Saya punya tetangga, sepasang suami istri yang kelihatan hidup
cukup bahagia. Punya rumah lumayan besar dan dua pembantu. Tapi ada yang kurang
dengan suami istri bernama Irawan dan Retno itu. Seorang anak. Padahal, mereka
bilang dengan saya sudah menikah lebih dari 15 tahun. Usia keduanya, sekitar 36
tahun. Cukup berumur. Tapi lantaran tidak punya anak, Retno sang istri yang
berwajah manis dan bertubuh sintal itu, tetap saja menarik. Bahkan sangat
menarik, sehingga bagi saya yang masih lajang meski sudah 30 tahun ini, wanita
itu punya magnit sensasi yang kadang menggetarkan. Aura sensual yang
merangsang.

Perasaan ini timbul sesudah kami mengobrol bertiga. Sang istri
yang berlesung pipit itu, kadang tertawa dengan nada suara yang entah bagaimana,
membuat saudara saya yang di dalam celana ini berdenyut-denyut. Sialan betul.
Kok itu malah tidak terjadi ketika pacar saya kadang memegang anu saya jika
boncengan sepeda motor.
Karena itu, secara iseng, suatu hari di depan suaminya sendiri, saya mengatakan, “Mbak Retno (begitu saya memanggilnya) punya bakat bagus bermain drama.”
Eh ternyata dimasa remajanya, wanita ini memang suka pentas.
Karena itu, secara iseng, suatu hari di depan suaminya sendiri, saya mengatakan, “Mbak Retno (begitu saya memanggilnya) punya bakat bagus bermain drama.”
Eh ternyata dimasa remajanya, wanita ini memang suka pentas.
Saya tadi sudah bilang, sejak kecil apalagi sekarang, amit-amit,
saya tidak pernah terpikir untuk jadi dukun. Namun lucunya, mungkin karena
sedang bersiasat untuk diam-diam kadang mencari cara menyanjung Mbak Retno,
yang jujur saja memang saya kagumi, saya sering membuat semacam ramalan plus
pemikiran-pemikiran yang cendrung futuristik mengenai tetangga saya ini. Misalnya,
saya katakan bahwa bentuk jari Mbak Retno menggambarkan dia sebagai wanita yang
mudah tersinggung, ekslusif, punya kemauan keras, tetapi gampang terseok oleh
orang-orang yang bermulut manis. Dia akan hidup bahagia jika menggeluti bisnis
mode atau busana. Sedang suaminya yang punya tahi lalat di leher, serta di
punggung tangan kanan, saya katakan tidak cocok bekerja di bidang percetakan
dan sering merasa dirinya menyimpan banyak penyakit. Dia nantinya akan menjadi
pemimpin di sebuah perusahaan properti. Lha hebatnya (asbun saya itu), ternyata mengena di hati
keduanya. Setidaknya, begitu awalnya yang saya ketahui. Sampai kemudian saya
sadar, itu boleh jadi bagian dari strategi yang mungkin juga disusun pasangan
yang sangat menyukai saya, karena mereka anggap menarik dan humoris ini.
Suatu sore, Mas Irawan bicara serius dengan saya. Entah dapat
bisikan dari mana, Si Suami yang sebenarnya ganteng tapi suka ketawa cekikikan
seperti Leak ini, menyampaikan sesuatu yang akhirnya membuat jantung saya
kontan bagai diguncang gempa.
“Dik Boby.., jangan tersinggung ya.. kalau Saya punya keyakinan, bahwa Adik ini punya kemampuan supernatural tersembunyi. Soalnya, apa yang Adik katakan tentang Saya maupun Dik Retno selalu saja tepat. Dan menurut Istri saya, Dik Boby memiliki pengaruh tersembunyi yang sangat kuat. Dik Boby ini punya kemampuan sebagai Dukun..?”
“Dukun..? Ya Tuhan..! Mas Irawan jangan main-main…” kata saya dengan terbelalak.
“Adik jangan pura-pura tidak tahu. Terus terang saja, Saya dan Istri saya perlu bantuan Adik. Khususnya Istri saya Ini, untuk masalah yang sedang dihadapi Istri saya sekarang. Kami sudah ke dokter tapi masih tetap juga gagal untuk memperoleh anak. Saya pikir dukun mungkin salah satu alternatif ketimbang tidak mengusahakan apa-apa. Siapa tahu Istri saya mendadak jadi subur.” Perkataan ini, sejenak menghentikan niat saya untuk mati-matian menyangkal dugaan konyolnya itu. Hubungan antara kata-kata dukun dengan istrinya itu, secara reflek membangkitkan pikiran kotor saya yang menarik, sangat menarik, sekaligus menggairahkan.
“Dik Boby.., jangan tersinggung ya.. kalau Saya punya keyakinan, bahwa Adik ini punya kemampuan supernatural tersembunyi. Soalnya, apa yang Adik katakan tentang Saya maupun Dik Retno selalu saja tepat. Dan menurut Istri saya, Dik Boby memiliki pengaruh tersembunyi yang sangat kuat. Dik Boby ini punya kemampuan sebagai Dukun..?”
“Dukun..? Ya Tuhan..! Mas Irawan jangan main-main…” kata saya dengan terbelalak.
“Adik jangan pura-pura tidak tahu. Terus terang saja, Saya dan Istri saya perlu bantuan Adik. Khususnya Istri saya Ini, untuk masalah yang sedang dihadapi Istri saya sekarang. Kami sudah ke dokter tapi masih tetap juga gagal untuk memperoleh anak. Saya pikir dukun mungkin salah satu alternatif ketimbang tidak mengusahakan apa-apa. Siapa tahu Istri saya mendadak jadi subur.” Perkataan ini, sejenak menghentikan niat saya untuk mati-matian menyangkal dugaan konyolnya itu. Hubungan antara kata-kata dukun dengan istrinya itu, secara reflek membangkitkan pikiran kotor saya yang menarik, sangat menarik, sekaligus menggairahkan.
“Maaf Dik Boby… Saya dan Dik Retno, entah bagaimana, sekarang ini punya
keyakinan, jika Adik mau memandikan Istri saya, maka Kami kemungkinan akan
memperoleh sebuah harapan baru. Ini agak konyol dan mungkin tidak nalar untuk
orang-orang sekelas Kita. Tapi pada saat Kita dihadapkan kepada jalan buntu,
kadang Kita juga dituntut untuk memikirkan cara lain yang agak aneh agar bisa
menemukan jalan lain yang sangat Kita butuhkan. Iya kan..?”. Rasanya itu tetap tidak nyambung. Tapi memandikan istrinya yang
sintal itu, wow… Ini membuat jantung saya mendadak bagai diguncang gempa
berskala tinggi.
“Maksud Mas Irawan.., Saya harus memandikan Mbak Retno..?”
“Kau memang malu jika ada Aku, Tidak. Tidak begitu. Kau nanti hanya berduaan dengan Dik Retno. Tak usah sungkan, Kita sudah seperti bersaudara. Dik Retno juga sudah setuju. Yang penting, keinginan Kami ini bisa Dik penuhi. Kami sangat berharap. Percayalah, Kita harus bisa saling membantu karena Dik Boby, Saya anggap sudah seperti saudara sendiri.”
“Seperti bersaudara..? Lalu Istrimu diminta dimandikan oleh Si Saudaramu yang sedang menyimpan pikiran kotor ini..? Edan betul nih orang. Belum tahu dia. Saya ini bukan Malaikat. Saya adalah mahluk yang penuh nafsu.” pikir saya.
“Kau memang malu jika ada Aku, Tidak. Tidak begitu. Kau nanti hanya berduaan dengan Dik Retno. Tak usah sungkan, Kita sudah seperti bersaudara. Dik Retno juga sudah setuju. Yang penting, keinginan Kami ini bisa Dik penuhi. Kami sangat berharap. Percayalah, Kita harus bisa saling membantu karena Dik Boby, Saya anggap sudah seperti saudara sendiri.”
“Seperti bersaudara..? Lalu Istrimu diminta dimandikan oleh Si Saudaramu yang sedang menyimpan pikiran kotor ini..? Edan betul nih orang. Belum tahu dia. Saya ini bukan Malaikat. Saya adalah mahluk yang penuh nafsu.” pikir saya.
Yah setelah berbasa-basi, bersilat lidah, dan saya bersikap sok
alim, akhirnya rencana bodoh-bodoh pintar alias
konyol dan seperti tidak masuk akal ini, disepakati akan dilaksanakan pada
malam Minggu nanti. Saya akan memandikan Retno Cyntia Arumdaning yang sintal
menggairahkan itu di dalam kamar mandi, tanpa kehadiran suaminya. Apa itu tidak
bikin celana saya kontan sesak, karena penghuninya menggeliat bangun dengan
garang..?
Seri VUSI: Sayalah Sang Dukun (2)Agar saya tidak kelihatan konyol,
karena datang ke rumah suami istri itu dengan celana yang menyiratkan
penghuninya lagi bangun secara kurang ajar, maka saya sengaja memakai celana
dalam agak ketat. Sehingga kalau Saudara Kecil saya
ini nanti terus saja berdiri, maka dari luar, tetap akan tampak seperti tidak
ada masalah apa-apa. Tenang, tentram. Meski ini kasus bagai api dalam sekam. Di
luar tenang, di dalam bergejolak.
Mas Irawan kemudian menyuruh saya dan Mbak Retno yang kelihatan
sangat malu, dan gugup, bahkan agak gemetar, masuk ke dalam kamar mandi. Sedang
Irawan sendiri, mengatakan akan menunggu di kamar tamu.
“Atau nanti Saya akan keluar sebentar untuk cari makanan kecil..,” ujarnya dengan wajah sungguh-sungguh.
Saya mencoba berbasa-basi dengan memaksanya ikut masuk ke dalam. Tapi lelaki itu secara tegas menolak. Jantung saya benar-benar berdebar-debar kencang dan penis saya sakit, karena seperti dipaksa tetap berada di dalam sebatang koteka, padahal dia lagi mekar-mekarnya.
“Atau nanti Saya akan keluar sebentar untuk cari makanan kecil..,” ujarnya dengan wajah sungguh-sungguh.
Saya mencoba berbasa-basi dengan memaksanya ikut masuk ke dalam. Tapi lelaki itu secara tegas menolak. Jantung saya benar-benar berdebar-debar kencang dan penis saya sakit, karena seperti dipaksa tetap berada di dalam sebatang koteka, padahal dia lagi mekar-mekarnya.
“Tapi Saya memandikan Mbak Retno tetap masih harus dengan pakaian
kan..?” tanya saya berpura-pura menolak jika wanita ini telanjang, padahal otak
kurang ajar saya bertentangan dengan itu.
“Saya pakai sarung…” kata wanita manis yang sepasang buah dada montoknya terkadang saya hayalkan sambil bermasturbasi ria itu, mewakili suaminya menjawab.
Saya memandangnya sambil tersenyum.
“Saya pakai sarung…” kata wanita manis yang sepasang buah dada montoknya terkadang saya hayalkan sambil bermasturbasi ria itu, mewakili suaminya menjawab.
Saya memandangnya sambil tersenyum.
Setelah kami masuk ke dalam kamar mandi, Irawan menutup pintu itu
dari luar.
“Saya percaya dengan Dik Boby, Saya sudah anggap Adik seperti saudara sendiri. Sekarang Saya mau ke pasar, beli makanan kecil untuk nanti. Kira-kira satu jam mungkin…” katanya.
“Bah gila betul orang itu. Ini nantinya bakal jadi apa..? Konyol betul saudara saya yang satu itu.” batinku.
“Apa Saya memandikan Mbak dengan pakaian begini..?” tanya saya kepada Mbak Retno yang terlihat terus berusaha menghindari tatapan saya karena malu.
“Terserah Mas saja. Tapi apa nanti tidak basah..?”
“Oh betul juga..,” kata saya sambil membuka baju dan celana panjang saya dengan nafas sesak serta tubuh bagai meriang panas karena nafsu yang meradang naik.
Untungnya, Mbak Retno memilih membelakangi saya, sehingga tidak melihat betapa bagian depan celana dalam ketat saya seperti menyembunyikan sebuah senter.
“Saya percaya dengan Dik Boby, Saya sudah anggap Adik seperti saudara sendiri. Sekarang Saya mau ke pasar, beli makanan kecil untuk nanti. Kira-kira satu jam mungkin…” katanya.
“Bah gila betul orang itu. Ini nantinya bakal jadi apa..? Konyol betul saudara saya yang satu itu.” batinku.
“Apa Saya memandikan Mbak dengan pakaian begini..?” tanya saya kepada Mbak Retno yang terlihat terus berusaha menghindari tatapan saya karena malu.
“Terserah Mas saja. Tapi apa nanti tidak basah..?”
“Oh betul juga..,” kata saya sambil membuka baju dan celana panjang saya dengan nafas sesak serta tubuh bagai meriang panas karena nafsu yang meradang naik.
Untungnya, Mbak Retno memilih membelakangi saya, sehingga tidak melihat betapa bagian depan celana dalam ketat saya seperti menyembunyikan sebuah senter.
Wanita sintal itu kemudian duduk di atas sebuah bangku kecil yang
tampaknya memang sudah disediakan di dalam WC yang cukup luas dan mewah itu.
Mbak Retno hanya mengenakan sarung yang dikenakan dari atas payudaranya yang
montok.
“Maaf kalau Saya agak gugup Mbak..?” kata saya dengan suara rada gemetar.
Mbak Retno mengangguk. Posisi duduknya, saya arahkan menghadap ke kaca besar di depan. “Saya minta Mbak memejamkan mata dan menghayati proses ini, sambil berdoa semoga apa yang Mbak inginkian tercapai..!” tambah saya sambil mengambil gayung di samping bak dan mulai menyiram tubuh sintal itu.
Baru sekarang saya bisa menyaksikannya secara dekat. Bau harum tubuhnya yang merangsang, membuat badan saya semakin panas dingin.
“Maaf kalau Saya agak gugup Mbak..?” kata saya dengan suara rada gemetar.
Mbak Retno mengangguk. Posisi duduknya, saya arahkan menghadap ke kaca besar di depan. “Saya minta Mbak memejamkan mata dan menghayati proses ini, sambil berdoa semoga apa yang Mbak inginkian tercapai..!” tambah saya sambil mengambil gayung di samping bak dan mulai menyiram tubuh sintal itu.
Baru sekarang saya bisa menyaksikannya secara dekat. Bau harum tubuhnya yang merangsang, membuat badan saya semakin panas dingin.
Siraman demi siraman saya lakukan, sehingga sekujur tubuh yang
menggairahkan itu benar-benar basah kuyup. Lalu saya mulai mengusap-usap
bahunya. Sentuhan tangan saya kelihatannya membuat Mbak Retno agak tersentak.
Dia kemudian menggeleng dan mengatakan tidak apa-apa, ketika saya minta maaf.
Matanya terus dipejamkan, sehingga saya bisa meyaksikan kondisinya yang luar
biasa menggairahkan.
Saya lupa, apakah mengusap dan memijat tubuh sintal ini juga
menjadi kesepakatan saya dengan Mas Irawan. Yang pasti, saya melakukannya.
Entah berapa menit, sampai kemudian sarung wanita itu terlepas. Mbak Retno
menutupi kedua buah dadanya yang montok itu, namun kemudian dia melengguh saat
tangan saya menyelusup dari belakang menggantikan tangan itu. Tubuhnya
bergetar.Saya tidak tahu, bagaimana persisnya perasaan wanita ini.
Dan saya
juga lupa memperhitungkan, apakah ada kemungkinannya dia menjerit memanggil
suaminya, jika ulah saya berlanjut semakin gila. Pokoknya otak saya sudah susah
dipakai, karena gairah yang dalam beberapa waktu terakhir ini, saya terus
lampiaskan dengan berswalayan sejak Irawan mengajukan permintaannya yang
membuat saya bagai dapat durian Bangkok runtuh ini.
Sekarang saya dalam posisi mendekap Mbak Retno dari belakang,
sambil meremas-remas buah dadanya yang basah dan licin, karena saya beri sabun.
“Saya ingin mempersiapkan payudara ini untuk menyambut kedatangan anak Mbak…”
bisik saya dengan konyol. Dan sama konyolnya, Mbak Retno mengangguk percaya.
“Selain Mas Irawan, juga ada yang meremas ini Mbak..?” bisik saya lagi.
“Selain Mas Irawan, juga ada yang meremas ini Mbak..?” bisik saya lagi.

Mbak Retno menggeleng. Saya menempelkan mulut saya di belakang telinga wanita yang berbau harum itu. Secara sengaja menghembuskan nafas di sana, membuat mata wanita ini semkin kuat dipejamkan, namun mulutnya terbuka menahan geli yang merangsang.
“Angkat kedua tangan Mbak ke atas, berpegang di rambut saya…”
Wanita itu menurut dan saya menyaksikan ketiaknya yang tanpa bulu, karena habis dicukur. Tangan saya pelan-pelan turun ke bawah. Wanita ini kelihatan meregang dan menekuk tubuhnya ke belakang, sehingga sepasang buah dadanya yang besar kian menonjol ke depan. Bukan main. Saya semakin menyadari, bahwa acara mandi dukun ini akan berubah total menjadi mandi kucing dan selanjutnya menjadi mandi pengantin lalu kawin anjing atau entah apa istilahnya.

Tangan kanan saya sekarang berada di dalam celana pendek Mbak
Retno. Mengusap, menggosok, meremas, lalu mengorek ke bagian dalamnya. Terutama
(seperti sudah kewajiban) mengait-ngait klitorisnya.
“Aaahhh…” Mbak Retno bagai terpekik.
Tangan kiri saya dengan giat mengusapi buah dada dan ketiaknya, sedang tangan kanan merangsang bagian bawah tiubuh wanita ini. Seluruh kemampuan dan pengalaman yang ada, saya kerahkan untuk membangkitkan voltase nafsu wanita ini setinggi-tingginya.
“Mbak mau ya..?” bisik saya.
Wanita itu tidak menyahut, meskipun saya mengetahui dengan yakin kalau dia sangat menginginkan acara ini berkembang lebih jauh. Tapi mungkin agar seolah tidak sampai merasa kehilangan harga diri (meski kalau mau diginiin di mana harga dirinya?), dia tidak menyahut. Saya kembali bertanya dan dia justru terpekik kecil saat jari tengah saya merasuk sangat dalam ke liang vaginanya. Nafasnya menderu kencang. Terengah-engah, bagai kuda beban menghela muatan yang sangat berat. Tangannya dengan kuat menarik rambut saya, membuat saya sekejap ingat dengan jambakan tangan Ibu saya di masa kecil, ketika suatu hari ketahuan nakal mengintip kakak Ipar saya yang lagi bersetubuh dari balik lubang kunci. Perangsangan itu berlangsung cukup lama. Tak apa. Suaminya kan lagi tidak ada di rumah ini.
“Aaahhh…” Mbak Retno bagai terpekik.
Tangan kiri saya dengan giat mengusapi buah dada dan ketiaknya, sedang tangan kanan merangsang bagian bawah tiubuh wanita ini. Seluruh kemampuan dan pengalaman yang ada, saya kerahkan untuk membangkitkan voltase nafsu wanita ini setinggi-tingginya.
“Mbak mau ya..?” bisik saya.
Wanita itu tidak menyahut, meskipun saya mengetahui dengan yakin kalau dia sangat menginginkan acara ini berkembang lebih jauh. Tapi mungkin agar seolah tidak sampai merasa kehilangan harga diri (meski kalau mau diginiin di mana harga dirinya?), dia tidak menyahut. Saya kembali bertanya dan dia justru terpekik kecil saat jari tengah saya merasuk sangat dalam ke liang vaginanya. Nafasnya menderu kencang. Terengah-engah, bagai kuda beban menghela muatan yang sangat berat. Tangannya dengan kuat menarik rambut saya, membuat saya sekejap ingat dengan jambakan tangan Ibu saya di masa kecil, ketika suatu hari ketahuan nakal mengintip kakak Ipar saya yang lagi bersetubuh dari balik lubang kunci. Perangsangan itu berlangsung cukup lama. Tak apa. Suaminya kan lagi tidak ada di rumah ini.
Saya berusaha mengangkat tubuh Mbak Retno agar berdiri. Dia
melakukan itu dengan agak susah payah. Jelas, wanita ini menjadi lemah karena
nafsu yang menggelora. Sekarang dia benar-benar dalam kondisi polos ketika
sarung dan celana dalamnya sudah saya lepaskan di lantai. Dia menatap saya
lewat kaca di depan dengan mata sayu. Dia juga pasti merasakan penis saya yang tegang
dari balik celana saya yang menempel ketat di pantatnya. Saya mengangkat tangan
kanannya ke atas dan memintanya berpegangan di rambut saya, sedang tangannya
yang lain saya biarkan bebas.
Pelan-pelan, kedua tangan saya menyusuri kedua buah dadanya yang
montok.
“Saya tak pernah menyaksikan payudara yang begini merangsang…” gombal saya.
Wanita ini menggigil ketika kedua ujung puitingnya saya pelintir dengan lembut.
“Mbak mau main dengan Saya..?”
Mbak Retno tidak menyahut. Sebagai jawaban, sebelah tangannya secara pelan merayap ke belakang. Saya sadar, apa yang dicarinya. Selesai sudah. Sekarang tidak perlu ada kepura-puraan lagi. Tidak perlu ada acara mandi-mandian lagi. Saya segera menanggalkan celana pendek saya. Saudara kecil kebanggaan saya yang sekeras gada Hansip dengan kepalanya yang lebar berkilat itu segera mendongak muncul dengan lega melihat dunia. Mbak Retno segera menangkapnya. Meremas gemetar.
“Saya tak pernah menyaksikan payudara yang begini merangsang…” gombal saya.
Wanita ini menggigil ketika kedua ujung puitingnya saya pelintir dengan lembut.
“Mbak mau main dengan Saya..?”
Mbak Retno tidak menyahut. Sebagai jawaban, sebelah tangannya secara pelan merayap ke belakang. Saya sadar, apa yang dicarinya. Selesai sudah. Sekarang tidak perlu ada kepura-puraan lagi. Tidak perlu ada acara mandi-mandian lagi. Saya segera menanggalkan celana pendek saya. Saudara kecil kebanggaan saya yang sekeras gada Hansip dengan kepalanya yang lebar berkilat itu segera mendongak muncul dengan lega melihat dunia. Mbak Retno segera menangkapnya. Meremas gemetar.
“Begini besar Mas..?” bisiknya tanpa sadar.

“Akan menjadi lebih besar jika masuk ke dalam punyamu…” jawab saya tidak kalah porno.
Saya segera membalikkan tubuh wanita itu, lalu mencium bibirnya. Tangan saya dengan sibuk meremas buah dada dan vaginanya, sementara punya saya diremas dan kadang dikocok-kocoknya. Saya mengangkat tubuh wanita sintal itu dan mendudukkannya ke bibir meja toilet. Sebelah kakinya, saya pijakkan ke bangku kecil yang didudukinya tadi, sedang kaki yang lainnya menginjak bak mandi.
Saya berlutut dan mulai melakukan salah satu kegiatan seks yang
saya sukai, cunnalingus. Menjilat, mengigigit-gigit kecil, mengisap serta
memutar-mutarkan lidah dan berusaha dimasukkan sedalam-dalamnya ke liang vagina
wanita ini yang tidak berbau, kecuali semerbak oleh aroma merangsang yang
ditimbulkan dari cairan pembersih wanita yang mungkin tadi dipakainya.
“Maaasss…” Mbak Retno merintih.
Berpegangan di meja toilet itu dengan tubuh gemetar dan tersentak-sentak setiap lidah saya merangsang bagian paling peka di vaginanya. Hanya sekitar dua menit, tiba-tiba wanita ini bergerak gelisah. Pahanya mengangkang semakin lebar. Tangan saya cepat menangkap buah dadanya, lalu memeras lebih keras serta menghisap klitorisnya dengan gerakan cepat. Itu pola saya jika mengetahui lawan saya bakal orgasme.
“Maaasss…” Mbak Retno merintih.
Berpegangan di meja toilet itu dengan tubuh gemetar dan tersentak-sentak setiap lidah saya merangsang bagian paling peka di vaginanya. Hanya sekitar dua menit, tiba-tiba wanita ini bergerak gelisah. Pahanya mengangkang semakin lebar. Tangan saya cepat menangkap buah dadanya, lalu memeras lebih keras serta menghisap klitorisnya dengan gerakan cepat. Itu pola saya jika mengetahui lawan saya bakal orgasme.
“Maaasss.., Maaasss.., Mas Boby.., aku.. aku, ooohhh… ooohhh…”
desahnya tak karuan.
Mbak Retno tiba-tiba menggeliat dengan keras, sehingga saya perlu tenaga ekstra untuk menahan gerakan liar tubuhnya. Kepalanya beberapa kali terlempar ke belakang lalu dengan kasar vaginanya disorongkan ke depan untuk memaksa lidah saya masuk lebih dalam. Gelombang orgasme itu berlangsung sekitar sepuluh detik. Saya cepat merangkul tubuh wanita yang sintal itu. Mbak Retno menyembunyikan wajahnya di balik telinga saya. Saya sendiri tidak tahu bagaimana perasaannya. Yang jelas, sekarang saya akan memulai permainan sesungguhnya.
Mbak Retno tiba-tiba menggeliat dengan keras, sehingga saya perlu tenaga ekstra untuk menahan gerakan liar tubuhnya. Kepalanya beberapa kali terlempar ke belakang lalu dengan kasar vaginanya disorongkan ke depan untuk memaksa lidah saya masuk lebih dalam. Gelombang orgasme itu berlangsung sekitar sepuluh detik. Saya cepat merangkul tubuh wanita yang sintal itu. Mbak Retno menyembunyikan wajahnya di balik telinga saya. Saya sendiri tidak tahu bagaimana perasaannya. Yang jelas, sekarang saya akan memulai permainan sesungguhnya.
Wajahnya saya tatap dengan mesra. Setelah memuji kecantikannya,
saya mulai menciumi bibirnya, lalu lehernya. Kemudian menyusur turun ke buah
dadanya yang tadi telah saya siram dengan air untuk menghilangkan busa sabun
yang melengket disana. Wanita ini tiba-tiba mendorong tubuh saya. Meminta saya
duduk di meja toilet, lalu menciumi penis saya yang sudah hampir mencapai tingkat
kekerasan tertingginya.

Wanita ini benar-benar ahli dalam hal mengisap penis lelaki. Dan
setiap saya mengerang menahan nikmat, dia juga ikut mengerang, mungkin karena
sangat terangsang mendengar erangan nikmat saya. Dia memasukkan kepala penis
saya ke dalam mulutnya. Tidak ada gerakan kepalanya yang turun naik, yang ada
hanyalah sedotan yang dia lakukan secara demikian ahli, sehingga saya merasakan
gabungan berbagai rasa nikmat yang menggeletar sampai ke ubun-ubun. Saya
menggigil dan membungkuk untuk menahan sensasi luar biasa itu. Berjuang untuk
tidak sampai ambrol. Malu lah awak yang sudah dianggap dukun ini, kalau jadi
Edy Tansil yang tidak sabar untuk keluar, padahal urusan di penjara belum lagi
selesai.
Saya biarkan wanita itu merangsang penis saya. Jilatannya
pelan-pelan menurun ke bawah, terus ke bawah seraya tangannya menarik kemudian
mengangkat sebelah paha saya ke atas. Itu membuat saya akhirnya membungkuk di
depan toilet, saya membelakanginya.

Astaga! Wanita itu mulai menjilati anus
saya dengan sangat ahli. Saya segera berbalik dan ganti memposisikan dirinya
seperti itu. Sekarang jilatan saya menggilas seluruh permukaan punggungnya
sebelum turun ke pantat. Mbak Retno membentangkan kedua belah kakinya serta
mengangkat pinggulnya lebih tinggi ke atas. Posisi itu membuat anusnya terbuka.
Saya segera menjilatinya dengan rakus.

“Aaahhh…” Wanita itu merintih.
Pinggulnya semakin tinggi dinaikkan dan sasaran saya berganti ke vaginanya yang
merekah merah. “Mas Boby.., cepat masukkan.., masukkan Mas… Ayo..!” Dia menggeliat-geliat
tidak sabar. Tanpa diminta dua kali, penis saya yang memang sudah tidak sabar, segera saya
arahkan ke bibir vaginanya. Begitu saya tekan, dia menjerit karena nikmat.
Kemudian semuanya saya benamkan sekaligus.
“Maaasss.., kenapa begini enak..? Punya Mas enak sekali. Betul Mas. Ini enak sekali. Ayo Mas cepat masukkan lebih dalam lagi..!”
Penisku kutekan lebih dalam lagi. Mbak Retno berpegangan dengan kuat di toilet. Pinggulnya yang besar itu kuremas dengan kasar, lalu tembakan gencar penisku mulai berlangsung. Mata Mbak Retno terbeliak. Dia menatapku dari depan cermin. Aku kian bersemangat memompa.
“Maaasss.., kenapa begini enak..? Punya Mas enak sekali. Betul Mas. Ini enak sekali. Ayo Mas cepat masukkan lebih dalam lagi..!”
Penisku kutekan lebih dalam lagi. Mbak Retno berpegangan dengan kuat di toilet. Pinggulnya yang besar itu kuremas dengan kasar, lalu tembakan gencar penisku mulai berlangsung. Mata Mbak Retno terbeliak. Dia menatapku dari depan cermin. Aku kian bersemangat memompa.
“Aduh Mas, enaknya… Enak sekali Mas Boby…”

“Bagaimana dengan Mas Irawan..?” tanyaku dengan nafas memburu.
“Punya Mas lebih enak lagi… Aku tidak tahan.., Punya Mas mengaduk-aduk punyaku di dalam. Dalam sekali Mas Aku keenakan..,” dia mencerocos dengan kalimat porno itu secara tidak sadar. Hal ini membuatku tambah bersemangat memacu. Mbak Retno semakin tinggi mengangkat pinggulnya. Bagian dalam vaginanya terus berdenyut-denyut dan semakin berkontraksi menangkap penisku.
Mbak Retno tiba-tiba menjerit dengan tubuh mengejang. Dia kembali
orgasme. Saya tidak menghentikan gerakan dan terus memompanya. Kemudian saya
membalikkan tubuhnya, lalu mendudukkannya di atas paha saya yang sudah terlebih
dahulu duduk di atas kursi kecil itu. Dengan tergesa-gesa, penisku kumasukkan
ke dalam vaginanya. Sekarang dia yang saya gerakkan secara ritmis mundur-maju.
Bibir kucium dan kedua buah dadanya kuremas penuh nafsu. Gerakannya semakin
lama semakin cepat. Gairahnya kembali bangkit. Kali ini dia sendiri yang secara
bersemangat membuat gerakan. Kadang-kadang dia mengambil posisi yang membuat
penisku masuk sangat dalam ke dasar mulut rahimnya. Mulutnya langsung ternganga
antara menahan rasa agak nyeri dan nikmat yang menggila.

“Aku sudah mau keluar Mbak..!” kataku dengan nafas memburu.
“Aku juga Dik Boby… Aku juga… Ayo, sekarang Mbak hitung, Mbak hitung sampai sepuluh..!”
Dia berkata dengan mata melotot serta terengah-engah. Hitungan itu segera dilakukannya. Saya mengatur tempo antar bilangan itu dengan titik orgasme saya. Dan tepat pada hitungan ke delapan, gerakan Mbak Retno berubah semakin liar dan gila. Sangat cepat dan kasar. Kami saling berpagut berciuman, saling menggeram. Lalu merasakan nikmat luar biasa itu datang bagai gemuruh gelombang yang saling beriringan. Mendebur menghantam serta menghanyutkan. Usai sudah.
“Aku juga Dik Boby… Aku juga… Ayo, sekarang Mbak hitung, Mbak hitung sampai sepuluh..!”
Dia berkata dengan mata melotot serta terengah-engah. Hitungan itu segera dilakukannya. Saya mengatur tempo antar bilangan itu dengan titik orgasme saya. Dan tepat pada hitungan ke delapan, gerakan Mbak Retno berubah semakin liar dan gila. Sangat cepat dan kasar. Kami saling berpagut berciuman, saling menggeram. Lalu merasakan nikmat luar biasa itu datang bagai gemuruh gelombang yang saling beriringan. Mendebur menghantam serta menghanyutkan. Usai sudah.

“Saya tidak memandikan Mbak..,” bisikku kemudian.
Mbak Retno tertawa kecil, “Mas Irawan juga tidak akan tahu. Kita ngomong aja tak terjadi apa-apa. Dik Boby harus bersikap wajar..!” pesannya.
“Ya… Kita harus saling bersandiwara”.

Beberapa hari setelah peristiwa itu, saya semakin sadar bahwa
sandiwara itu hanya prilaku bodoh. Nonsenlah kalau Mas Irawan tidak tahu apa yang akan
terjadi antara seorang wanita bahenol yang hanya mengenakan sarung, dengan
pemuda lajang, di dalam sebuah kamar mandi berduaan. Apa lagi si pemuda
diijinkan menyentuh tubuh si wanita. Saya kira, keyakinannya tentang masalah
dukun itu hanyalah siasat belaka. Mas Irawan kemungkinan memang mandul, tetapi
ingin punya anak, meski itu dari bibit atau sperma orang lain. Dan orang yang
dipilih itu adalah saya. Lalu saya sendiri, menyambut kesempatan itu dengan
antusias, meski tidak soal harus dianggap dukun. Kalau jadi Dukun yang
keenakan, bagi saya itu sih tidak jadi soal.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar