketnya,
study, ngobrol, jalan ngalor-ngidul, ngapelin cewek satupun sering bersama.
Sampai kecewapun sering bareng-bareng. Yon si anak “bocor” tapi baik hati itu
tinggal dirumah tantenya (yang biasa saya panggil Ibu Tari) yang hanya
punya anak gadis semata wayang. Itupun begitu lulus S1 Manajemen perusahaan
langsung dilibas habis kegadisannya sama pacarnya, dalam suatu perkawinan,
terus diboyong ke Jakarta.
Tinggallah Ibu Tari ini dengan suaminya
yang pengusaha jasa konstruksi dan trading itu dengan pembantu dan sopir.
Kebetulan Yon ini keponakan kesayangan. Wajar saja dia suka besar kepala karena
jadi tumpahan sayang Ibu Tari. Sampai suatu saat dia minta tinggal di luar
rumah utama yang sebenarnya berlebih kamar, ya si tante nurut saja. Alasan Yon
biar kalau pulang larut malam, tidak mengganggu orang rumah karena minta
dibukakan pintu.Ruang yang dia minta dan bangun adalah gudang di sebelah garasi
mobil. Dengan selera anak mudanya dia atur interior ruangan itu seenak
perutnya. Setengah selesai penataan ruang yang akhirnya jadi kamar yang cukup
besar itu, sekali lagi Yon menawarkan diri agar saya mau tinggal
bersamanya. Saat itu Ibu Tari, hanya senyum-senyum saja. Seperti dulu-dulupun
saya menolaknya. Gengsi sedikitlah, sebab ikut tinggal di rumah Bu Tari
berarti semuanya serba gratis, itu artinya hutang budi, dan artinya lagi
ketergantungan. Biar saya suka pusing mikirin uang kost bulanan, makan
sehari-hari atau nyuci pakaian sendiri, sedikitnya di kamar kostku
saya seperti manusia merdeka.
Tapi hari itu, entah karena
bujukan mereka, atau karena sayangku juga pada mereka dan sebaliknya sayang
mereka padaku selama ini. Akhirnya saya terima juga tawaran itu, dengan
perjanjian bahwa saya tidak mau serba gratis. Saya maunya bayar,
walaupun uang bayaran kostku itu ibarat ngencingin kolam renang buat Bu Tari yang
memang kaya itu. Toh selama ini saya menganggap rumah Bu Tari ini rumah
kostku yang kedua, sebelumnya sering juga saya menginap dan nongkrong
hampir setiap hari di sini.Ada satu hal sebenarnya yang ikut juga menghalangiku
selama ini menolak tawaran Yon atau Bu Tari untuk tinggal di rumahnya. Entah
kenapa saya yang anak muda begini, suka merasakan ada sesuatu yang aneh di
dada kalau bertatapan, ngobrol, bercanda, diskusi dan berdekatan dengan Bu
Tari. Perempuan yang selayaknya jadi tante atau bahkan ibuku itu.
Bagiku Ibu Tari bukan hanya sosok
perempuan cantik atau sedikitnya orang yang melihatnya akan menilai bahwa
semasa gadisnya Bu Tari adalah perempuan yang luar biasa. Bukan hanya sekedar
bahwa sampai setua itu Ibu Tari masih punya bentuk tubuh yang meliuk-liuk.
Senyumnya, dada, pinggang, sampai ke pinggulnya suka membuatku susah tidur dan
baru lega jika saya beronani membayangkan bersetubuh dengannya. Jika
saya beronani tidak cukup kalau cuma keluar sekali saja.Gejala apa ini,
apakah wajar saya terobsesi sosok perempuan yang tidak hanya sekedar
cantik, tapi berintelegensi bagus, penuh kasih dan nature. Buatku secantik
apapun perempuan jika tidak punya tiga unsur itu, hambar dalam selera dan
pandanganku. Seperti sebuah buku kartun yang tolol dan tidak lucu saja
layaknya. Malangnya Ibu Tari memiliki semua itu, dan lebih malangnya lagi
saya . Di bawah sadar sering saya diremas-remas iri dan cemburu jika
melihat Ibu Tari berbincang mesra atau melayani Pak Bagong, suaminya. Begitu
telaten dan indah. Gila!
Selama saya tinggal di rumah Bu
Tari itu, pada awalnya semua biasa saja. Perhatian dan sayang Bu Tari kurasakan
tak ada bedanya terhadapku dan Yon. Kupikir semua ini naluri keibuannya saja.
Tetapi semua itu berjalan hanya sampai kurang lebih 4 bulan.
Di suatu malam dari balik jendela
kamarku kulihat beberapa kali Ibu Tari keluar masuk rumah dengan gelisah
menunggu Pak Bagong yang sampai jam 22.00 belum pulang. Sebentar dia kedalam
sebentar keluar lagi, duduk dikursi, memandang kejalan dengan muka gelisah, membalik-balik
majalah lalu masuk lagi. Keluar lagi. Kuperhatikan belakangan ini Ibu Tari
begitu murung. Ada masalah yang dia sembunyikan. Senyumnya sering kali getir
dan terpaksa.
Saya beranjak ke kamar mandi untuk pipis. Buku Nick Carter yang sejak tadi membuat penisku tegang kugeletakkan dimeja. Tapi begitu saya kembali ternyata Bu Tari sudah duduk di kursi panjang di kamarku memegang buku itu. Saya hanya meringis ketika Bu Tari meledekku membaca buku Nick Charter yang pas dicerita ah.,eh.,oh kertasnya saya tekuk. Sesaat setelah kami kehabisan bahan bicara, muka Bu Tari kembali mendung lagi. Dia berdiri, berjalan ke sana sini dengan pelan tanpa suara merapikan apa saja yang dilihatnya berantakan. Sprei tempat tidur, buku-buku, koran, majalah, pakaian kotor dan asbak rokok. Ya maklum kamar bujanganlah. Saya pindah duduk dikursi panjang lantas mematung memperhatikannya. Seperti tanpa kedip. Semua yang dilakukannya adalah keindahan seorang perempuan, seorang ibu.
Saya beranjak ke kamar mandi untuk pipis. Buku Nick Carter yang sejak tadi membuat penisku tegang kugeletakkan dimeja. Tapi begitu saya kembali ternyata Bu Tari sudah duduk di kursi panjang di kamarku memegang buku itu. Saya hanya meringis ketika Bu Tari meledekku membaca buku Nick Charter yang pas dicerita ah.,eh.,oh kertasnya saya tekuk. Sesaat setelah kami kehabisan bahan bicara, muka Bu Tari kembali mendung lagi. Dia berdiri, berjalan ke sana sini dengan pelan tanpa suara merapikan apa saja yang dilihatnya berantakan. Sprei tempat tidur, buku-buku, koran, majalah, pakaian kotor dan asbak rokok. Ya maklum kamar bujanganlah. Saya pindah duduk dikursi panjang lantas mematung memperhatikannya. Seperti tanpa kedip. Semua yang dilakukannya adalah keindahan seorang perempuan, seorang ibu.
Setelah selesai, sejenak Bu Tari hanya
berdiri, melihat jam didinding lalu menatapku dengan mata yang kosong.
Saya coba untuk tersenyum sehangat mungkin. Bu Tari duduk di sampingku.
Mukanya yang tetap murung akhirnya membuatku berani bicara mengomentari
sikapnya belakangan ini dan bertanya kenapa? Bu Tari tersenyum hambar,
menggeleng-gelengkan kepala, diam, menunduk, menarik napas dalam dan melepasnya
dengan halus. Sunyi. Seperti ingin to the point saja, Bu Tari menceritakan
masalah dengan suaminya.
Seperti kampung yang diserbu provokator
dan perusuh saja, otakku tercabik-cabik, terbuka. Hubungan Bu Tari dengan
suaminya selama ini ternyata semuanya penuh kepura-puraan. Kemesraan mereka
semu tak bernurani, bagai sebuah ruangan setengah kosong, dan setengahnya lagi
sekedar keterpaksaan pelaksanaan kewajiban saja. Bu Tari berada di dalamnya.
Suaminya tahu tapi seperti sengaja membiarkannya memikir, menghadapi dan
menyelesaikannya sendiri. Menerima keadaan.
Entah karena kesepian, butuh orang
sebagai tumpahan hatinya yang kesal dan rasa disia-siakan. Bu Tari menceritakan
bahwa Pak Bagong sudah lama mempunyai istri simpanan di sebuah perumahan
menengah pinggir kota. Tak pernah hal ini dia ceritakan kepada siapapun juga
kepada anaknya sendiri Mbak Clara di Jakarta. Sama dengan kebanyakan
istri-istri pejabat yang walaupun tahu suaminya punya simpanan perempuan, Bu
Tari hanya bisa menahan hati. Konon katanya, justru sebenarnya banyak istri
pejabat yang malah mencarikan perempuan khusus untuk dijadiakn simpanan
suaminya sendiri, demi keamanan, “nama baik” dan jabatan. Biar si suami tidak
asal hantam dan makan sembarang wanita. Toh, Istri tahu atau tidak, terima atau
tidak, si suaminya dengan jabatan, uang dan kelelakiannya dapat melakukan apa
saja pada perempuan-perempuan yang mau. Semua itu seperti permaisuri yang mencarikan
selir untuk suaminya sendiri.
“Dia ingin punya anak laki-laki Win (Win
nama palsu saya)” Begitu ucap Bu Tari malam itu.
Matanya mulai berkaca-kaca. Dulu Bu Tari
memang suka bercerita betapa inginnya dia punya anak laki-laki yang banyak. Dia
suka menyesali diri kenapa Tuhan hanya memberinya satu anak saja. “Apakah itu alasan yang wajar Win”
Ucapnya lagi.
Kedua tangannya memegang tangan kananku
dan matanya yang memelas lurus menatapku. Seolah meminta dukungan bahwa
kelakuan Pak Bagong salah. Saya bingung. Mau ngomong apa, seribu kata
aduk-adukan diotak hingga saya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.
Diluar dugaanku, tangis Bu Tari malah
meledak tertahan. Dia jatuhkan mukanya ke pundak kiriku. Saya bingung,
tapi naluri lelakiku berkata dia teraniaya dan butuh perlindungan, hingga
akhirnya tanganku begitu saja merengkuhnya. Bu Tari malah membenamkan wajahnya
ke dadaku. Saya elus-elus punggungnya dan dengan pipiku kugesek-gesek
rambutnya agar dia tenang. Kucium wangi parfum dari tubuh dan rambutnya.
Sesaat rasanya, sampai akhirnya Bu Tari
menarik mukanya dan memandangiku dengan senyumnya yang gusar. Saya ikut
tersenyum. Ada malu, ada rasa bersalah, ada pertanyaan ada kehausan di mata Bu
Tari, dan ada yang menyesakan dadanya. Entah rasa sayang atau sekedar untuk
menetralisir hatinya, saya usap air matanya dengan jariku. Bu Tari hanya
diam setengah bengong menatapku. Hening. Sepi.
“Ibu bahagia sekali win kamu mau tinggal
disini. Entah bagaimana rasanya rumah ini kalau tak ada kamu dan Yon. Sepi. Tidak ada lagi yang bisa diharapkan.
Mungkin ibu bisa mati sedih dirumah sebesar ini” Ucap Bu Tari pelan tertunduk
murung.
“Kenapa Ibu baru menceritakannya
sekarang?” Ucapku.
“Untuk apa?” Ucap Bu Tari
menggeleng-geleng.
“Setidaknya beban Ibu dapat berkurang”.
“Buat Ibu cukup melihat Kamu dan Yon
ceria dan bahagia di rumah ini. Kalianlah yang justru membuat Ibu betah di
rumah. Untuk apa Ibu harus mengurangi semua itu dengan masalah Ibu. Ibu sayang
pada kalian”. Ucap Bu Tari sambil memegang jari tanganku.
Saya membalasnya dengan meremas
jari jemarinya pelan.
“Kamu sayang pada Ibu kan Win? Tanya Bu
Tari menatapku.
Saya menggangguk tersenyum. Bu Tari
tersenyum bahagia. Lalu entah kenapa saya nekat begitu saja mendekatkan
mukaku, mencium kening dan pipinya dengan lembut. Kulihat wajah Bu Tari yang
surprise tapi diam saja.
“Bu Tari marah?” tanyaku.
Dia menggeleng-geleng dan malah balas
menciumku, menyenderkan kepalanya miring di pundakku dan melingkarkan tangan
kanannya di pinggangku. Kupeluk dia. Lama sekali rasanya kami saling berdiam
diri. Tapi saya merasakan kedamaian yang luar biasa. Sampai akhirnya suara
motor Yon yang katanya habis diskusi di kelompok studinya tiba dan suara pintu
gerbang terbuka.
Sejak kejadian malam itu hubunganku
dengan Bu Tari jadi kian aneh. Mungkin awalnya hanya sekedar memperlihatkan
rasa sayang dan cinta layaknya seorang anak pada ibunya dan sebaliknya. Walau
dengan diam-diam disetiap kesempatan yang ada kami saling tidak menyembunyikan
semua itu. Bertatapan dengan mesra, bercanda dan saling memperhatikan lebih
dari dulu-dulu.
Tapi seperti air yang tak diatur, semua
mengalir begitu saja. Kian lama Bu Tari dan saya berani saling mencium.
Cium sayang dan lembut disetiap kesempatan yang ada tanpa seisi rumah tahu Tapi
kegalauan dihatiku tetap saja tak dapat kuingkari. Sering saya bertanya
sendiri sayangku, cintaku, ciumanku dan pelukanku pada Bu Tari apakah
manifestasi seorang anak pada sosok ibunya, atau seorang lelaki pada seorang
perempuan. Hati dan otakku setiap hari dililit pertanyaan sialan itu. Begitu
menjengkelkan.
Semua itu berjalan sampai tak dapat
kuingkari bahwa birahi selalu mengikutiku jika aku berdekatan dan mencium Bu
Tari. Selama ini aku berusaha menekannya. Tapi itu meledak di suatu sore yang
sepi.
Semula aku hanya ingin meminjam koran
yang biasanya tergeletak di ruang keluarga rumah utama. Tapi saat kulihat Bu
Tari tengah berdiri menikmati ikan-ikan hias aquariumnya. Tiba-tiba aku ingin
menggodanya. Aku berjingkat perlahan dan menutup kedua matanya dengan tanganku
dari belakang. Ibu Tari kaget berusaha melepaskan tanganku. Aku menahan tawa
tetap menutup matanya. Tapi akhirnya Bu Tari mengenaliku juga. Kukendorkan
tanganku.
“Wiinn kamu bikin kaget ibu saja akh..”
Ucap Bu Tari tetap membelakangiku dan menarik kedua tanganku ke depan dadanya.
Bu Tari bersandar di dadaku. Kedua
tanganku tepat mengenai payudaranya yang kurasakan empuk itu. Gelora aneh
mengalir di darahku. Sementara Bu Tari terus mengomentari ikan-ikan di dalam
aquarium, aku justru memperhatikan bulu-bulu lembut di leher jenjangnya
Rambutnya yang lurus sebahu saat itu tertarik ke atas dan terjepit jepitan
rambut, hingga leher bagus itu dapat kunikmati utuh. Aku berdesir. Kurasakan
napasku mulai berat. Dengan bibirku akhirnya kukecup leher itu. Bu Tari
merintih kegelian dan mencubit lenganku dengan genit.“Hii. Jangan Wiinn akhh…,
Merinding Ibu ah”
Dekapan tanganku di payudara dan dadanya
makin kuat. Ketika kuperhatikan dia tidak marah dan tenang maka kuulangi lagi
kecupan itu berulang-ulang. Kumis dan bekas cukuran di janggutku membuatnya
geli. Tapi kurasakan tangan Bu Tari perlahan mencengkram erat di kedua jariku
dan dia diam saja. Aku makin bernafsu. Ciuman, kecupan dan hisapan bibirku
makin menjadi-jadi ke leher dan telinganya. Bu Tari mendesah memejamkan mata.
Kepalanya bergerak-gerak mengikuti cumbuanku. Matanya terpejam dan napasnya
menggelora. Kucari bibirnya, karena susah maka kuputar tubuhnya menghadapku dan
langsung kusambar dengan bibirku. Kupeluk erat Bu Tari.
Dia menggeliat membalas permainan
bibirku. Kedua tangannya memegangi bagian belakang kepalaku seolah takut aku
melepaskan ciuman bibirku. Kuremas-remas payudaranya dengan tangan kananku. Bu
Tari melepaskan ciumannya lalu merintih-rintih dengan kepala terdongak ke
belakang seolah memberikan lehernya untukku. Dengan bibirku langsung kuciumi
leher itu. Tapi tiba-tiba Bu Tari setengah menghentakan badanku seperti tengah
bangun dari mimpi dan shock dia berkata, “Ya Tuhan, Wiinn…, apa yang kita
lakukan?”
Bu Tari menjauhiku dan menempelkan
kepalanya ke dinding menahan hati. Akupun bisu. Hening. lama sekali. Aku kian
gelisah. Aku ingin keadaan itu berakhir. Aku dekati Bu Tari, memeluknya lagi.
Kata-kata cinta meluncur begitu saja dari mulutku. Semua itu membuat Bu Tari
bingung. Menggeleng-gelengkan kepalanya dan berlari masuk ke kamar menahan
tangis.
Beberapa hari sejak kejadian itu Bu Tari tidak menyapaku. Dia selalu berusaha menghindariku. Aku bingung, aku takut dia marah. Aku takut dia menolak cintaku. Aku takut gila, mencintai ibu kost sendiri, istri orang dan perempuan yang jauh lebih tua dariku. Ditolak pula. Aku mulai murung. Tapi itu hanya lebih kurang dua minggu. Hanya sampai pada suatu malam, bulan jatuh dipelukanku saat Bu Tari lembut menyapaku dan tanpa bicara sepatah katapun menciumiku. Sejak dulu juga, jika dibalik ke”nature”annya sesekali kulihat kerling genitnya, adalah bukti bahwa sebenarnya sudah lama aku tak bertepuk sebelah tangan. Tapi Bu Tari takut bicara tentang cinta, bahwa dia sayang, merindukan dan membutuhkanku.
Beberapa hari sejak kejadian itu Bu Tari tidak menyapaku. Dia selalu berusaha menghindariku. Aku bingung, aku takut dia marah. Aku takut dia menolak cintaku. Aku takut gila, mencintai ibu kost sendiri, istri orang dan perempuan yang jauh lebih tua dariku. Ditolak pula. Aku mulai murung. Tapi itu hanya lebih kurang dua minggu. Hanya sampai pada suatu malam, bulan jatuh dipelukanku saat Bu Tari lembut menyapaku dan tanpa bicara sepatah katapun menciumiku. Sejak dulu juga, jika dibalik ke”nature”annya sesekali kulihat kerling genitnya, adalah bukti bahwa sebenarnya sudah lama aku tak bertepuk sebelah tangan. Tapi Bu Tari takut bicara tentang cinta, bahwa dia sayang, merindukan dan membutuhkanku.
Selanjutnya kami selalu berusaha
bersikap wajar di depan seisi rumah maupun tetangga. Satu hal yang pasti bahwa
kami bisa dengan bebas saling bercerita tentang apa saja. Termasuk kebiasaanku
beronani dengan membayangkan bersetubuh dengannya yang membuatnya tertawa
terpingkal-pingkal. Sebaliknya dari Bu Tari aku tahu, bahwa suaminya Pak Bagong
itu aneh, di ranjang bertempur tidak pernah menang tapi malah punya simpanan.
Untuk mencapai orgasme jika bersetubuh dengan suaminya dia sering membayangkan
bersetubuh denganku. Gila. Kami terus mengalir tanpa halangan yang berarti.
Maksudku tanpa tindak-tanduk yang dapat menimbulkan kecurigaan orang seisi
rumah maupun tetangga.
Sampai suatu hari Pak Falcon tetangga
kami yang tinggal 6 rumah dari kami melangsungkan pernikahan anaknya. Seharian
itu aku dirundung nafsu dan cemburu. Seperti biasanya jika dilingkungan
perumahan itu ada pernikahan maka Pak Bagong dan Bu Tari akan menjadi penerima
tamu. Pak Bagong akan berbaju beskap, berjarik, blangkon dan berkeris. Bu Tari
akan berkebaya, berjarik dan berselendang dengan rambut konde yang rapi. Bu
Tari sendiri tahu bahwa dengan pakaian seperti itulah seringkali aku
mengungkapkan kekagumanku atas kecantikan dan seks apple yang ditimbulkannya.
Rasanya aku gelisah terus melihat
kesintalan tubuh Bu Tari yang terlilit pakaian adat Jawa yang ketat itu. Jika
berjalan pinggulnya bergoyang-goyang mengundang sensasi. Beberapa kali kutebar
pandanganku berkeliling, selalu saja kulihat ada mata tamu pria entah muda,
entah tua ada yang tengah melirik atau memperhatikannya. Semua itu membuatku
pingin marah saja rasanya.
Tetapi sebelum seremoni perkawinan itu
usai, tiba-tiba pembantu Bu Tari, yang biasanya aku panggil Mbak Suti datang
mengabarkan bahwa barusan dia terima telepon di rumah yang mengabarkan adik Pak
Bagong yang tinggal di kota P mengalami kecelakaan lalu lintas. Pak Bagong, Bu
Tari, Yon, Mbak Suti dan aku akhirnya pamit pulang duluan pada Pak Falcon.
Sampai dirumah, Pak Bagong dan Ibu Tari
menelepon balik ke kota P melakukan konfirmasi berita. Adik Pak Bagong bersama
Dorti anaknyalah yang mengalami kecelakaan. Mobilnya tertabrak bis antar kota
yang selip. Dua-duanya masuk IGD rumah sakit dan Pak Bagong sebagai anak tertua
di keluarganya diminta datang. Teman sekamarku Yon sendiri ingin ikut nengok.
Yon naksir berat pada Dorti, pernah menyatakan cinta dua kali. Tapi dua kali
pula Dorti menolak. Sementara Ibu Tari sendiri harus tetap tinggal karena besok
pagi ada tim BPKP dari Jakarta yang akan datang melakukan audit di kantornya.
Ibu Tari key person yang harus ada.
Pak Bagong dan Yon berangkat ke kota P
dengan mobilnya dan akan mampir ke rumah Pak Sarmin supirnya dulu untuk diajak
berangkat. Aku, Bu Tari dan Mbak Suti ngobrol sebentar membicarakan
kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pada adik Pak Bagong dan anaknya. Sampai
Mbak Suti menguap beberapa kali. Selama ngobrol tak pernah mataku lepas dari
busungnya dada Bu Tari dengan payudaranya yang montok dan sedikit terlihat. Bu
Tari tahu aku selalu memperhatikannya, tapi dia membiarkan saja, bahkan seolah
justru senang dan menikmati kekagumanku, birahiku dan kegusaranku.

“Sudahlah sana tidur kalau ngantuk, aku
tidak balik lagi kerumah pak Falcon kok Ti, wong hampir selesai kok”
Ucapnya. Bu Tari beranjak pergi katanya
mau pipis. Ketika Bu Tari berjalan, pinggulnya yang bergoyang-goyang tak lepas
mataku. Begitu padat, begitu bulat.
Mbak Suti langsung pamit tidur.
Tinggallah aku di ruang tengah itu, sendiri, melamun. Sekian lama hubungan kami
berjalan. Selama ini kami hanya sampai batas berpelukan, berciuman, saling tindih
di ranjang dengan napas yang menderu-deru dan berujung orgasme tanpa coitus.
Entah berapa kali penisku menekan-nekan dan menggesek-gesek di vaginanya yang
basah di celana. Entah berapa kali spermaku membasahi celana dalamku sendiri
dan celana dalam Bu Tari. Lantas walaupun penisku belum pernah sekalipun masuk
ke vaginanya, kecuali hanya menggesek-gesek dan aku orgasme, masih perjakakah
aku?
Langkah Bu Tari terdengar dan terus
kupandangi sekujur tubuhnya yang semampai melenggok-lenggok, dari kepala sampai
kaki ketika dia berjalan kearahku. Stagen di pinggangnya sudah tak ada hingga
perutnya sedikit terlihat. Dadaku berdebar-debar. Berkali kali kutelan ludah. “Kamu melihat Ibu, kaya Ibu ini apaan
sih?”, ucap Bu Tari genit mengibaskan tangan kanan di mukaku. “Ibu cantik sekali, makin seksi, seksi
sekali berkebaya dan Saya terangsang sekali” Ucapku asal saja menunjuk ke
penisku.
“Hus. Sekali, sekali. Daripada melamun
sini pijitin Ibu”, Ucap Bu Tari duduk membelakakingiku dan menepuk pundaknya.
Aku pijit kedua pundaknya
perlahan-lahan. Bu Tari kadang menggeliat keenakan.
Makin lama pijitanku makin turun, ke
punggungnya, ke tulang-tulang rusuknya, ke pinggangnya. Tak lama kutarik
pundaknya dan kusandarkan punggungnya ke dadaku, kutempelkan pipi kananku ke
pipi kirinya. Lalu kupijit kedua pahanya, kuelus-elus dan kuremas-remas sampai
ke pinggulnya. Bu Tari memejamkan matanya. Pijitan bercampur elusan kedua
tanganku merambat naik dan berhenti di dadanya untuk meremas-remas buah dada
yang kurasakan besar dan kenyal itu. Mukaku kugesek-gesekan di rambut dan
kondenya, pipinya, dan kukulum-kulum telinganya.

Deru napas Bu Tari mulai tak teratur
kadang diselingi desahan halus. Tangan kanannya mencoba meraih kepalaku, kadang
mencengkram lembut rambutku. Telapak tangan kirinya digosok-gosokan kepipi
kiriku. Remasan tanganku ke buah dadanya makin liar, mukaku meliuk-liuk
menciumi apa saja di kepalanya. Kubuka kancing baju kebayanya. Sembulan
sepertiga buah dada dari BH-nya indah sekali. Aku makin terangsang. Penisku
yang berdiri sejak tadi ingin meledak rasanya. Kutarik baju kebayanya turun ke
belakang hingga pundak dan lehernya bebas kuciumi dan jilati. Ibu Tari
mengerang nikmat. Kulingkarkan kedua tanganku memeluknya erat-erat. Bibir Bu
Tari yang setengah terbuka kusambar dengan bibirku dan kukulum habis. Ujung
lidah kami beradu, kutelusuri lidahnya sampai seberapa jauh dapat masuk, ke
rongga-rongga mulutnya. Begitu kami bergantian.

Aku dan Bu Tari mulai tak tahan,
kurebahkan dia disofa. Kutelusuri tubuhnya, kuciumi dari muka, dada, perut
paha, dan betisnya yang masih dibalut kain jarik. Naik lagi dan kutindih Bu
Tari. Erangannya makin merangsangku. Kubuka ikat pinggangku.
“Jangan disini sayang. Nanti kalau Suti
bangun…” Tiba-tiba ucap Bu Tari tak menyelesaikan kalimatnya. Kami berdiri.
Bu Tari melepas ritsluiting celanaku, memasukan tangannya ke celana dalamku dan meremas-remas penisku yang tegang dengan geregetan.
Bu Tari melepas ritsluiting celanaku, memasukan tangannya ke celana dalamku dan meremas-remas penisku yang tegang dengan geregetan.
“Heemm” Ucapnya lalu membimbingku masuk
ke kamarnya berjalan mundur dengan memegang dan menarik penisku. Itu membuat
kami tertawa.
Pintu kamar dikuncinya cepat-cepat.
Kubuka bajuku dan Bu Tari setengah menunduk membuka celanaku lalu mencari
penisku.

Begitu dapat langsung dimasukan ke mulutnya, dijilati dihisap-hisap,
diciumi dan kadang dikocok-kocok dengan tangannya. Yang begini belum pernah dia
lakukan. Aliran kenikmatan merambat sampai ubun-ubun kepalaku. Aku memberinya
isyarat agar melepaskan penisku. Aku dipuncak nafsu dan ingin memasukan penisku
langsung saja ke vaginanya, tapi dia menolak. Badanku rasanya makin bergetar
dengan tulang yang mau berlepasan dan syaraf-syaraf di tubuhku rasanya
kelojotan nikmat. Bu Tari begitu bernafsu dan nikmat memainkan penisku di
mulutnya

Aku tak tahan dan minta rebahan di
ranjang. Bu Tari melepas baju kebayanya. Dengan tetap BH masih di dada dan kain
jariknya yang belum terlepas, mulutnya langsung mengejar burung pusakaku sampai
dua biji telornyapun dia cium, jilat dan hisap.

Aku makin bergelinjang,
melayang-layang nikmat. Hingga dipuncaknya, aku tak sempat lagi memberitahunya
kalau spermaku mau keluar. Hingga akkhh…, crott…, croot…, Crroott. Spermaku
muncrat di dalam mulut Bu Tari. Tapi Bu Tari justru malah bernafsu, menelannya
dan terus menghisap-hisap penisku sampai bersih, kasat dan ngilu rasanya.

Aku
terkejut. Bangun terduduk.
“Ibu telan? Apa ibu tidak jijik?”,
Tanyaku bodoh.
Ibu Tari menggeleng, justru mukanya
cerah, kepuasan terpancar di wajahnya. Aneh pikirku.
“Orang bilang, meminum air mani perjaka
akan membuat perempuan awet muda. Lepas betul atau tidak yang terang Ibu sudah
mencobanya barusan Sayang” Ucap Bu Tari lalu menciumiku dari muka sampai
dadaku, sementara tangan kanannya terus meremas-remas penisku.
“Ayo lagi Sayang, Ibu pingin kamu puas”
Ucap Bu Tari mesra. penisku yang tadi terkulai karena sudah keluar sperma dan
shock mulai menegang lagi akhirnya. Bu Tari kembali mengulum dan menghisap-isap
penisku.

“Kalau Ibu masih pingin, ambil semua
sperma Saya” Ucapku, Ibu Tari tersenyum.
Kubuka dan kutarik lilitan kain
jariknya. Bu Tari berdiri untuk memudahkan melepas kain jariknya. Tubuhnya yang
telanjang bulat langsung kuterkam, kurebahkan dan kutindih. Dua payudaranya
yang besar itu kuhisap-hisap putingnya bergantian. Tangan kananku
menggosok-gosok vaginanya. Kuciumi, kujilati dan kuhisap-hisap semua bagian yang
menurut instingku bisa membangkitkan gairahnya. Bibir, lidah, telinga, leher,
payudara, perut, pusar, paha, vagina, betis sampai ke jari dan telapak kakinya.
Tubuh Bu Tari bergelinjangan tak karuan
dadanya naik-turun kelojotan. Tangan kirinya meremas-meremas payudaranya dan
tangan kanannya menggosok-gosok vaginanya sendiri. Konde rambut Bu Tari hampir
terlepas. Mulutku naik lagi ke atas menyusuri betis dan paha hingga akhirnya
berhenti di vaginanya. Dengan kedua tanganku kusibak pelan bulu vaginanya. Kulihat
belahan vaginanya yang memerah berkilat dan bagian dalamnya ada yang
berdenyut-denyut. Kuciumi dengan lembut, bau divaginanya membuat sensasi yang
aneh. Tak pernah ada bau seperti ini yang pernah kukenal rasanya. Dengan hidung kugesek-gesek belahan vagina
Bu Tari sambil menikmati aroma baunya. Erangan dan gelinjangan tubuhnya
terlihat seperti pemandangan yang indah sekaligus menggairahkan. “Aakhhk…, eekhh…, nikmat sekali sayang. Teruuss sayang”, Rintih Bu Tari.
Kujulurkan lidahku, kujilat sedikit
vaginanya, ada rasa asin. Lalu dari bawah sampai atas kujulurkan lidahku
menjilati belahan kewanitaannya. Begitu seterusnya naik turun sambil melihat
reaksi Bu Tari.“Akkhh…, Akkhh…, Akkhh…, Engghh” Bu Tari
terus merintih nikmat, tangannya mencari tangan kananku, meremas-remas jariku
lalu membawanya ke payudaranya. Aku tahu dia ingin yang meremas
payudaranya adalah tanganku. Begitu kulakukan terus, tangan kananku meremas
payudaranya, mulutku menjilati dan menghisap-hisap vaginanya, tangan kiriku
mengelus-elus pinggang, paha sampai ke betisnya yang putih mulus dan halus itu.“Akkhh…, sudah Sayang…, sudah…, ayo
sekarang Sayang Ibu sudah tak tahan akkhh…, masukan sayang, masukan” Desah Bu
Tari mengerang meraih kepalaku agar menghentikan jilatan di vaginanya dan minta
disetubuhi.
Tanpa harus mengulangi lagi
permintaannya langsung saja aku merangkak naik, menindih tubuh Bu Tari. Bu Tari
melebarkan pahanya. Penisku menuju vaginanya. Beberapa kali kucoba, memasukan,
beberapa kali pula gagal. Aku tak tahu mana yang pas lubangnya, mana yang hanya
belahan vagina. Tapi tangan Bu Tari segera membantu, memegang penisku,
membimbing ke depan lubang vaginanya lalu berkata
“Ya itu Sayang…, disitu…, tekan Sayang
tekan…, disitu…, aakkhh…, ayo Sayang…, Ibu tak tahan…, oo.., akkhh” Ibu Tari
merintih ketika penisku yang kutekan masuk seluruhnya ke lubang vaginanya.

Sejenak tubuhku kaku, aku diam saja, aku
nervous. Batang penisku rasanya terjepit oleh dinding vagina Bu Tari yang
seperti berdenyut-denyut dan menghisap-hisap. Nikmat luar biasa. Ini yang
pertama.
Bu Tari menggoyang-goyangkan pinggulnya,
setengah berputar-putar dan kadang naik turun. Penisku yang tertancap di
vaginanya yang setengah becek dibuat seperti mainan yang membuatnya nikmat tak
karuan.
“Ayo Sayang…, ayo…, bareng-bareng
Sayang… Ibu mau keluar Sayang…, ayo…, ayo..” Rintih Bu Tari dengan mata
setengah terpejam dan mulutnya yang terus terbuka mendesah-desah dan kian kuat
menggoyang-goyangkan pinggulnya.

Akupun terus mengimbanginya sampai
tiba-tiba Bu Tari seperti terdiam dan kedua tangannya merangkul leherku
kuat-kuat dan dari mulutnya keluar desahan panjang.
“Aakkhh…, Oukhh…, Engkhh…”, Bersamaan
dengan rintih kepuasannya, denyutan dan hisapan vagina Bu Tari makin kuat dan
nikmat rasanya.
Akupun sudah tak tahan lagi dan ingin
agar spermaku segera keluar. Karenanya kunaik-turunkan penisku, kuputar-putar
dan kunaik-turunkan terus hingga akhirnya croott…, croott…, crroot. “Akhh…”
Bersamaan dengan muncratnya spermaku di vaginanya, kembali Bu Tari mendesah
nikmat. Napasku memburu, aku lemas sekali rasanya. Sementara Bu Tari tetap
menggoyang-goyangkan pinggulnya dengan pelan dan tangannya mengelus-elus
rambutku.
Beberapa saat kubiarkan tubuhku menindih tubuh bugil Bu Tari tanpa tangan atau dengkulku menahan beban badanku. Penisku tetap menancap di vaginanya. Ketika ingin kucabut Bu Tari melarangnya.
Beberapa saat kubiarkan tubuhku menindih tubuh bugil Bu Tari tanpa tangan atau dengkulku menahan beban badanku. Penisku tetap menancap di vaginanya. Ketika ingin kucabut Bu Tari melarangnya.

“Jangan sayang, jangan dicabut dulu,
biarkan ibu memiliki dan menikmatinya, peluk…, peluk…, tetap tindihlah Ibu
sayang. Ibu puas, Kamu puas sayang hemm?.., nikmat sayang?..” Ucap Bu Tari
sambil terus menciumiku.
Malam itu kami habiskan tidur sambil
berpelukan di ranjang yang biasa Ibu Tari tidur dan bersetubuh dengan suaminya.
Tapi sejak malam itu dan disetiap kesempatan yang ada kusetubuhi pula Bu Tari
di ranjang yang sama. Aku tak perlu lagi hanya beronani dengan membayangkan
bersetubuh dengannya, begitupula Bu Tari tak perlu lagi hanya sekedar
membayangkan bersetubuh denganku jika ia melayani suaminya.
Kami baru bersetubuh di hotel jika salah
satu dari kami sudah tak tahan lagi sementara kesempatan di rumah tak ada. Atau
ketika obsesiku kumat untuk bersetubuh dengan Bu Tari dalam pakaian kebaya,
kain jarik dan berkonde. Ini terkadang aneh, berlama-lama Bu Tari ke salon
rias, begitu selesai langsung ke Hotel dan kuacak-acak sampai berantakan. (Aneh
ya?!).
Sering pula jika keadaan memungkinkan,
Bu Tari suka menyelinap ke kamarku untuk “fast sex”. Seks cepat dengan tetap
masih berpakaian. Tandanya, Bu Tari masuk ke kamarku sudah tanpa celana dalam
dan dipuncak nafsu. Ini sering terjadi jika Bu Tari sedang butuh tapi Pak
Bagong tak acuh terus tidur.

Tentang vagina Bu Tari, mungkin itu yang
disebut vagina empot ayam. Vagina yang tak pernah kutemui pada semua perempuan
(adik-adik, Mbak-Mbak, tante-tante dan ibu-ibu rumah tangga yang muda maupun
tua) yang pernah kutiduri, sampai hari ini sekalipun diumurku yang 37 tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar