Rabu, 30 Agustus 2017

Tetangga Bohay –

Awalnya aku tak terlalu tertarik dengan pasangan suami-istri muda yang baru tinggal di samping rumahku itu. Suaminya yang bernama Bram, berusia sekitar 32 tahun, merupakan seorang pria dengan wajah tirus dan dingin. Sangat mahal senyum.
Sedang istrinya, seorang wanita 23 tahun, bertubuh sintal yang memiliki sepasang mata membola cantik, raut wajah khas wanita Jawa. Tak beda jauh dengan suaminya, dia juga terlihat kaku dan tertutup. Tapi watak itu, agaknya lebih disebabkan oleh sikap pendiam dan pemalunya. Sehari-harinya, dia selalu mengenakan pakaian kebaya. Latar belakang kehidupan pedesaan wanita berambut ikal panjang ini, terlihat masih cukup kental, Jakarta tak membuatnya berubah.
Aku hanya sempat bicara dan bertemu lebih dekat dengan pasangan ini, dihari pertama mereka pindah. Saat mengangkat barang-barangnya, aku kebetulan baru pulang dari jogging dan lewat di depan pintu pagar halaman rumah yang mereka kontrak. Setelah itu, aku tak pernah lagi kontak dengan keduanya. Aku juga tak merasa perlu untuk mengurusi mereka. Perasaan dan pikiranku mulai berubah, khususnya terhadap si Istri yang bernama Maryati, ketika suatu pagi bangun dari tidur aku duduk di balik jendela. Dari arah sana, secara kebetulan, juga melalui jendela kamarnya, aku menyaksikan si Istri sedang melayani suaminya dengan sangat telaten dan penuh kasih.
Mulai menemani makan, mengenakan pakaian, memasang kaos kaki, sepatu, membetulkan letak baju, sampai ketika mencium suaminya yang sedang bersiap-siap untuk turun kerja, semua itu kusaksikan dengan jelas. Aku punya kesimpulan wanita lumayan cantik itu sangat mencintai pasangan hidupnya yang berwajah dingin tersebut. Entah mengapa, tiba-tiba saja muncul pertanyaan nakal di otakku. Apakah Istri seperti itu memang memiliki kesetiaan yang benar-benar tulus dan jauh dari pikiran macam-macam terhadap suaminya? Sebutlah misalnya berhayal pada suatu ketika bisa melakukan petualangan seksual dengan lelaki lain? Apakah seorang istri seperti itu mampu bertahan dari godaan seks yang kuat, jika pada suatu ketika, dia terposisikan secara paksa kepada suatu kondisi yang memungkinkannya bermain seks dengan pria lain?
Apakah dalam situasi seperti itu, dia akan melawan, menolak secara total meski keselamatannya terancam? Atau apakah dia justru melihatnya sebagai peluang untuk dimanfaatkan, dengan dalih ketidakberdayaan karena berada dibawah ancaman? Pertanyaan-pertanyaan itu, secara kuat menyelimuti otak dudaku yang memang kotor dan suka berhayal tentang penyimpangan seksual. Sekaligus juga akhirnya melahirkan sebuah rencana biadab, yang jelas sarat dengan resiko dosa dan hukum yang berat. Aku ingin memperkosa Maryati! Wuah! Tapi itulah memang tekad yang terbangun kuat di otak binatangku. Sesuatu yang membuatmu mulai hari itu, secara diam-diam melakukan pengamatan dan penelitian intensif terhadap pasangan suami istri muda tersebut.
Kuamati, kapan keduanya mulai bangun, mulai tidur, makan dan bercengkrama. Kapan saja si Suami bepergian ke luar kota lebih dari satu malam, karena tugas perusahaannya sebuah distributor peralatan elektronik yang cukup besar. Dengan kata lain, kapan Maryati, wanita dengan sepasang buah dada dan pinggul yang montok sintal itu tidur sendirian di rumahnya. Untuk diketahui, pasangan ini tidak punya pembantu. Saat itulah yang bakal kupilih untuk momentum memperkosanya. Menikmati bangun dan lekuk-lekuk tubuhnya yang memancing gairah, sambil menguji daya tahan kesetiaannya sebagai istri yang bisa kukategorikan lumayan setia. Sebab setiap suaminya bepergian atau sedang keluar, wanita ini hanya mengunci diri di dalam rumahnya.
Selama ini bahkan dia tak pernah kulihat meski hanya untuk duduk-duduk di terasnya yang besar. Itu ciri Ibu Rumah Tangga yang konservatif dan kukuh memegang tradisi sopan-santun budaya wanita timur yang sangat menghormati suami. Meski mungkin mereka sadar, seorang suami, yang terkesan sesetia apapun, jika punya peluang dan kesempatan untuk bermain gila, mudah terjebak ke sana. Aku tahu suaminya, si Bram selalu bepergian keluar kota satu atau dua malam, setiap hari Rabu. Apakah benar-benar untuk keperluan kantornya, atau bisa jadi menyambangi wanita simpanannya yang lain. Dan itu bukan urusanku. Yang penting, pada Rabu malam itulah aku akan melaksanakan aksi biadabku yang mendebarkan. Semua tahapan tindakan yang akan kulakukan terhadap wanita yang di mataku semakin menggairahkan itu, kususun dengan cermat.
Aku akan menyelinap ke rumahnya hanya dengan mengenakan celana training minus celana dalam, serta baju kaos ketat yang mengukir bentuk tubuh bidangku. Buat Anda ketahui, aku pria macho dengan penampilan menarik yang gampang memaksa wanita yang berpapasan denganku biasanya melirik. Momen yang kupilih, adalah pada saat Maryati akan tidur. Karena berdasarkan hasil pengamatanku, hanya pada saat itu, dia tidak berkebaya, cuma mengenakan daster tipis yang (mungkin) tanpa kutang. Aku tak terlalu pasti soal ini, karena cuma bisa menyaksikannya sekelebat saja lewat cara mengintip dari balik kaca jendelanya dua hari lalu. Kalau Maryati cuma berdaster, berarti aku tak perlu disibukkan untuk melepaskan stagen, baju, kutang serta kain yang membalut tubuhnya kalau lagi berkebaya.
Sedang mengapa aku cuma mengenakan training spack tanpa celana dalam, tahu sendirilah. Aku menyelinap masuk ke dalam rumahnya lewat pintu dapur yang terbuka petang itu. Saat Maryati pergi mengambil jemuran di kebun belakangnya, aku cepat bersembunyi di balik tumpukan karton kemasan barang-barag elektronik yang terdapat di sudut ruangan dapurnya. Dari sana, dengan sabar dan terus berusaha untuk mengendalikan diri, wanita itu kuamati sebelum dia masuk ke kamar tidurnya. Dengan mengenakan daster tipis dan ternyata benar tanpa kutang kecuali celana dalam di baliknya. Si Istri Setia itu memeriksa kunci-kunci jendela dan pintu rumahnya. Dari dalam kamarnya terdengar suara acara televisi cukup nyaring.
Nah, pada saat dia akan masuk ke kamar tidurnya itulah, aku segera memasuki tahapan berikut dari strategi memperkosa wanita bertubuh sintal ini. Dia kusergap dari belakang, sebelah tanganku menutup mulutnya, sedang tangan yang lain secara kuat mengunci kedua tangannya. Maryati terlihat tersentak dengan mata terbeliak lebar karena terkejut sekaligus panik dan ketakutan. Dia berusaha meronta dengan keras. Tapi seperti adegan biasa di film-film yang memperagakan ulah para bajingan, aku cepat mengingatkannya untuk tetap diam dan tidak bertindak bodoh melakukan perlawanan. Hanya bedanya, aku juga mengutarakan permintaan maaf. “Maafkan saya Mbak. Saya tidak tahan untuk tidak memeluk Mbak. Percayalah, saya tidak akan menyakiti Mbak.
Dan saya bersumpah hanya melakukan ini sekali. Sekali saja,” bisikku membujuk dengan nafas memburu akibat nafsu dan rasa tegang luar biasa. Maryati tetap tidak peduli. Dia berusaha mengamuk, menendang-nendang saat kakiku menutup pintu kamarnya dan tubuhnya kepepetkan ke dinding. “Kalau Mbak ribut, akan ketahuaan orang. Kita berdua bisa hancur karena malu dan aib. Semua ini tidak akan diketahui orang lain. Saya bersumpah merahasiakannya sampai mati, karena saya tidak mau diketahui orang lain sebagai pemerkosa,” bisikku lagi dengan tetap mengunci seluruh gerakan tubuhnya. Tahapan selanjutnya, adalah menciumi bagian leher belakang dan telinga wanita beraroma tubuh harum merangsang itu.
Sedang senjataku yang keras, tegang, perkasa dan penuh urat-urat besar, kutekankan secara keras ke belahan pantatnya dengan gerakan memutar, membuat Maryati semakin terjepit di dinding. Dia mencoba semakin kalap melawan dan meronta, namun apalah artinya tenaga seorang wanita, di hadapan pria kekar yang sedang dikuasai nafsu binatang seperti diriku. Aksi menciumi dan menekan pantat Maryati terus kulakukan sampai lebih kurang sepuluh menit. Setelah melihat ada peluang lebih baik, dengan gerakan secepat kilat, dasternya kusingkapkan. Celana dalamnya segera kutarik sampai sobek ke bawah, dan sebelum wanita ini tahu apa yang akan kulakukan, belahan pantatnya segera kubuka dan lubang anusnya kujilati secara buas.
Maryati terpekik. Sebelah tanganku dengan gesit kemudian menyelinap masuk diantara selangkangannya dari belakang dan meraba serta meremas bagian luar kemaluannya, tapi membiarkan bagian dalamnya tak terjamah. Strategiku mengingatkan belum waktunya sampai ke sana. Aksi menjilat dan meremas serta mengusap-usap ini kulakukan selama beberapa menit. Maryati terus berusaha melepaskan diri sambil memintaku menghentikan tindakan yang disebutnya jahanam itu. Dia berulang-ulang menyebutku binatang dan bajingan. Tak soal. Aku memang sudah jadi binatang bajingan. Dan sekarang sang bajingan sudah tanpa celana, telanjang sebagian. “Akan kulaporkan ke suamiku,” ancamnya kemudian dengan nafas terengah-engah. Aku tak menyahut sambil bangkit berdiri serta menciumi pundaknya.
Lalu menempelkan batang perkasaku yang besar, tegang dan panas diantara belahan pantatnya. Menekan dan memutar-mutarnya dengan kuat di sana. Sedang kedua tanganku menyusup ke depan, meraba, meremas dan memainkan puting buah dada besar serta montok wanita yang terus berjuang untuk meloloskan diri dari bencana itu. “Tolong Mas Dartam, lepaskan aku. Kasihani aku,” ratapnya. Aku segera menciumi leher dan belakang telinganya sambil berbisik untuk membujuk, sekaligus memprovokasi. “Kita akan sama-sama mendapat kepuasan Mbak. Tidak ada yang rugi, karena juga tidak akan ada yang tahu. Suamimu sedang keluar kota. Mungkin juga dia sedang bergulat dengan wanita lain. Apakah kau percaya dia setia seperti dirimu,” bujukku mesra. “Kau bajingan terkutuk,” pekiknya dengan marah.
Sebagai jawabannya, tubuh putih yang montok dan harum itu (ciri yang sangat kusenangi) kali ini kupeluk kuat-kuat, lalu kuseret ke atas ranjang dan menjatuhnya di sana. Kemudian kubalik, kedua tangannya kurentangkan ke atas. Selanjutnya, ketiak yang berbulu halus dan basah oleh keringat milik wanita itu, mulai kuciumi. Dari sana, ciumanku meluncur ke sepasang buah dadanya. Menjilat, menggigit-gigit kecil, serta menyedot putingnya yang terasa mengeras tegang. “Jangan Mas Darta. Jangan.. Tolong lepaskan aku.” Wanita itu menggeliat-geliat keras. Masih tetap berusaha untuk melepaskan diri. Tetapi aku terus bertindak semakin jauh. Kali ini yang menjadi sasaranku adalah perutnya. Kujilat habis, sebelum pelan-pelan merosot turun lebih ke bawah lalu berputar-putar di bukit kemaluannya yang ternyata menggunung tinggi, mirip roti.


Sementara tanganku meremas dan mempermainkan buah dadanya, kedua batang paha putih dan mulusnya yang menjepit rapat, berusaha kubuka. Maryati dengan kalap berusaha bangun dan mendorong kepalaku. Kakinya menendang-nendang kasar. Aku cepat menjinakkannya, sebelum kaki dan dengkul yang liar itu secara telak membentur dua biji kejantannanku. Bisa celaka jika itu terjadi. Kalau aku semaput, wanita ini pasti lolos. Setelah berjuang cukup keras, kedua paha Maryati akhirnya berhasil kukuakkan. Kemudian dengan keahlian melakukan cunnilingus yang kumiliki dari hasil belajar, berteori dan berpraktek selama ini, lubang dan bibir kelamin wanita itu mulai menjadi sasaran lidah dan bibirku. Tanpa sadar Maryati terpekik, saat kecupan dan permainan ujung lidahku menempel kuat di klitorisnya yang mengeras tegang.


Kulakukan berbagai sapuan dan dorongan lidah ke bagian-bagian sangat sensitif di dalam liang senggamanya, sambil tanganku terus mengusap, meremas dan memijit-mijit kedua buah dadanya. Maryati menggeliat, terguncang dan tergetar, kadang menggigil, menahan dampak dari semua aksi itu. Kepalanya digeleng-gelengkan secara keras. Entah pernyataan menolak, atau apa. Sambil melakukan hal itu, mataku berusaha memperhatikan permukaan perut Si Istri Setia ini. Dari sana aku bisa mempelajari reaksi otot-otot tubuhnya, terhadap gerakan lidahku yang terus menyeruak masuk dalam ke dalam liang senggamanya. Dengan sentakan-sentakan dan gelombang di bagian atas perut itu, aku akan tahu, di titik dan bagian mana Maryati akan merasa lebih terangsang dan nikmat.
Gelombang rangsangan yang kuat itu kusadari mulai melanda Maryati secara fisik dan emosi, ketika perlawanannya melemah dan kaki serta kepalanya bergerak semakin resah. Tak ada suara yang keluar, karena wanita ini menutup bahkan menggigit bibirnya. Geliat tubuhnya bukan lagi refleksi dari penolakan, tetapi (mungkin) gambaran dari seseorang yang mati-matian sedang menahan kenikmatan. Berulang kali kurasakan kedua pahanya bergetar. Kemaluannya banjir membasah. Ternyata benar analisa otak kotorku beberapa pekan lalu. Bahwa sesetia apapun seorang Istri, ada saat di mana benteng kesetiaan itu ambruk, oleh rangsangan seksual yang dilakukan dalam tempo relatif lama secara paksa, langsung, intensif serta tersembunyi oleh seorang pria ganteng yang ahli dalam masalah seks. Maryati telah menjadi contoh dari hal itu.
Mungkin juga ketidakberdayaan yang telah membuatnya memilih untuk pasrah. Tetapi rasanya aku yakin lebih oleh gelora nafsu yang bangkit ingin mencari pelampiasan akibat rangsangan yang kulakukan secara intensif dan ahli di seluruh bagian sensitif tubuhnya. Aksiku selanjutnya adalah dengan memutar tubuh, berada di atas Maryati, memposisikan batang kejantananku tepat di atas wajah wanita yang sudah mulai membara dibakar nafsu birahi itu. Aku ingin mengetahui, apa reaksinya jika terus kurangsang dengan batang perkasaku yang besar dan hangat tepat berada di depan mulutnya. Wajahku sendiri, masih berada diantara selangkangannyadengan lidah dan bibir terus menjilat serta menghisap klitoris dan liang kewanitaannya.
Paha Maryati sendiri, entah secara sadar atau tidak, semakin membuka lebar, sehingga memberikan kemudahan bagiku untuk menikmati kelaminnya yang sudah membanjir basah. Mulutnya berulangkali melontarkan jeritan kecil tertahan yang bercampur dengan desisan. Aksi itu kulakukan dengan intensif dan penuh nafsu, sehingga berulang kali kurasakan paha serta tubuh wanita cantik itu bergetar dan berkelojotan. Beberapa menit kemudian mendadak kurasa sebuah benda basah yang panas menyapu batang kejantananku, membuatku jadi agak tersentak. Aha, apalagi itu kalau bukan lidah si Istri Setia ini. Berarti, selesailah sudah seluruh perlawanan yang dibangunnya demikian gigih dan habis-habisan tadi. Wanita ini telah menyerah.

Namun sayang, jilatan yang dilakukannya tadi tidak diulanginya, meski batang kejantananku sudah kurendahkan sedemikian rupa, sehingga memungkinkan mulutnya untuk menelan bagian kepalanya yang sudah sangat keras, besar dan panas itu. Boleh jadi wanita ini merasa dia telah menghianati suaminya jika melakukan hal itu, menghisap batang kejantanan pria yang memperkosanya! Tak apa. Yang penting sekarang, aku tahu dia sudah menyerah. Aku cepat kembali membalikkan tubuh. 


Memposisikan batang kejantananku tepat di depan bukit kewanitaannya yang sudah merekah dan basah oleh cairan dan air ludahku. Aku mulai menciumi pipinya yang basah oleh air mata dan lehernya. Kemudian kedua belah ketiaknya. Maryati menggelinjang liar sambil membuang wajahnya ke samping. Tak ingin bertatapan denganku.
Buah dadanya kujilati dengan buas, kemudian berusaha kumasukan sedalam-dalamnya ke dalam mulutku. Tubuh Maryati mengejang menahan nikmat. Tindakan itu kupertahankan selama beberapa menit. Kemudian batang kejantananku semakin kudekatkan ke bibir kemaluannya. Ah.., wanita ini agaknya sudah mulai tidak sabar menerima batang panas yang besar dan akan memenuhi seluruh liang sanggamanya itu. Karena kurasa pahanya membentang semakin lebar, sementara pinggulnya agak diangkat membuat lubang sanggamanya semakin menganga merah. “Mbak Mar sangat cantik dan merangsang sekali. Hanya lelaki yang beruntung dapat menikmati tubuhmu yang luar biasa ini,” gombalku sambil menciumi pipi dan lehernya.


“Sekarang punyaku akan memasuki punya Mbak. Aku akan memberikan kenikmatan yang luar biasa pada Mbak. Sekarang nikmatilah dan kenanglah peristiwa ini sepanjang hidup Mbak.” Setelah mengatakan hal itu, sambil menarik otot di sekitar anus dan pahaku agar ketegangan kelaminku semakin meningkat tinggi, liang kenikmatan wanita desa yang bermata bulat jelita itu, mulai kuterobos. Maryati terpekik, tubuhnya menggeliat, tapi kutahan. Batang kejantananku terus merasuk semakin dalam dan dalam, sampai akhirnya tenggelam penuh di atas bukit kelamin yang montok berbulu itu. 

Untuk sesaat, tubuhku juga ikut bergetar menahan kenikmatan luar biasa pada saat liang kewanitaan wanita ini berdenyut-deyut menjepitnya.
Tubuhku kudorongkan ke depan, dengan pantat semakin ditekan ke bawah, membuat pangkal atas batang kejantananku menempel dengan kuat di klitorisnya. Maryati melenguh gelisah. Tangannya tanpa sadar memeluk tubuhku dengan punggung melengkung. Kudiamkan dia sampai agak lebih tenang, kemudian mulailah gerakan alamiah untuk coitus yang membara itu kulakukan. 

Maryati kembali terpekik sambil meronta dengan mulut mendesis dan melengguh. Tembakan batang kejantananku kulakukan semakin cepat, dengan gerakan berubah-ubah baik dalam hal sudut tembakannya, maupun bentuknya dalam melakukan penetrasi. Kadang lurus, miring, juga memutar, membuat Maryati benar-benar seperti orang kesurupan.
Wanita ini kelihatanya sudah total lupa diri. Tangannya mencengkram pundakku, lalu mendadak kepalanya terangkat ke atas, matanyaterbeliak, giginya dengan kuat menggigit pundakku. 

Dia orgasme! Gerakan keluar-masuk batang kejantananku kutahan dan hanya memutar-mutarnya, mengaduk seluruh liang sanggama Maryati, agar bisa menyentuh dan menggilas bagian-bagian sensitif di sana. 


Wanita berpinggul besar ini meregang dan berkelonjotan berulang kali, dalam tempo waktu sekitar dua puluh detik. Semuanya kemudian berakhir. Mata dan hidungnya segera kuciumi. Pipinya yang basah oleh air mata, kusapu dengan hidungku. Tubuhnya kupeluk semakin erat, sambil mengatakan permintaan maaf atas kebiadabanku. Maryati cuma membisu. Kami berdua saling berdiaman.
Kemudian aku mulai beraksi kembali dengan terlebih dahulu mencium dan menjilati leher, telinga, pundak, ketiak serta buah dadanya. Kocokan kejantananku kumulai secara perlahan. Kepalanya kuarahkan ke bagian-bagian yang sensitif atau G-Spot wanita ini. Hanya beberapa detik kemudian, Maryati kembali gelisah. Kali ini aku bangkit, mengangkat kedua pahanya ke atas dan membentangkannya dengan lebar, lalu menghujamkan batang perkasaku sedalam-dalamnya. Maryati terpekik dengan mata terbeliak, menyaksikan batang kejantananku yang mungkin jauh lebih besar dari milik suaminya itu, berulang-ulang keluar masuk diantara lubang berbulu basah miliknya. Matanya tak mau lepas dari sana. Kupikir, wanita ini terbiasa untuk berlaku seperti itu, jika bersetubuh. Wajahnya kemudian menatap wajahku. “Mas…” bisiknya.
Aku mengangguk dengan perasaan lebih terangsang oleh panggilan itu, kocokanbatang kejantananku kutingkatkan semakin cepat dan cepat, sehingga tubuh Maryati terguncang-guncang dahsyat. Pada puncaknya kemudian, wanita ini menjatuhkan tubuhnya di tilam, lalu menggeliat, meregang sambil meremas sprei. Aku tahu dia akan kembali memasuki saat orgasme keduanya. Dan itu terjadi saat mulutnya melontarkan pekikan nyaring, mengatasi suara Krisdayanti yang sedang menyanyi di pesawat televisi di samping ranjang. Pertarungan seru itu kembali usai. Aku terengah dengan tubuh bermandi keringat, di atas tubuh Maryati yang juga basah kuyup.
Matanya kuciumi dan hidungnya kukecup dengan lembut. Detak jantungku terasa memacu demikian kuat. Kurasakan batang kejantananku berdenyut-denyut semakin kuat. Aku tahu, ini saat yang baik untuk mempersiapkan orgasmeku sendiri. Tubuh Maryati kemudian kubalikkan, lalu punggungnya mulai kujilati. Dia mengeluh. Setelah itu, pantatnya kubuka dan kunaikkan ke atas, sehingga lubang anusnya ikut terbuka. Jilatan intensifku segera kuarahkan ke sana, sementara jariku memilin dan mengusap-usap klitorisnya dari belakang. Maryati berulang kali menyentakkan badannya, menahan rasa ngilu itu. Namun beberapa menit kemudian, keinginan bersetubuhnya bangkit kembali.


Tubuhnya segera kuangkat dan kuletakkan di depan toilet tepat menghadap cermin besar yang ada di depannya. Dia kuminta jongkok di sana, dengan membuka kakinya agak lebar. Setelah itu dengan agak tidak sabar, batang kejantananku yang terus membesar keras, kuarahkan ke kelaminnya, lalu kusorong masuk sampai ke pangkalnya. Maryati kembali terpekik. Dan pekik itu semakin kerap terdengar ketika batang kejantananku keluar masuk dengan cepat di liang sanggamanya. Bahkan wanita itu benar-benar menjerit berulangkali dengan mata terbeliak, sehingga aku khawatir suaranya bisa didengar orang di luar. Wanita ini kelihatannya sangat terangsang dengan style bersetubuh seperti itu.


Selain batang kejantananku terasa lebih dahsyat menerobos dan menggesek bagian-bagian sensitifnya, dia juga bisa menyaksikan wajahku yang tegang dalam memompanya dari belakang. Dan tidak seperti sebelumnya, Maryati kali ini dengan suara gemetar mengatakan dia akan keluar. Aku cepat mengangkat tubuhnya kembali ke ranjang. Menelentangkannya di sana, kemudian menyetubuhinya habis-habisan, karena aku juga sedang mempersiapkan saat orgasmeku. 

Aku akan melepas bendungansperma di kepala kejantananku, pada saat wanita ini memasuki orgasmenya. Dan itu terjadi, sekitar lima menit kemudian. Maryati meregang keras dengan tubuh bergetar. Matanya yang cantik terbeliak. Maka orgasmeku segera kulepas dengan hujaman batang kejantanan yang lebih lambat namun lebih kuat serta merasuk sedalam-dalamnya ke liang kewanitaan Maryati.


Kedua mata wanita itu kulihat terbalik, Maryati meneriakkan namaku saat spermaku menyembur berulang kali dalam tenggang waktu sekitar delapan detik ke dalam liang sanggamanya. Tangannya dengan kuat merangkul tubuhku dan tangisnya segera muncul. Kenikmatan luar biasa itu telah memaksa wanita ini menangis. 


Aku memejamkan mata sambil memeluknya dengan kuat, merasakan nikmatnya orgasme yang bergelombang itu. Ini adalah orgasmeku yang pertama dan penghabisanku dengan wanita ini. Aku segera berpikir untuk berangkat besok ke Kalimantan, ke tempat pamanku. Mungkin seminggu, sebulan atau lebih menginap di sana.


Aku tidak boleh lagi mengulangi perbuatan ini. Tidak boleh, meski misalnya Maryati memintanya.


cerita bergambar: Numpang hidup

cerita bergambar: Numpang hidup: Kisah Ini sudah 13 tahun yang lalu, saat Saya masih kuliah disebuah kota S di P. Saya mempunyai teman satu angkatan satu jurusan Yon namany...

Numpang hidup

Kisah Ini sudah 13 tahun yang lalu, saat Saya masih kuliah disebuah kota S di P. Saya mempunyai teman satu angkatan satu jurusan Yon namanya, berasal dari kota W. Kami begitu lengketnya, study, ngobrol, jalan ngalor-ngidul, ngapelin cewek satupun sering bersama. Sampai kecewapun sering bareng-bareng. Yon si anak “bocor” tapi baik hati itu tinggal dirumah tantenya (yang biasa saya panggil Ibu Tari) yang hanya punya anak gadis semata wayang. Itupun begitu lulus S1 Manajemen perusahaan langsung dilibas habis kegadisannya sama pacarnya, dalam suatu perkawinan, terus diboyong ke Jakarta.
Tinggallah Ibu Tari ini dengan suaminya yang pengusaha jasa konstruksi dan trading itu dengan pembantu dan sopir. Kebetulan Yon ini keponakan kesayangan. Wajar saja dia suka besar kepala karena jadi tumpahan sayang Ibu Tari. Sampai suatu saat dia minta tinggal di luar rumah utama yang sebenarnya berlebih kamar, ya si tante nurut saja. Alasan Yon biar kalau pulang larut malam, tidak mengganggu orang rumah karena minta dibukakan pintu.Ruang yang dia minta dan bangun adalah gudang di sebelah garasi mobil. Dengan selera anak mudanya dia atur interior ruangan itu seenak perutnya. Setengah selesai penataan ruang yang akhirnya jadi kamar yang cukup besar itu, sekali lagi Yon menawarkan diri agar saya mau tinggal bersamanya. Saat itu Ibu Tari, hanya senyum-senyum saja. Seperti dulu-dulupun saya menolaknya. Gengsi sedikitlah, sebab ikut tinggal di rumah Bu Tari berarti semuanya serba gratis, itu artinya hutang budi, dan artinya lagi ketergantungan. Biar saya suka pusing mikirin uang kost bulanan, makan sehari-hari atau nyuci pakaian sendiri, sedikitnya di kamar kostku saya seperti manusia merdeka.
 Tapi hari itu, entah karena bujukan mereka, atau karena sayangku juga pada mereka dan sebaliknya sayang mereka padaku selama ini. Akhirnya saya terima juga tawaran itu, dengan perjanjian bahwa saya tidak mau serba gratis. Saya maunya bayar, walaupun uang bayaran kostku itu ibarat ngencingin kolam renang buat Bu Tari yang memang kaya itu. Toh selama ini saya menganggap rumah Bu Tari ini rumah kostku yang kedua, sebelumnya sering juga saya menginap dan nongkrong hampir setiap hari di sini.Ada satu hal sebenarnya yang ikut juga menghalangiku selama ini menolak tawaran Yon atau Bu Tari untuk tinggal di rumahnya. Entah kenapa saya yang anak muda begini, suka merasakan ada sesuatu yang aneh di dada kalau bertatapan, ngobrol, bercanda, diskusi dan berdekatan dengan Bu Tari. Perempuan yang selayaknya jadi tante atau bahkan ibuku itu.
Bagiku Ibu Tari bukan hanya sosok perempuan cantik atau sedikitnya orang yang melihatnya akan menilai bahwa semasa gadisnya Bu Tari adalah perempuan yang luar biasa. Bukan hanya sekedar bahwa sampai setua itu Ibu Tari masih punya bentuk tubuh yang meliuk-liuk. Senyumnya, dada, pinggang, sampai ke pinggulnya suka membuatku susah tidur dan baru lega jika saya beronani membayangkan bersetubuh dengannya. Jika saya beronani tidak cukup kalau cuma keluar sekali saja.Gejala apa ini, apakah wajar saya terobsesi sosok perempuan yang tidak hanya sekedar cantik, tapi berintelegensi bagus, penuh kasih dan nature. Buatku secantik apapun perempuan jika tidak punya tiga unsur itu, hambar dalam selera dan pandanganku. Seperti sebuah buku kartun yang tolol dan tidak lucu saja layaknya. Malangnya Ibu Tari memiliki semua itu, dan lebih malangnya lagi saya . Di bawah sadar sering saya diremas-remas iri dan cemburu jika melihat Ibu Tari berbincang mesra atau melayani Pak Bagong, suaminya. Begitu telaten dan indah. Gila!
Selama saya tinggal di rumah Bu Tari itu, pada awalnya semua biasa saja. Perhatian dan sayang Bu Tari kurasakan tak ada bedanya terhadapku dan Yon. Kupikir semua ini naluri keibuannya saja. Tetapi semua itu berjalan hanya sampai kurang lebih 4 bulan.
Di suatu malam dari balik jendela kamarku kulihat beberapa kali Ibu Tari keluar masuk rumah dengan gelisah menunggu Pak Bagong yang sampai jam 22.00 belum pulang. Sebentar dia kedalam sebentar keluar lagi, duduk dikursi, memandang kejalan dengan muka gelisah, membalik-balik majalah lalu masuk lagi. Keluar lagi. Kuperhatikan belakangan ini Ibu Tari begitu murung. Ada masalah yang dia sembunyikan. Senyumnya sering kali getir dan terpaksa.
Saya beranjak ke kamar mandi untuk pipis. Buku Nick Carter yang sejak tadi membuat penisku tegang kugeletakkan dimeja. Tapi begitu saya kembali ternyata Bu Tari sudah duduk di kursi panjang di kamarku memegang buku itu. Saya hanya meringis ketika Bu Tari meledekku membaca buku Nick Charter yang pas dicerita ah.,eh.,oh kertasnya saya tekuk. Sesaat setelah kami kehabisan bahan bicara, muka Bu Tari kembali mendung lagi. Dia berdiri, berjalan ke sana sini dengan pelan tanpa suara merapikan apa saja yang dilihatnya berantakan. Sprei tempat tidur, buku-buku, koran, majalah, pakaian kotor dan asbak rokok. Ya maklum kamar bujanganlah. Saya pindah duduk dikursi panjang lantas mematung memperhatikannya. Seperti tanpa kedip. Semua yang dilakukannya adalah keindahan seorang perempuan, seorang ibu.
Setelah selesai, sejenak Bu Tari hanya berdiri, melihat jam didinding lalu menatapku dengan mata yang kosong. Saya coba untuk tersenyum sehangat mungkin. Bu Tari duduk di sampingku. Mukanya yang tetap murung akhirnya membuatku berani bicara mengomentari sikapnya belakangan ini dan bertanya kenapa? Bu Tari tersenyum hambar, menggeleng-gelengkan kepala, diam, menunduk, menarik napas dalam dan melepasnya dengan halus. Sunyi. Seperti ingin to the point saja, Bu Tari menceritakan masalah dengan suaminya.
Seperti kampung yang diserbu provokator dan perusuh saja, otakku tercabik-cabik, terbuka. Hubungan Bu Tari dengan suaminya selama ini ternyata semuanya penuh kepura-puraan. Kemesraan mereka semu tak bernurani, bagai sebuah ruangan setengah kosong, dan setengahnya lagi sekedar keterpaksaan pelaksanaan kewajiban saja. Bu Tari berada di dalamnya. Suaminya tahu tapi seperti sengaja membiarkannya memikir, menghadapi dan menyelesaikannya sendiri. Menerima keadaan.
Entah karena kesepian, butuh orang sebagai tumpahan hatinya yang kesal dan rasa disia-siakan. Bu Tari menceritakan bahwa Pak Bagong sudah lama mempunyai istri simpanan di sebuah perumahan menengah pinggir kota. Tak pernah hal ini dia ceritakan kepada siapapun juga kepada anaknya sendiri Mbak Clara di Jakarta. Sama dengan kebanyakan istri-istri pejabat yang walaupun tahu suaminya punya simpanan perempuan, Bu Tari hanya bisa menahan hati. Konon katanya, justru sebenarnya banyak istri pejabat yang malah mencarikan perempuan khusus untuk dijadiakn simpanan suaminya sendiri, demi keamanan, “nama baik” dan jabatan. Biar si suami tidak asal hantam dan makan sembarang wanita. Toh, Istri tahu atau tidak, terima atau tidak, si suaminya dengan jabatan, uang dan kelelakiannya dapat melakukan apa saja pada perempuan-perempuan yang mau. Semua itu seperti permaisuri yang mencarikan selir untuk suaminya sendiri.
“Dia ingin punya anak laki-laki Win (Win nama palsu saya)” Begitu ucap Bu Tari malam itu.
Matanya mulai berkaca-kaca. Dulu Bu Tari memang suka bercerita betapa inginnya dia punya anak laki-laki yang banyak. Dia suka menyesali diri kenapa Tuhan hanya memberinya satu anak saja. “Apakah itu alasan yang wajar Win” Ucapnya lagi.
Kedua tangannya memegang tangan kananku dan matanya yang memelas lurus menatapku. Seolah meminta dukungan bahwa kelakuan Pak Bagong salah. Saya bingung. Mau ngomong apa, seribu kata aduk-adukan diotak hingga saya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.
Diluar dugaanku, tangis Bu Tari malah meledak tertahan. Dia jatuhkan mukanya ke pundak kiriku. Saya bingung, tapi naluri lelakiku berkata dia teraniaya dan butuh perlindungan, hingga akhirnya tanganku begitu saja merengkuhnya. Bu Tari malah membenamkan wajahnya ke dadaku. Saya elus-elus punggungnya dan dengan pipiku kugesek-gesek rambutnya agar dia tenang. Kucium wangi parfum dari tubuh dan rambutnya.
Sesaat rasanya, sampai akhirnya Bu Tari menarik mukanya dan memandangiku dengan senyumnya yang gusar. Saya ikut tersenyum. Ada malu, ada rasa bersalah, ada pertanyaan ada kehausan di mata Bu Tari, dan ada yang menyesakan dadanya. Entah rasa sayang atau sekedar untuk menetralisir hatinya, saya usap air matanya dengan jariku. Bu Tari hanya diam setengah bengong menatapku. Hening. Sepi.
“Ibu bahagia sekali win kamu mau tinggal disini. Entah bagaimana rasanya rumah ini kalau tak ada kamu dan Yon. Sepi. Tidak ada lagi yang bisa diharapkan. Mungkin ibu bisa mati sedih dirumah sebesar ini” Ucap Bu Tari pelan tertunduk murung.
“Kenapa Ibu baru menceritakannya sekarang?” Ucapku.
“Untuk apa?” Ucap Bu Tari menggeleng-geleng.
“Setidaknya beban Ibu dapat berkurang”.
“Buat Ibu cukup melihat Kamu dan Yon ceria dan bahagia di rumah ini. Kalianlah yang justru membuat Ibu betah di rumah. Untuk apa Ibu harus mengurangi semua itu dengan masalah Ibu. Ibu sayang pada kalian”. Ucap Bu Tari sambil memegang jari tanganku.
Saya membalasnya dengan meremas jari jemarinya pelan.
“Kamu sayang pada Ibu kan Win? Tanya Bu Tari menatapku.
Saya menggangguk tersenyum. Bu Tari tersenyum bahagia. Lalu entah kenapa saya nekat begitu saja mendekatkan mukaku, mencium kening dan pipinya dengan lembut. Kulihat wajah Bu Tari yang surprise tapi diam saja.
“Bu Tari marah?” tanyaku.
Dia menggeleng-geleng dan malah balas menciumku, menyenderkan kepalanya miring di pundakku dan melingkarkan tangan kanannya di pinggangku. Kupeluk dia. Lama sekali rasanya kami saling berdiam diri. Tapi saya merasakan kedamaian yang luar biasa. Sampai akhirnya suara motor Yon yang katanya habis diskusi di kelompok studinya tiba dan suara pintu gerbang terbuka.
Sejak kejadian malam itu hubunganku dengan Bu Tari jadi kian aneh. Mungkin awalnya hanya sekedar memperlihatkan rasa sayang dan cinta layaknya seorang anak pada ibunya dan sebaliknya. Walau dengan diam-diam disetiap kesempatan yang ada kami saling tidak menyembunyikan semua itu. Bertatapan dengan mesra, bercanda dan saling memperhatikan lebih dari dulu-dulu.
Tapi seperti air yang tak diatur, semua mengalir begitu saja. Kian lama Bu Tari dan saya berani saling mencium. Cium sayang dan lembut disetiap kesempatan yang ada tanpa seisi rumah tahu Tapi kegalauan dihatiku tetap saja tak dapat kuingkari. Sering saya bertanya sendiri sayangku, cintaku, ciumanku dan pelukanku pada Bu Tari apakah manifestasi seorang anak pada sosok ibunya, atau seorang lelaki pada seorang perempuan. Hati dan otakku setiap hari dililit pertanyaan sialan itu. Begitu menjengkelkan.
Semua itu berjalan sampai tak dapat kuingkari bahwa birahi selalu mengikutiku jika aku berdekatan dan mencium Bu Tari. Selama ini aku berusaha menekannya. Tapi itu meledak di suatu sore yang sepi.
Semula aku hanya ingin meminjam koran yang biasanya tergeletak di ruang keluarga rumah utama. Tapi saat kulihat Bu Tari tengah berdiri menikmati ikan-ikan hias aquariumnya. Tiba-tiba aku ingin menggodanya. Aku berjingkat perlahan dan menutup kedua matanya dengan tanganku dari belakang. Ibu Tari kaget berusaha melepaskan tanganku. Aku menahan tawa tetap menutup matanya. Tapi akhirnya Bu Tari mengenaliku juga. Kukendorkan tanganku.
“Wiinn kamu bikin kaget ibu saja akh..” Ucap Bu Tari tetap membelakangiku dan menarik kedua tanganku ke depan dadanya.
Bu Tari bersandar di dadaku. Kedua tanganku tepat mengenai payudaranya yang kurasakan empuk itu. Gelora aneh mengalir di darahku. Sementara Bu Tari terus mengomentari ikan-ikan di dalam aquarium, aku justru memperhatikan bulu-bulu lembut di leher jenjangnya Rambutnya yang lurus sebahu saat itu tertarik ke atas dan terjepit jepitan rambut, hingga leher bagus itu dapat kunikmati utuh. Aku berdesir. Kurasakan napasku mulai berat. Dengan bibirku akhirnya kukecup leher itu. Bu Tari merintih kegelian dan mencubit lenganku dengan genit.“Hii. Jangan Wiinn akhh…, Merinding Ibu ah”
Dekapan tanganku di payudara dan dadanya makin kuat. Ketika kuperhatikan dia tidak marah dan tenang maka kuulangi lagi kecupan itu berulang-ulang. Kumis dan bekas cukuran di janggutku membuatnya geli. Tapi kurasakan tangan Bu Tari perlahan mencengkram erat di kedua jariku dan dia diam saja. Aku makin bernafsu. Ciuman, kecupan dan hisapan bibirku makin menjadi-jadi ke leher dan telinganya. Bu Tari mendesah memejamkan mata. Kepalanya bergerak-gerak mengikuti cumbuanku. Matanya terpejam dan napasnya menggelora. Kucari bibirnya, karena susah maka kuputar tubuhnya menghadapku dan langsung kusambar dengan bibirku. Kupeluk erat Bu Tari.
Dia menggeliat membalas permainan bibirku. Kedua tangannya memegangi bagian belakang kepalaku seolah takut aku melepaskan ciuman bibirku. Kuremas-remas payudaranya dengan tangan kananku. Bu Tari melepaskan ciumannya lalu merintih-rintih dengan kepala terdongak ke belakang seolah memberikan lehernya untukku. Dengan bibirku langsung kuciumi leher itu. Tapi tiba-tiba Bu Tari setengah menghentakan badanku seperti tengah bangun dari mimpi dan shock dia berkata, “Ya Tuhan, Wiinn…, apa yang kita lakukan?”
Bu Tari menjauhiku dan menempelkan kepalanya ke dinding menahan hati. Akupun bisu. Hening. lama sekali. Aku kian gelisah. Aku ingin keadaan itu berakhir. Aku dekati Bu Tari, memeluknya lagi. Kata-kata cinta meluncur begitu saja dari mulutku. Semua itu membuat Bu Tari bingung. Menggeleng-gelengkan kepalanya dan berlari masuk ke kamar menahan tangis.
Beberapa hari sejak kejadian itu Bu Tari tidak menyapaku. Dia selalu berusaha menghindariku. Aku bingung, aku takut dia marah. Aku takut dia menolak cintaku. Aku takut gila, mencintai ibu kost sendiri, istri orang dan perempuan yang jauh lebih tua dariku. Ditolak pula. Aku mulai murung. Tapi itu hanya lebih kurang dua minggu. Hanya sampai pada suatu malam, bulan jatuh dipelukanku saat Bu Tari lembut menyapaku dan tanpa bicara sepatah katapun menciumiku. Sejak dulu juga, jika dibalik ke”nature”annya sesekali kulihat kerling genitnya, adalah bukti bahwa sebenarnya sudah lama aku tak bertepuk sebelah tangan. Tapi Bu Tari takut bicara tentang cinta, bahwa dia sayang, merindukan dan membutuhkanku.
Selanjutnya kami selalu berusaha bersikap wajar di depan seisi rumah maupun tetangga. Satu hal yang pasti bahwa kami bisa dengan bebas saling bercerita tentang apa saja. Termasuk kebiasaanku beronani dengan membayangkan bersetubuh dengannya yang membuatnya tertawa terpingkal-pingkal. Sebaliknya dari Bu Tari aku tahu, bahwa suaminya Pak Bagong itu aneh, di ranjang bertempur tidak pernah menang tapi malah punya simpanan. Untuk mencapai orgasme jika bersetubuh dengan suaminya dia sering membayangkan bersetubuh denganku. Gila. Kami terus mengalir tanpa halangan yang berarti. Maksudku tanpa tindak-tanduk yang dapat menimbulkan kecurigaan orang seisi rumah maupun tetangga.
Sampai suatu hari Pak Falcon tetangga kami yang tinggal 6 rumah dari kami melangsungkan pernikahan anaknya. Seharian itu aku dirundung nafsu dan cemburu. Seperti biasanya jika dilingkungan perumahan itu ada pernikahan maka Pak Bagong dan Bu Tari akan menjadi penerima tamu. Pak Bagong akan berbaju beskap, berjarik, blangkon dan berkeris. Bu Tari akan berkebaya, berjarik dan berselendang dengan rambut konde yang rapi. Bu Tari sendiri tahu bahwa dengan pakaian seperti itulah seringkali aku mengungkapkan kekagumanku atas kecantikan dan seks apple yang ditimbulkannya.
Rasanya aku gelisah terus melihat kesintalan tubuh Bu Tari yang terlilit pakaian adat Jawa yang ketat itu. Jika berjalan pinggulnya bergoyang-goyang mengundang sensasi. Beberapa kali kutebar pandanganku berkeliling, selalu saja kulihat ada mata tamu pria entah muda, entah tua ada yang tengah melirik atau memperhatikannya. Semua itu membuatku pingin marah saja rasanya.
Tetapi sebelum seremoni perkawinan itu usai, tiba-tiba pembantu Bu Tari, yang biasanya aku panggil Mbak Suti datang mengabarkan bahwa barusan dia terima telepon di rumah yang mengabarkan adik Pak Bagong yang tinggal di kota P mengalami kecelakaan lalu lintas. Pak Bagong, Bu Tari, Yon, Mbak Suti dan aku akhirnya pamit pulang duluan pada Pak Falcon.
Sampai dirumah, Pak Bagong dan Ibu Tari menelepon balik ke kota P melakukan konfirmasi berita. Adik Pak Bagong bersama Dorti anaknyalah yang mengalami kecelakaan. Mobilnya tertabrak bis antar kota yang selip. Dua-duanya masuk IGD rumah sakit dan Pak Bagong sebagai anak tertua di keluarganya diminta datang. Teman sekamarku Yon sendiri ingin ikut nengok. Yon naksir berat pada Dorti, pernah menyatakan cinta dua kali. Tapi dua kali pula Dorti menolak. Sementara Ibu Tari sendiri harus tetap tinggal karena besok pagi ada tim BPKP dari Jakarta yang akan datang melakukan audit di kantornya. Ibu Tari key person yang harus ada.
Pak Bagong dan Yon berangkat ke kota P dengan mobilnya dan akan mampir ke rumah Pak Sarmin supirnya dulu untuk diajak berangkat. Aku, Bu Tari dan Mbak Suti ngobrol sebentar membicarakan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pada adik Pak Bagong dan anaknya. Sampai Mbak Suti menguap beberapa kali. Selama ngobrol tak pernah mataku lepas dari busungnya dada Bu Tari dengan payudaranya yang montok dan sedikit terlihat. Bu Tari tahu aku selalu memperhatikannya, tapi dia membiarkan saja, bahkan seolah justru senang dan menikmati kekagumanku, birahiku dan kegusaranku.

“Sudahlah sana tidur kalau ngantuk, aku tidak balik lagi kerumah pak Falcon kok Ti, wong hampir selesai kok”
Ucapnya. Bu Tari beranjak pergi katanya mau pipis. Ketika Bu Tari berjalan, pinggulnya yang bergoyang-goyang tak lepas mataku. Begitu padat, begitu bulat.
Mbak Suti langsung pamit tidur. Tinggallah aku di ruang tengah itu, sendiri, melamun. Sekian lama hubungan kami berjalan. Selama ini kami hanya sampai batas berpelukan, berciuman, saling tindih di ranjang dengan napas yang menderu-deru dan berujung orgasme tanpa coitus. Entah berapa kali penisku menekan-nekan dan menggesek-gesek di vaginanya yang basah di celana. Entah berapa kali spermaku membasahi celana dalamku sendiri dan celana dalam Bu Tari. Lantas walaupun penisku belum pernah sekalipun masuk ke vaginanya, kecuali hanya menggesek-gesek dan aku orgasme, masih perjakakah aku?
Langkah Bu Tari terdengar dan terus kupandangi sekujur tubuhnya yang semampai melenggok-lenggok, dari kepala sampai kaki ketika dia berjalan kearahku. Stagen di pinggangnya sudah tak ada hingga perutnya sedikit terlihat. Dadaku berdebar-debar. Berkali kali kutelan ludah. “Kamu melihat Ibu, kaya Ibu ini apaan sih?”, ucap Bu Tari genit mengibaskan tangan kanan di mukaku. “Ibu cantik sekali, makin seksi, seksi sekali berkebaya dan Saya terangsang sekali” Ucapku asal saja menunjuk ke penisku.
“Hus. Sekali, sekali. Daripada melamun sini pijitin Ibu”, Ucap Bu Tari duduk membelakakingiku dan menepuk pundaknya.
Aku pijit kedua pundaknya perlahan-lahan. Bu Tari kadang menggeliat keenakan.
Makin lama pijitanku makin turun, ke punggungnya, ke tulang-tulang rusuknya, ke pinggangnya. Tak lama kutarik pundaknya dan kusandarkan punggungnya ke dadaku, kutempelkan pipi kananku ke pipi kirinya. Lalu kupijit kedua pahanya, kuelus-elus dan kuremas-remas sampai ke pinggulnya. Bu Tari memejamkan matanya. Pijitan bercampur elusan kedua tanganku merambat naik dan berhenti di dadanya untuk meremas-remas buah dada yang kurasakan besar dan kenyal itu. Mukaku kugesek-gesekan di rambut dan kondenya, pipinya, dan kukulum-kulum telinganya.

Deru napas Bu Tari mulai tak teratur kadang diselingi desahan halus. Tangan kanannya mencoba meraih kepalaku, kadang mencengkram lembut rambutku. Telapak tangan kirinya digosok-gosokan kepipi kiriku. Remasan tanganku ke buah dadanya makin liar, mukaku meliuk-liuk menciumi apa saja di kepalanya. Kubuka kancing baju kebayanya. Sembulan sepertiga buah dada dari BH-nya indah sekali. Aku makin terangsang. Penisku yang berdiri sejak tadi ingin meledak rasanya. Kutarik baju kebayanya turun ke belakang hingga pundak dan lehernya bebas kuciumi dan jilati. Ibu Tari mengerang nikmat. Kulingkarkan kedua tanganku memeluknya erat-erat. Bibir Bu Tari yang setengah terbuka kusambar dengan bibirku dan kukulum habis. Ujung lidah kami beradu, kutelusuri lidahnya sampai seberapa jauh dapat masuk, ke rongga-rongga mulutnya. Begitu kami bergantian.


Aku dan Bu Tari mulai tak tahan, kurebahkan dia disofa. Kutelusuri tubuhnya, kuciumi dari muka, dada, perut paha, dan betisnya yang masih dibalut kain jarik. Naik lagi dan kutindih Bu Tari. Erangannya makin merangsangku. Kubuka ikat pinggangku.
“Jangan disini sayang. Nanti kalau Suti bangun…” Tiba-tiba ucap Bu Tari tak menyelesaikan kalimatnya. Kami berdiri.
Bu Tari melepas ritsluiting celanaku, memasukan tangannya ke celana dalamku dan meremas-remas penisku yang tegang dengan geregetan.
“Heemm” Ucapnya lalu membimbingku masuk ke kamarnya berjalan mundur dengan memegang dan menarik penisku. Itu membuat kami tertawa.
Pintu kamar dikuncinya cepat-cepat. Kubuka bajuku dan Bu Tari setengah menunduk membuka celanaku lalu mencari penisku. 


Begitu dapat langsung dimasukan ke mulutnya, dijilati dihisap-hisap, diciumi dan kadang dikocok-kocok dengan tangannya. Yang begini belum pernah dia lakukan. Aliran kenikmatan merambat sampai ubun-ubun kepalaku. Aku memberinya isyarat agar melepaskan penisku. Aku dipuncak nafsu dan ingin memasukan penisku langsung saja ke vaginanya, tapi dia menolak. Badanku rasanya makin bergetar dengan tulang yang mau berlepasan dan syaraf-syaraf di tubuhku rasanya kelojotan nikmat. Bu Tari begitu bernafsu dan nikmat memainkan penisku di mulutnya

Aku tak tahan dan minta rebahan di ranjang. Bu Tari melepas baju kebayanya. Dengan tetap BH masih di dada dan kain jariknya yang belum terlepas, mulutnya langsung mengejar burung pusakaku sampai dua biji telornyapun dia cium, jilat dan hisap. 


Aku makin bergelinjang, melayang-layang nikmat. Hingga dipuncaknya, aku tak sempat lagi memberitahunya kalau spermaku mau keluar. Hingga akkhh…, crott…, croot…, Crroott. Spermaku muncrat di dalam mulut Bu Tari. Tapi Bu Tari justru malah bernafsu, menelannya dan terus menghisap-hisap penisku sampai bersih, kasat dan ngilu rasanya. 


Aku terkejut. Bangun terduduk.
“Ibu telan? Apa ibu tidak jijik?”, Tanyaku bodoh.
Ibu Tari menggeleng, justru mukanya cerah, kepuasan terpancar di wajahnya. Aneh pikirku.
“Orang bilang, meminum air mani perjaka akan membuat perempuan awet muda. Lepas betul atau tidak yang terang Ibu sudah mencobanya barusan Sayang” Ucap Bu Tari lalu menciumiku dari muka sampai dadaku, sementara tangan kanannya terus meremas-remas penisku.
“Ayo lagi Sayang, Ibu pingin kamu puas” Ucap Bu Tari mesra. penisku yang tadi terkulai karena sudah keluar sperma dan shock mulai menegang lagi akhirnya. Bu Tari kembali mengulum dan menghisap-isap penisku.


“Kalau Ibu masih pingin, ambil semua sperma Saya” Ucapku, Ibu Tari tersenyum.
Kubuka dan kutarik lilitan kain jariknya. Bu Tari berdiri untuk memudahkan melepas kain jariknya. Tubuhnya yang telanjang bulat langsung kuterkam, kurebahkan dan kutindih. Dua payudaranya yang besar itu kuhisap-hisap putingnya bergantian. Tangan kananku menggosok-gosok vaginanya. Kuciumi, kujilati dan kuhisap-hisap semua bagian yang menurut instingku bisa membangkitkan gairahnya. Bibir, lidah, telinga, leher, payudara, perut, pusar, paha, vagina, betis sampai ke jari dan telapak kakinya.


Tubuh Bu Tari bergelinjangan tak karuan dadanya naik-turun kelojotan. Tangan kirinya meremas-meremas payudaranya dan tangan kanannya menggosok-gosok vaginanya sendiri. Konde rambut Bu Tari hampir terlepas. Mulutku naik lagi ke atas menyusuri betis dan paha hingga akhirnya berhenti di vaginanya. Dengan kedua tanganku kusibak pelan bulu vaginanya. Kulihat belahan vaginanya yang memerah berkilat dan bagian dalamnya ada yang berdenyut-denyut. Kuciumi dengan lembut, bau divaginanya membuat sensasi yang aneh. Tak pernah ada bau seperti ini yang pernah kukenal rasanya. Dengan hidung kugesek-gesek belahan vagina Bu Tari sambil menikmati aroma baunya. Erangan dan gelinjangan tubuhnya terlihat seperti pemandangan yang indah sekaligus menggairahkan. “Aakhhk…, eekhh…, nikmat sekali sayang. Teruuss sayang”, Rintih Bu Tari.
Kujulurkan lidahku, kujilat sedikit vaginanya, ada rasa asin. Lalu dari bawah sampai atas kujulurkan lidahku menjilati belahan kewanitaannya. Begitu seterusnya naik turun sambil melihat reaksi Bu Tari.“Akkhh…, Akkhh…, Akkhh…, Engghh” Bu Tari terus merintih nikmat, tangannya mencari tangan kananku, meremas-remas jariku lalu membawanya ke payudaranya. Aku tahu dia ingin yang meremas payudaranya adalah tanganku. Begitu kulakukan terus, tangan kananku meremas payudaranya, mulutku menjilati dan menghisap-hisap vaginanya, tangan kiriku mengelus-elus pinggang, paha sampai ke betisnya yang putih mulus dan halus itu.“Akkhh…, sudah Sayang…, sudah…, ayo sekarang Sayang Ibu sudah tak tahan akkhh…, masukan sayang, masukan” Desah Bu Tari mengerang meraih kepalaku agar menghentikan jilatan di vaginanya dan minta disetubuhi.
Tanpa harus mengulangi lagi permintaannya langsung saja aku merangkak naik, menindih tubuh Bu Tari. Bu Tari melebarkan pahanya. Penisku menuju vaginanya. Beberapa kali kucoba, memasukan, beberapa kali pula gagal. Aku tak tahu mana yang pas lubangnya, mana yang hanya belahan vagina. Tapi tangan Bu Tari segera membantu, memegang penisku, membimbing ke depan lubang vaginanya lalu berkata
“Ya itu Sayang…, disitu…, tekan Sayang tekan…, disitu…, aakkhh…, ayo Sayang…, Ibu tak tahan…, oo.., akkhh” Ibu Tari merintih ketika penisku yang kutekan masuk seluruhnya ke lubang vaginanya.


Sejenak tubuhku kaku, aku diam saja, aku nervous. Batang penisku rasanya terjepit oleh dinding vagina Bu Tari yang seperti berdenyut-denyut dan menghisap-hisap. Nikmat luar biasa. Ini yang pertama.
Bu Tari menggoyang-goyangkan pinggulnya, setengah berputar-putar dan kadang naik turun. Penisku yang tertancap di vaginanya yang setengah becek dibuat seperti mainan yang membuatnya nikmat tak karuan.
“Ayo Sayang…, ayo…, bareng-bareng Sayang… Ibu mau keluar Sayang…, ayo…, ayo..” Rintih Bu Tari dengan mata setengah terpejam dan mulutnya yang terus terbuka mendesah-desah dan kian kuat menggoyang-goyangkan pinggulnya.


Akupun terus mengimbanginya sampai tiba-tiba Bu Tari seperti terdiam dan kedua tangannya merangkul leherku kuat-kuat dan dari mulutnya keluar desahan panjang.
“Aakkhh…, Oukhh…, Engkhh…”, Bersamaan dengan rintih kepuasannya, denyutan dan hisapan vagina Bu Tari makin kuat dan nikmat rasanya.
Akupun sudah tak tahan lagi dan ingin agar spermaku segera keluar. Karenanya kunaik-turunkan penisku, kuputar-putar dan kunaik-turunkan terus hingga akhirnya croott…, croott…, crroot. “Akhh…” Bersamaan dengan muncratnya spermaku di vaginanya, kembali Bu Tari mendesah nikmat. Napasku memburu, aku lemas sekali rasanya. Sementara Bu Tari tetap menggoyang-goyangkan pinggulnya dengan pelan dan tangannya mengelus-elus rambutku.
Beberapa saat kubiarkan tubuhku menindih tubuh bugil Bu Tari tanpa tangan atau dengkulku menahan beban badanku. Penisku tetap menancap di vaginanya. Ketika ingin kucabut Bu Tari melarangnya.


“Jangan sayang, jangan dicabut dulu, biarkan ibu memiliki dan menikmatinya, peluk…, peluk…, tetap tindihlah Ibu sayang. Ibu puas, Kamu puas sayang hemm?.., nikmat sayang?..” Ucap Bu Tari sambil terus menciumiku.
Malam itu kami habiskan tidur sambil berpelukan di ranjang yang biasa Ibu Tari tidur dan bersetubuh dengan suaminya. Tapi sejak malam itu dan disetiap kesempatan yang ada kusetubuhi pula Bu Tari di ranjang yang sama. Aku tak perlu lagi hanya beronani dengan membayangkan bersetubuh dengannya, begitupula Bu Tari tak perlu lagi hanya sekedar membayangkan bersetubuh denganku jika ia melayani suaminya.
Kami baru bersetubuh di hotel jika salah satu dari kami sudah tak tahan lagi sementara kesempatan di rumah tak ada. Atau ketika obsesiku kumat untuk bersetubuh dengan Bu Tari dalam pakaian kebaya, kain jarik dan berkonde. Ini terkadang aneh, berlama-lama Bu Tari ke salon rias, begitu selesai langsung ke Hotel dan kuacak-acak sampai berantakan. (Aneh ya?!).
Sering pula jika keadaan memungkinkan, Bu Tari suka menyelinap ke kamarku untuk “fast sex”. Seks cepat dengan tetap masih berpakaian. Tandanya, Bu Tari masuk ke kamarku sudah tanpa celana dalam dan dipuncak nafsu. Ini sering terjadi jika Bu Tari sedang butuh tapi Pak Bagong tak acuh terus tidur.


Tentang vagina Bu Tari, mungkin itu yang disebut vagina empot ayam. Vagina yang tak pernah kutemui pada semua perempuan (adik-adik, Mbak-Mbak, tante-tante dan ibu-ibu rumah tangga yang muda maupun tua) yang pernah kutiduri, sampai hari ini sekalipun diumurku yang 37 tahun.


KEBIASAAN BURUK Aku punya sebuah kebiasaan sejak lama. Aku suka sekali bila tubuhku dipandangi dengan bebas. Mungkin karena aku terl...