Aku Mau ...................?
Kak Edo
mencabut penisnya dari vaginaku. Aku merasakan penisnya melemas, meluncur
keluar. Ia terus bangkit berdiri. Aku masih megap-megap, kehabisan nafas.
Kenikmatan yg bertubi-tubi, bahkan rasa sakitnya pun nikmat. Penis yg
terkulai itu masih nampak besar, jauh lebih besar daripada punya Bapak. Lebih
besar daripada… penis laknat yg dahulu memperkosaku. Aku merasa vaginaku sakit,
ngilu, dan bahagia.

Mungkin, begini
rasanya pengantin baru. Vagina ngilu, karena baru dimasuki batang penis suami
yg besar. Aku memandang Kak Edo, merasakan getaran. Apakah ini cinta? Di saat
seluruh tubuhku terasa basah berkeringat, di saat pantatku terasa basah — ini
spreinya harus diganti karena basah semua — dan aku masih bisa mencium wangi
persetubuhan kami berdua, adakah ini adalah cinta?
Aku memandang
Kak Edo. Masih merasa seperti bermimpi, yg kalau diceritakan maka akan jadi
cerita cabul esek esek saru. Tapi aku merasa indah, dan mendengar kata-kata
cintanya, walau aku tahu ini tdk mungkin, aku sangat bahagia. Kak Edo menaruh
tubuhnya yg telanjang dan basah di sisiku. Sprei basah sudah tdk terpikirkan,
tdk masalah. Yg penting adalah saat itu, ketika Kak Edo merangkulku, memelukku.
Ketelanjangan
kami berdua membuat tdk ada lagi pemisah, pelukan erat oleh tangan dan kaki dan
lidah yg bertautan. Aku menangis, bahagia. Aku mencucurkan air mata. Ia
menatapku dengan bingung. Panik? Tapi aku tersenyum lebar, dengan mata basah,
aku berbisik di telinganya,
“Kak Edo… saya
kini milikmu.”
“Sayaannnggg….” desahan berat itu menggetarkan jiwaku.
“Saya mau melayani… Mungkin…. Mungkin saya tdk pantas jadi istri. Tapi, kalau boleh, sekali ini, Biar saya melayani. Jadi budak sexmu pun… saya bahagia…”
“Huusssss…. Jangan ngomong gitu… ” Aku lantas bangkit duduk di atas ranjang.
“Sayaannnggg….” desahan berat itu menggetarkan jiwaku.
“Saya mau melayani… Mungkin…. Mungkin saya tdk pantas jadi istri. Tapi, kalau boleh, sekali ini, Biar saya melayani. Jadi budak sexmu pun… saya bahagia…”
“Huusssss…. Jangan ngomong gitu… ” Aku lantas bangkit duduk di atas ranjang.
Kak Edo masih
berbaring di situ. Gagah sekali. Baru saja menggagahiku… aku mau digagahi.
Ditiduri. Lagi, lagi. Aku menundukkan wajahku. Mataku memandang penisnya yg
melemas, masih basah berlendir.

“Kak Edo… saya
terima kenyataan. Saya tdk pantas Kak… Kakak mau meniduri saya saja, sudah
lebih dari yg saya bayangkan. Saya mengerti kalau nanti Kakak harus pergi. Tapi
sekarang, kalau boleh saya ingin melayani Kakak…” Aku mengangkat wajah.
Menatap wajah
tampan itu, menjadi Arjunaku dalam hidup. Kak Edo wajahnya nampak sangat
serius.“Aku cinta padamu…”
“Kak Edo… kita
baru berkenalan. Kak Edo belum kenal saya sedalamnya. Bagaimana bisa berkata
cinta? Tapi, saya bahagia kalau bisa melayani Kak Edo bercinta…”Aku meraih
penisnya yg lemas itu. Basah. Lengket.
Aku melepaskan
ikatan rambutku, tergerai sampai ke ujung putingku. Aku menunduk. Memakai
rambut untuk mengelap penis merah tua, yg kepalanya licin merah muda. Masih
belum bersih. Jadi, aku menunduk lebih dalam, menggunakan bibirku, lidahku,
mulutku. Rasanya asin gurih, penis itu terasa lembut kenyal di mulutku. Aku
menjilatinya, membersihkannya.

Aku senang
mendengar rintihan nikmat Kak Edo. Penis itu berdenyut-denyut di mulutku,
mengeras, membesar. Aku merasa bergairah. Aku bisa membangkitkan kembali keperkasaannya.
Kekuatannya. Aku menghisap kepala yg merah muda itu, seperti mengulum lolipop.
Karena penisnya sudah kembali menjadi panjang dan besar, aku melingkarkan jari-
jariku yg lentik. Ketika ujung ibu jari dan jari tengah bertemu, pas melingkari
penis yg kokoh ini. Aku mulai
menyukai urat- uratnya, guratan-guratannya. Terasa enak ketika lidahku menyapu
di sepanjang batang yg indah ini. Membuat vaginaku berdenyut. Aku ingin
memasukkannya kembali. Kegiatan menjilat dan menghisap itu membuatku seperti
merangkak di atas ranjang. Kedua lutut di pinggir ranjang, kedua siku menopang,
dan kepala dan bahuku merunduk ke bawah, bagaikan rusa betina yg sedang minum
air yg segar dengan rakusnya. Aku masih asyik menjilat dan mengulum dan
menghisap ketika Kak Edo memberiku perintah pertamanya.

“Diam ya…
tunggu…” Aku terdiam.
Menunggu,
dengan posisi masih menungging. Cairan dari vaginaku meleleh di sepanjang
pahaku. Terasa dingin di sore yg panas itu. Kak Edo bangkit, berdiri ke samping
ranjang. Ia melangkah, mengitari ranjang. Menempatkan diri persis di
belakangku. Aku merasakan tangannya mengelus kedua pantatku. Merenggangkannya.
Ujung penisnya menyentuh vaginaku. Aku menahan nafas, menanti. Kepala bulat
licin itu mencari jalan menguak bibir vaginaku. Melesak. Aku merasa seperti
kena setrum, tdk bisa menahan erangan nikmat.
Aku membenamkan
wajahku di permukaan ranjang yg basah. Aku mencium wangi lendir membasahi
hidungku. Rangsangannya luar biasa. Kak Edo mendorong maju. Aku merasa penis
itu menerobos masuk kembali ke vaginaku yg sempit. Keluar lagi. Aku merintih,
memohon agar penisnya dimasukkan kembali. Kak Edo mendorong kembali dengan
kekuatan besar. Menerobos. Menancap. Menarik. Menancap. Menarik. Menancap.
“Tuan… ayo…
puaskan dirimu…” aku ingin Kak Edo menikmatiku.

Aku mengeraskan
otot di sekitar vaginaku, berusaha mencengkram penis itu.Tuanku menjadi semakin
cepat, lendir basah membuat vaginaku licin dan batang lelaki itu bagaikan belut
yg masuk dan keluar liangnya. Kak Edo seperti kesetanan, ia memegang pangkal pahaku
dan membuat tubuhku terguncang keras setiap kali penisnya menghujam
dalam-dalam. Nyeri, tapi sungguh nikmat. Inilah yg pantas untukku: ditusuk
kuat-kuat. Dalam-dalam. Apapun juga, asalkan Tuanku suka. Aku sungguh mau
menjadi budaknya.
“Haaahhhhh….
Ggrraaahhhhh….. ” sang jantan menggeram.

Gerakannya
semakin cepat. Aku turut menjerit di bawah tekanan. Aku ingin mencengkram dan
tdk melepaskan penis yg masuk dan keluar dengan cepat. Tusukan semakin kuat,
berirama, masuk semua sampai ke pangkalnya. Setiap kali paha kami beradu,
terdengar suara plak, plak, plak. Pandangan mataku gelap, nanar dalam hantaman
orgasme yg hebat. Vaginaku mencengkram penis itu sejadi-jadinya, sementara
tuanku membenamkan lagi sekuat-kuatnya, sampai aku tertekan ke ranjang.

Ia mengejang-ngejang,
aku merasakan denyutan- denyutan kuat. Menyembur. Masuk. Memenuhi liang.
Tenggelam dalam birahi yg memuncak. Terpancar. Lega, rasanya lega sekali.
Memuaskan laki-laki. Memuaskan Kak Edo, tuanku. Lelaki gagah ini sekali lagi
mencabut penisnya, lendir meleleh dari lubang vaginaku yg membesar, mengalir di
sepanjang pantat dan paha, menetes ke atas ranjang. Aku ambruk saking lelah dan
nikmatnya, seluruh syarafku seperti kelebihan beban rasa.
“Ke kamar mandi
yuk.” kata Kak Edo.
Aku mengangguk,
tanpa mampu banyak bersuara. Konon, budak tdk boleh banyak bersuara, bukan?
Kami mandi. Aku keramas, membersihkan lengket di rambutku. Di tubuhku.
Membersihkan selangkanganku.
“Di cukur?” Kak
Edo bertanya sambil meremas jembutku. Aku mengangguk. Mengambil pisau cukur dan
krim punya Bapak, aku menyemprotkan busa putih di rambut kemaluan, lalu mulai
mencukur.
10 menit
kemudian aku selesai dan bersiram di bawah pancuran air hangat. Selangkanganku
bersih seperti anak-anak. Tapi bibirnya sudah tebal dan kini agak membesar,
setelah melayani penis besar itu dua kali berturut-turut. Kak Edo dengan senang
mengusap-usap vaginaku yg kini jadi licin.

“Hehehe…. Kalau
dikasih madu di sini, enak ya… tapi… saya kok lemes sekarang…”
“Kak Edo… saya masakin apa buat makan?”
“Mie?”
“Bentar ya…” Selesai mandi, dan mengeringkan badan, aku bergegas ke dapur.
“Kak Edo… saya masakin apa buat makan?”
“Mie?”
“Bentar ya…” Selesai mandi, dan mengeringkan badan, aku bergegas ke dapur.
Telanjang
berbalut handuk saja, toh hanya ada kami berdua. Udara terasa semakin dingin
malam ini. Mie kuah hangat pasti terasa istimewa. Selesai menyediakan mie di
atas meja makan, aku terus ke kamar Kak Edo. Menarik sprei dan melepas sarung
bantal. Bawa ke tempat cucian, masukkan ke ember untuk direndam semalam.
Selesai semua pekerjaan, aku melihat Kak Edo baru saja menyelesaikan makannya.
“Minum kopi?”
tanyaku.
Bapak biasa
minum kopi di sore hari begini, kalau ada di rumah. Kak Edo tersenyum,
mengangguk.
“Tambah telor
setengah matang?” Sempurna.
Aku bergegas
mempersiapkan semuanya. Menghidangkannya.
“Sini….” Kak
Edo memanggil. Dengan patuh aku menurut.
“Duduk di atas meja.” Meja itu dari kayu mahoni, besar dan kuat.
“Duduk di atas meja.” Meja itu dari kayu mahoni, besar dan kuat.
Jadi tanpa ragu
aku membereskan apa yg ada, kecuali secangkir kopi dan semangkuk telur setengah
matang itu. Aku duduk di hadapan Kak Edo.
“Naikin
kakinya. Buka…” Aku menaikkan kakiku, kedua telapak kaki persis di pinggir meja.
Tubuhku terbaring. Pahaku terlipat menempel betis. Mengangkang. Handukku
tersibak terbuka. Vaginaku yg licin terpampang di hadapannya. Aku menanti. Kak
Edo menyendok telur setengah matang yg hangat itu lalu mengucurkannya, persis
di atas kelentitku. Satu sendok teh saja. Terasa hangat mengalir di bibir
vaginaku.
Ia kemudian
menunduk dan menjilat cairan kuning itu. Seketika aku seperti disetrum, tubuhku
mengejang, tapi aku menahan diri dari bergerak atau bersuara. Hanya nafasku
saja yg tersengal- sengal. Enaknya bukan main.
“Enak bukan
main….” desah Kak Edo.
Ia menjilati
vaginaku plus telur itu sampai bersih, lalu menuangkan lagi. Menjilatinya lagi.
Vaginaku segera banjir oleh cairan cintaku, semuanya dijilat bersih. Kak Edo
menuang lagi. Menjilat lagi. Menghisap kelentitku. Mengigit gemas bibir
vaginaku. Aku tak tahan lagi. Ketika semangkuk telor setengah matang itu hampir
habis, orgasme hebat melandaku.
“Aaaauuhhhh….
Tuaannnn….” aku tak tahan.
Terlalu enak.
Terlalu gila, tdk pernah dibayangkan akan begini, tapi nyatanya luar biasa.
Mungkin waktunya hanya semenit, tapi terasanya lama sekali, bergelombang,
sesuatu yg tdk pernah kualami dalam hidup. Sesuatu terbuka dalam diriku. Tdk
ada lagi batasan. Bagi lelaki ini, semuanya kuberikan. Aku duduk di atas meja.
Kulihat tuanku sudah mengeluarkan penisnya, tegak mengacung.

Tanpa perintah
kata-kata, aku tahu itu adalah tanda. Aku segera turun dari meja,
mengangkanginya. Menurunkan tubuh, sekali lagi batang itu menghujam vaginaku yg
licin basah setelah orgasme tadi. Rasanya kembali mengikat, mendorong,
memelintir, merobek penahan, menghilangkan pembatas… Aku menari-nari dengan
penis menancap di vaginaku. Aku menggoyang pinggul bak pedangdut, membuat
putaran dan pelintiran serta erangan. Tuanku sungguh perkasa.

Setelah 2 kali
hari ini, kekuatannya seperti makin bertambah, mengeras, memanjang. Memenuhi
liangku. Memenuhi diriku. Mengambil hatiku. Walau aku hanya budak. Aku…. sekali
lagi tangan yg kekar itu memegang pinggangku yg ramping erat-erat, menekan
tubuhku ke bawah. Tertanam dalam, karena sedetik kemudian sekali lagi kunikmati
denyut-denyut dan semburan di deoan mulut rahimku.

Aku terbenam
dalam pelukannya, jatuh kelelahan dalam dekapannya. Malamnya, hujan lebat
mengguyur Jakarta. Kami hanya berdua saja di sana, di ruang keluarga. Televisi
menyala, berita diisi tentang genangan air dan banjir Ibukota. Kak Edo duduk di
sofa. Seperti biasa, aku duduk bersimpuh di bawah. Mata ke televisi tapi
pikiran dan badan masih terasa melayg, belum mendarat setelah tadi terbang
berkali- kali.
“Sayang…”
“Ya tuan?”
“Lho, kok tuan?”
“Yaaa… kan saya pembantu…”
“Tapi aku cinta padamu!” Aku menunduk.
“Ya tuan?”
“Lho, kok tuan?”
“Yaaa… kan saya pembantu…”
“Tapi aku cinta padamu!” Aku menunduk.
Aku juga cinta
pada tuanku… Tapi aku duduk di tempat berbeda.
“Saya masih
tetap hanya pembantu.”
“Aku tdk peduli! Aku cinta sama kamu!” Aku menunduk dalam- dalam. Air mata membasahi pipiku, mengalir, menetes.
“Saya tetap saja begini, tuan. Walau, saya juga… cinta. Tapi saya tdk berharap bisa lebih. Saya sudah bahagia kalau saya… kalau saya diterima. Kalau tuan mau meniduri saya… rasanya bahagia.”
“Jangan… jangan bilang begitu…” Aku tersenyum sedih.
“Aku tdk peduli! Aku cinta sama kamu!” Aku menunduk dalam- dalam. Air mata membasahi pipiku, mengalir, menetes.
“Saya tetap saja begini, tuan. Walau, saya juga… cinta. Tapi saya tdk berharap bisa lebih. Saya sudah bahagia kalau saya… kalau saya diterima. Kalau tuan mau meniduri saya… rasanya bahagia.”
“Jangan… jangan bilang begitu…” Aku tersenyum sedih.
Aku mengangkat
wajah, memandangnya. Menatap matanya, lelaki yg telah mendapatkan seluruh hati
dan tubuhku.
“Tuan kan hanya
liburan. Nanti akan kembali lagi ke luar negeri. Saya tetap jadi pembantu di
sini. Tuan nanti akan bertemu gadis lain, yg pasti cantik, dan pantas untuk
tuan. Nanti tuan akan melupakan saya. Saya sudah bahagia bisa begini. Saya juga
enak dan nikmat. Tapi kalau nanti tuan pergi dan lupa pada saya…. saya tdk akan
melupakan tuan.” Kening tuanku berkerut.
Ia nampak
marah. Astaga, apakah aku sudah berkata salah? Aku menjadi takut.
“Ma… maafkan
saya, tuan. Saya sudah berkata lancang…” Tuanku terdiam.
Aku merasa tdk
karuan.
“Permisi,
tuan…” dengan gugup aku bangkit lalu kembali ke kamarku. Ambil baju dan handuk,
aku terus kembali mandi. Mengenakan pakaian lengkap seperti biasa.
Tubuhku terasa
lelah sekali… hari belum larut saat aku membenamkan wajahku di kasur. Di
sanalah aku menangis sejadi-jadinya, hingga lelah dan ketiduran. Keesokan
paginya, jam empat pagi aku bangun dengan pikiran kusut tak karuan. Merasa
pantatku lembab. Pegang selangkangan… oh sial. Darah. Aku mens semalam, dan
sekarang semuanya jadi kotor. Jadi pagi-pagi dihabiskan dengan mencuci celana
dalam, daster, dan seprai. Darah mensku nampak tdk sekental biasanya… aku
menemukan ada sisa lendir Kak Edo, yg sebelumnya dibenamkan dalam. Benihnya,
keluar lagi semua. Hatiku makin muram…
Setelah
membereskan kamar, aku mulai membersihkan rumah. Membersihkan bekas-bekas
lendirku di meja makan, di kursi, di lantai. Membersihkan air mani Kak Edo di
sana sini. Bersih tak berbekas, aku menyemprot dengan pembersih yg wangi
lavender, kesukaan ibu, kesukaanku juga. Setelah itu mulai mempersiapkan dapur,
memasak nasi, air panas… Aku mempersiapkan sarapan pagi. Untuk Kak Edo. Untuk…
tuan. Matahari sudah terbit di balik awan mendung ketika aku memasuki kamarnya.
Kak Edo masih tertidur pulas. Aku membawa senampan sarapan dan kopi panas itu,
kuletakkan di meja sebelah ranjang.
Ah, memandang
ranjang itu… kemarin aku membenamkan wajahku di sana, sementara penisnya
terbenam di vaginaku… Aku tersenyum. Kenangan itu akan selalu kuingat, setiap
aku memasuki ruang tidur untuk tamu ini. Aku terus duduk di lantai, di sisi
ranjang. Memandang wajah yg tampan itu, berkhayal bahwa lelaki ini menjadi
milikku. Ah, khayalan yg tdk akan pernah terwujud… tapi kukira aku masih boleh
berkhayal, bukan? Walaupun mungkin nanti aku akan menjadi sedih. Mungkin Kak
Edo tdk akan ingat lagi, kalau ia sudah kembali ke amerika. Ia berasal dari
keluarga kaya raya. Sedang aku? Aku hanya punya tubuh ini, itupun sudah
dinodai. Kak Edo membuka matanya. Aku tersenyum, menyambutnya di hari yg baru.
“Met pagi,
tuan…”
“Met pagi…”
“Sarapan?”
“Ehm… ada kamu kan?”
“Kok ada saya?”
“Iya, saya mau sarapan kamu”
“Hihihi…. Saya bukan makanan, tuan. Itu, sarapan di atas meja.” Kak Edo mengkerutkan keningnya.
“Kok sekarang jadi terus menerus manggil tuan…?” Aku tertunduk.
“Met pagi…”
“Sarapan?”
“Ehm… ada kamu kan?”
“Kok ada saya?”
“Iya, saya mau sarapan kamu”
“Hihihi…. Saya bukan makanan, tuan. Itu, sarapan di atas meja.” Kak Edo mengkerutkan keningnya.
“Kok sekarang jadi terus menerus manggil tuan…?” Aku tertunduk.
Terdiam.
Bagaimana aku bisa mengatakannya? Jika aku tdk menjadikannya tuan, maka… maka
hatiku akan sakit. Bagaimana aku dapat memanggilnya sebagai kekasih, walaupun
kini aku mencintainya dengan seluruh tubuh dan jiwaku?
“Aku cinta
padamu,” Kak Edo duduk di tepi ranjangnya. Aku masih bersimpuh di lantai.
“Ini… maafkan aku. Mungkin seharusnya… aku tdk berbuat itu terhadapmu.”
“Berbuat apa?”
“Kemarin, kita… seks. Kamu tahu, di amerika, semua mudah berhubungan badan. Beberapa perempuan mengajakku juga. Kamu… mengerti?” Aku mengangguk.
“Ini… maafkan aku. Mungkin seharusnya… aku tdk berbuat itu terhadapmu.”
“Berbuat apa?”
“Kemarin, kita… seks. Kamu tahu, di amerika, semua mudah berhubungan badan. Beberapa perempuan mengajakku juga. Kamu… mengerti?” Aku mengangguk.
Denyut
jantungku makin cepat. Aku mengerti. Aku merasa… sakit. Membayangkan ia sedang
menghujamkan penisnya ke vagina lain, terasa menyakitkan.
“Tapi, aku tdk
pernah melakukannya.”
“Tdk pernah?” Aku mengejapkan mata.
“Tdk pernah?” Aku mengejapkan mata.
Kak Edo
mengatakan bahwa ia pertama kalinya meniduri perempuan… tapi aku kira ia
bercanda. Atau bermaksud lain. Bagaimana bisa baru pertama, kalau kemarin sudah
sehebat itu?
“Tdk pernah.
Aku tahu, teman-temanku sudah melakukannya. Kami sudah, well, sering nonton
pasangan yg begituan di sana sini. Teman sekamarku melakukannya di ranjang
sebelah ranjangku. Perempuan lain pernah mengajakku, bahkan mereka sudah… yah,
menggunakan mulutnya. Tapi, aku belum pernah meniduri perempuan. Karena aku
belum pernah mencintai perempuan, seperti aku mencintaimu. Karena itu… jadilah
kekasihku. Aku bukan… aku bukan tuan. Aku tdk ingin menjadi tuan. Aku mencintai
kamu.”
“Tapi… nanti akan kembali ke amerika dan… dan saya masih di sini….”
“Kuliah itu paling lama hanya dua tahun lagi. Tunggulah, ya? Aku akan kembali untukmu. Sungguh.” Aku menggelengkan kepala. “Jangan… saya tdk pantas. Saya hanya pembantu. Apa kata keluarga, apa kata Bapak dan Ibu? Mereka juga… pasti punya harapan untuk tuan, untuk… Kak Edo. Bagaimana kalau mereka melihat kita… jalan berdua? Tdk mungkin… saya hanya… pembantu.” Aku memejamkan mata. Kurasakan nafas hangat di pipiku.
“Tapi… nanti akan kembali ke amerika dan… dan saya masih di sini….”
“Kuliah itu paling lama hanya dua tahun lagi. Tunggulah, ya? Aku akan kembali untukmu. Sungguh.” Aku menggelengkan kepala. “Jangan… saya tdk pantas. Saya hanya pembantu. Apa kata keluarga, apa kata Bapak dan Ibu? Mereka juga… pasti punya harapan untuk tuan, untuk… Kak Edo. Bagaimana kalau mereka melihat kita… jalan berdua? Tdk mungkin… saya hanya… pembantu.” Aku memejamkan mata. Kurasakan nafas hangat di pipiku.
Bibir hangat
mencium pipiku, mencium air mataku. Aku masuk dalam pelukannya.
“Kita sudah
jadi… setubuh. Masih aku rasakan. Kamu masih ingin?” Aku menggeleng.
Kak Edo
mendadak nampak khawatir.
“Kenapa?”
“Saya… semalam saya datang bulan.”
“Oh… mens ya?” Aku mengangguk.
“Saya… semalam saya datang bulan.”
“Oh… mens ya?” Aku mengangguk.
Kak Edo
tersenyum,
“Kalau begitu,
kita berpelukan saja seharian ini.” Aku tdk tahu harus berkata apa.
Untuk
sementara, hari- hari ini adalah hari bahagiaku. Biarlah… jika waktu berlalu,
entah kemana nasibku melaju. Aku mau jadi budaknya… menjadi yg lain pun, aku
bersedia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar