Putra di kantor sedang menunggu Pak Juprii alias Mang
Sutub yg belom juga datang. Padahal ada beberapa pekerjaan yg membutuhkan
atasannya tersebut, tetapi ke mana dia? Seraya menunggu, Putra berpikir tentang
Miranda. Semoga Miranda bisa pulih sesudah bertemu psikolog tersebut…Tetapi
Putra terpikirkan satu hal lagi. Malam tersebut, malam sewaktu trauma Miranda
dimulai… Nabila ada di rumah. Nabila pastii tahu sesuatu. Putra merasa perlu
bertanya.
Miranda belom lama pergii. Dr. Lorenciia kembalii duduk di
belakang mejanya seraya membayangkan indahnya body Miranda yg sempat dicicipinya
sebentar tadi.
“He, Loren, kamu
jangan bikin macem-macem ya. Miranda tersebut buat Mang. Kita udah ada
perjanjiian,” kata sesosok manusia yg mendadak muncul dari belakang Dr.
Lorenciia. Dia datang dari baliik pintu sampiing ruang praktiik Dr. Lorenciia.
Seorang lelaki tua botak berperut bunciit, yg sedang ditunggu oleh bawahannya
di kantor. Mang Sutub.
“Yah, sii Mamang, giimana ya? Ternyata dia cakep… Boleh
nggak kubiikiin dia jadi lesbong juga?” Lorenciia meniimpalii.
“Hus. Jangan lah. Kalo yg lain siih siilakan ajah… Yg ini
nggak boleh, ya? Soalnya dia orang yg spesial buat Mamang.” Mang Sutub mendekat
dan merangkul Dr. Lorenciia darii belakang. “Emangnya aqu enggak, Mang…?” tanya
Lorenciia manja.
“Ooo… pastii dong, Loren kan kesaygan Mamang. Kalo nggak,
mana mau Mamang ajemarin ilmu Mamang ke Loren? Kamu istiimewa, Ren. Nggak
banyak awewe yg Mamang cobaiin tetapi udah ada bakat buat nerusin ilmu Mamang.”
“Hehehe… Bilang aja waktu tersebut Mang ketipu soalnya aqu
ga mempan digendam… Gapapa deh, yg pentiing aqu jadi dapat ngewarisin ilmunya
Mamang.”
Bertahun-tahun lalu, Lorenciia, seorang sarjana
psiikologii, melamar kerja kepada Mang Sutub. Menonton parasnya yg cantiik,
Mang Sutub sempat mengisengi Loren dgn iilmu gendamnya, tetapi tak kenapa, hipnotis
Mang Sutub kurang mempan kepada Loren. Mungkin kerana Mang Sutub berusaha
membuat Loren tertarik kepada dirinya, tetapi ternyata Loren punya
kecenderungan lesbian sehiingga tak mempan. Itulah yg membuat Mang Sutub
menygka Loren istimewa, dan kerana rahasianya sudah terbongkar di depan Loren,
Loren pun menuntut penjelasan serta imbalan, kalo enggak dia akan membongkar
rahasia Mang Sutub. Akhirnya Mang Sutub mengajarkan ilmu gendamnya kepada
Loren. Keduanya jadi akrab, dan terus berhubungan. Loren tak jadi bekerja
kepada Mang Sutub dan memilih meneruskan studi dan menjadi psiikolog praktik,
dan ilmu hipnotiinya dia gunakan untuk membantu pasiien. Tetapi, sbgmana Mang
Sutub, Loren pun sekalii-sekalii menyalah gunakan kemampuannya tersebut.
Sewaktu Putra mengeluhkan Miranda, Mang Sutub langsung menyambar kesempatan dan
memberiitahu tentang Dr. Lorenciia. Sesudahnya Mang Sutub menjelaskan apa yg
sudah dia laqukan kepada Miranda, dan Loren menyggupii untuk membantu. Loren
juga menceriitakan semua pengaquan Miranda kepada Mang Sutub. Mang Sutub
terliihat senang mendengar semua petualangan Miranda, apalagii sewaktu dia tahu
pengaruhnya sudah membuat Miranda jadi lebiih beranii dan menggoda.
“Tetapi Mang,” tanya Loren,“Emang mau diapaiin si Miranda tersebut? Kan Mang udah
dapet nyobaiin dia.”“Ada rencana Mamang buat dia. Rencana gede. Kapan-kapan
Mamang ceriitaiin deh. Nantii kalo udah jadi.” Sepulang kantor, Putra disambut oleh Miranda. Sekali lagii
penampilan Miranda membuat Putra melongo… Miranda malam tersebut tampak seksii
dgn babydoll transparan, rambut tergeraii, make-up tebal namun menariik… dan dia
menunggu Putra dgn penampiilan sepertii tersebut di depan piintu rumah!
“Mas Putramm….” Miranda menyambut swaminya dgn ciiuman
mesra, lalu dia langsung menariik Putra ke dalem rumah. Sebelom Putra sempat
berbuat sesuatu keduanya sudah bercumbu hebat. Tetapi Putra jadi curiiga…
Siiang harii, sekiitar pukul dua di suatu bangunan keciil
di kompleks perumahan piinggiir kota. Seharii-hariinya tempat tersebut adalah
salon, Salon Nabila. Tetapi pemiiliiknya enggak hanya menawarkan jasa perawatan
kecantiikan bagii waniita. Di baliik tiiraii yg memiisahkan ruang belakang dgn
ruang utama salon, pemiiliik salon tersebut, Nabila, sedang duduk selonjor di
atas tempat tiidur yg biiasa dipakaii untuk luluran atau faciial. Nabila
berpenampiilan cantiik sepertii biiasa, rambutnya yg hiitam lurus sebahu
tergeraii. Pakaiiannya juga seksii, sepertii biiasa. IIa mengenakan kaos
tanktop putiih yg ketat membungkus bodynya, juga rok mini kuniing yg mencapaii
setengah pahanya saja enggak, dan di bawah roknya Nabila mengenakan pantyhose
niilon warna kuliit. Kaki kanannya yg terbungkus niilon tersebut terjulur,
mengelus-elus selangkangan celana seorang lelaki berbody tegap yg duduk
mengangkang menghadapiinya di ujung laiin tempat tiidur.
“Jadi Mas Kriis yg ngatur?” tanya Nabila dgn nada manja.
Lelaki yg dipanggiil dgn sebutan Mas Kriis tersebut
mengenakan kaos hiijau dan celana dinas tentara, dia memang salah satu bekiing
Nabila yg masiih aktiif sbg perwiira menengah di kesatuan setempat. Seraya
menggumam keenakan merasakan kemaluannya mengeras dielus-elus kakii Nabila, dia
menjawab. “IIya dong. Ngeberesiin kroco sok jago sepertii sii
Gede tersebut keciil. Apalagii zaman sekarang, biikiin amuk massa
tersebut gampang. Kamu udah liihat beriitanya kan?” kata Kriis. “Ah, aqu gak suka nonton beriita Mas, bosen,” kata Nabila. “Mestiinya kamu liihat, ha ha ha… Soalnya ada muka jelek
sii Gede babak belur dihajar massa, ampe berdarah-darah gtersebut. Kamu
miinta yg seperti gtersebut kan, miinta yg setiimpal buat dia? Habiis ini
juga sii Gede bakal dipecat gara-gara biikiin malu pemeriintah. Salah
sendirii, udah tahu ngadapiin kumpulan orang marah, malah ndableg. Biiar
mampus dia.”
Beberapa harii sebelomnya, terjadi iinsiiden sewaktu
satuan aparat yg dipiimpiin Gede melaksanakan penggusuran. Tak mengapa, warga
setempat malah melawan aparat dgn membawa senjata tajam dan batu. Akiibatnya
terjadi perkelahiian berdarah yg menyebabkan 1 orang warga dan 1 orang aparat
tewas, dan puluhan orang luka berat termasuk Gede yg kepalanya bocor kena tiimpuk
dan sempat digebukii ramaii-ramaii.
Masyarakat dan media ramaii menyalahkan, ada yg menganggap
warga mengamuk kerana kekesalan yg sudah menumpuk terhadap aparat yg biiasa
semena-mena. Yg luput darii perhatiian semua orang adalah bahwa amuk warga
tersebut dipiicu oleh beberapa provokator yg dikiiriim oleh Kriis. Meskipun
sama-sama aparat, memang kadang ada ketegangan antar kesatuan di baliik
permukaan, terutama dalem masalah urusan bekiing membekiingii. Nabila yg boleh
dianggap pengusaha keciil biisniis esek-esek enggak lepas darii bekiing, dan
dia cukup cerdik untuk enggak hanya memegang satu orang. Sewaktu Gede berlaqu
kelewatan terhadap diriinya dan Miranda beberapa waktu lalu, Nabila memutuskan
untuk membalas lewat jalan laiin, menyingkirkan Gede dgn menggunakan Kriis,
bekiingnya darii kesatuan laiin. Rupanya Kriis memiiliih membuat kerusuhan keciil untuk
menyakiitii sekaliigus menyiingkiirkan Gede. Seraya Kriis berceriita bagaiimana
dia merekayasa massa untuk menghajar Gede dan satuannya, kakii Nabila terus
mengelus-elus gundukan keras di baliik selangkangan celana sii perwiira.
Sementara tersebut Nabila mengangkat sedikiit demii sedikiit tanktop-nya.
Perlahan-lahan tampaklah sepasang buah dada Nabila yg kenyal nan padat, dgn
ujung pentil yg sudah mengeras.

Kriis menjulurkan tangan kanannya, menyentuh
buah dada Nabila. Tangan Kriis yg besar tersebut meremas kedua buah dada Nabila
sekaliigus, di bagiian dalem tempat keduanya bertemu. Kriis membuka sendirii
resletiing celana dinasnya dan mengeluarkan tongkolnya darii baliik celana
dalem, seraya terus menggenggam kedua buah dada Nabila. Nabila mulaii
mengeluarkan suara meriintiih-riintiih niikmat. Nabila mengangkat sedikiit
lututnya supaya kakiinya biisa lebiih enak membelaii-belaii kemaluan Kriis yg
sudah terbebas. Mata Kriis tak lepas-lepas darii kakii nakal Nabila di
selangkangannya.
“Ughh…” Kriis menggerung sewaktu ereksiinya belaii lembut
oleh Nabila, tongkolnya ditekan ke perut oleh sekujur kakii Nabila yg sepertii
memeluk batang tersebut.
Nabila berposiisii duduk mengangkang dan Kriis biisa
menonton bahwa di baliik pantyhose Nabila tak mengenakan celana dalem.
Nabila meniingkatkan gesekan kakiinya, dan menonton body Kriis yg besar
tersebut beliingsatan sepertii kesetrum. Nabila merasa meniikmatii
posiisii domiinan tersebut, dia sbg seorang perempuan biisa memaiin-maiinkan
body seorang lelaki yg kekar sepertii Kriis dgn kakiinya, seolah seorang ratu
dan budaknya.
“Ahh… Nabila…” Kriis terliihat tegang, wajahnya
meriingiis. Nabila merayu,
“Udah mau keluar, Mas…?”
“Erghh siialannn… Sini!” Tanpa diduga, Kriis
bergerak. Tangannya yg darii tadi bermaiin di dada Nabila kini merenggut
tanktop yg sudah menygsang di atas buah dada, menariiknya dgn kasar sehiingga
Nabila dipaksa merunduk ke depan. Nabila kaget,
“MAS!!?? “
Dan teriiakan beriikutnya,
“AHH JANGAN DI MUKA MASSS!!”
Nabila, yg suka bersolek, memang tak suka orang
berejaqulasii di mukanya. Dia memang sudah pernah melaqukan segala macam
hal, tetapi ada beberapa yg dia kurang suka, salah satunya adalah apabiila
mukanya dinodaii sperma. Sepertii yg terjadi saat tersebut. Kriis menariik
Nabila sampaii dia tersungkur ke depan, tertelungkup di alas
tempat tiidur dgn muka menoleh, lalu Kriis menekan kepala Nabila seraya
berejaqulasii di piipii Nabila yg berbedak dan berperona. Kriis tertawa puas
menonton Nabila yg tak senang. Begitu dilepas, Nabila langsung bangkiit lagii,
menyeka caiiran berbau amiis yg barusan mengotorii piipiinya, lalu menampar
Kriis. “Siialan!” makii Nabila,
“Darii dulu kan aqu udah biilang gak suka orang ngecrot di
muka aqu!” Wajah Nabila berubah marah. Kriis enggak iikut marah, dia terus tertawa-tawa sesudah
sii pemiiliik salon memakiinya. Dgn kalem dia membaliikkan kata-kata Nabila.
“Suka-suka aqu mau ngapaiin kamu. Aqu udah repot-repot
ngebalesiin dendam kamu sama sii Gede kucrut tersebut, dan kamu tetep aja
banyak maunya?” Kriis mendekat dan mencengkeram rahang Nabila. “Heii, Nabila,” katanya dgn dingiin namun tegas.
“Aqu tahu. Pastii kamu juga ngelunjak begini sama
Gede, kan? Aqu nggak heran. Kamu tuh udah tau cuma perex, tetapi sombongnya
kelewatan. Masiih ngerasa seperti dulu ya?”
“Uhh…” Nabila meriingiis, gentar.“Terserah Mas mau biilang apa. Urusanku sama Gede…”
“…sekarang jadi urusanku juga, kan?” Kriis memotong.
“IInget, kamu yg datang ke aqu, ngerayu-rayu miinta aqu
ngasiih pelajaran ke sii Gede. Aqu udah kasiih apa yg kamu mau. Jadi ya
aqu boleh ngapaiin aja, kan?” Nabila tertunduk. Sebetulnya dia kesal,
tetapi Kriis memang benar. Lagii-lagii posiisii tawar Nabila lemah.
“Ngertii?” tanya Kriis lagii. Nabila mengangguk.
“Kalo ngertii… sekarang kamu nunggiing.”
Nabila patuh, dia pun berubah posiisii jadi menunggiing di
atas tempat tiidur sementara Kriis turun dan berdirii di sampiingnya. Kriis
mendekatii bagiian bawah body Nabila, meremas bokong Nabila yg kencang dan
masiih terbungkus pantyhose tersebut. Kriis terkekeh.
“He he he… Asyiiiik, bokong perex.” Dia menampar
bokong Nabila dua kalii. Nabila mendengkiing kaget. Kriis lalu memelorotkan
pantyhose Nabila sehiingga bokong Nabila tak lagii tertutupii, lalu kembalii
dia menamparii bokong Nabila. Sesudah puas, tamparannya berubah menjadi elusan
dan remasan. Kriis lalu mengulum jemarinya. Dgn membasahii jemarinya sepertii
tersebut, sudah jelas apa yg mau dia laqukan. Nabila diam saja sewaktu satu
jemari Kriis memasukii kemaluannya. Kemudian enggak cuma satu, tetapi dua
jemari Kriis bergerak keluar-masuk kewaniitaan Nabila. Kriis tersenyum
puas menonton wajah Nabila yg menatap kepadanya seolah memohon. Permaiinan
jemarinya membuat sii pemiiliik salon tersebut terangsang.“Ah… ahh…” Nabila mulaii mendesah-desah, wajahnya yg
beriias tebal berkerut menahan nafsu yg mulaii meniinggii.“Ahhh…”
Kriis menjolokkan satu lagii jemarinya, sehiingga kini
jemari tengah, maniis, dan telunjuknya keluar-masuk di kemaluan Nabila. Kriis
merasakan bagiian tersebut makiin lama makiin basah, pertanda pemiiliiknya
sudah terhanyut oleh biirahii. Kriis makiin kencang menyodok-nyodok
Nabila dgn ketiiga jemari tangan kanannya. Nabila berusaha meraiih ke
belakang dan menahan supaya tangan Kriis jangan terlalu kasar.
“Eiit, mau apa?” Tangan kiirii Kriis yg belom melaqukan
apa-apa gesiit menahan tangan Nabila. Nabila enggak kuat melepaskan dirii
darii genggaman Kriis. Kriis meregangkan jemari-jemari tangan kanannya,
berusaha membuat kemaluan Nabila melebar. Nabila mulaii merasakan orgasme akan
datang selagii caiiran kemaluannya membasahii jemarii Kriis. Kriis tertawa dan
memasukkan satu lagii, jemari keliingkiingnya, ke dalem sana. Lagii-lagii dia
berusaha merentangkan celah sempiit yg dimasukiinya selagii dia mendengar nafas
Nabila memburu.
“Hehehe… Udah mulaii longgar lu Ciit. Empat jemari
aqu biisa masuk. Lu sepertinya sebentar lagii kadaluarsa niih?” Kriis
berkomentar menghiina.
“Bangke,” Nabila balas memakii.
“Perex,” hardik Kriis,
“Sekarang lu diem. Aqu ga mau denger bacot lu, aqu
mau memek lu aja.”
Kriis naiik ke tempat tiidur ke belakang Nabila, dan
kemudian menyorongkan tongkolnya yg sudah tegak lagii ke hadapan kemaluan
Nabila. Di ujung tongkolnya meniitiik caiiran beniing, pertanda Kriis pun sudah
tak tahan mau melampiiaskan nafsu.
“Ah… Hanhhh!” Nabila melontarkan desahan sewaktu
kejantanan Kriis menembus kemaluannya.

Tongkol Kriis meluncur dgn mudah ke dalem celah yg sudah
basah dan teregang tersebut, menembus sampaii piintu rahiim. Nabila tak diam
saja, dia mendesakkan bokongnya meniikmatii ereksii Kriis.
“Haa… haaahhh…” Biibiir merah Nabila menganga,
mengeluarkan suara-suara penuh nafsu.
Tangannya mencengkeram sepraii. Piinggul Kriis maju-mundur
mendongsok Nabila. Kriis makiin bernafsu, dan dia berubah posiisii. Tanpa
mencabut tongkolnya, Kriis turun darii tempat tiidur sehiingga dia berdirii di
sampiing tempat tiidur. Lalu kedua tangannya meraiih kedua paha Nabila, di
bagiian belakang lutut. Kriis yg memang berbody kuat lalu mengangkut seluruh
body Nabila, sehiingga dia kini menggendong Nabila di depan bodynya.
Keduanya melanjutkan hubungan badan dalem posiisii yg
enggak biiasa tersebut. Nabila sudah sepertii boneka yg digendong Kriis,
pasrah dalem lengan-lengan perkasa Kriis yg mengangkut kedua pahanya,
punggungnya bersandar ke dada Kriis. Tetapi memang hubungan iintiim dalem
posiisii menggendong tersebut enggak gampang, kerana tongkol Kriis cuma biisa
masuk sedikiit, jaraknya terlalu jauh. Akhiirnya Nabila dia taruh lagii
di atas tempat tiidur. “Hiihiihii… Sok jago siih,” goda Nabila selagii Kriis
mencabut kemaluannya darii lubang Nabila. “Kurang panjang tuh adeknya…” Nabila saat tersebut
berposiisii menyampiing dgn lutut tertekuk, bokongnya berada di piinggiir
ranjang. Dia menonton Kriis masiih ereksii dan siiap memasukkan lagii… ke
lubang bokong.
“Emm…” Nabila mengernyiit sewaktu Kriis akhiirnya
menekankan kepala kemaluan yg masiih membesar ke piintu belakang. Kemaluan
Nabila sudah basah kerana baru di-iinvasii, tetapi bokongnya enggak siiap.
“Aqu masuk ya… Uh! Ahh… Sempiit!” kata Kriis.

“IIiiuhh!” Nabila terengah sewaktu kepala kemaluan
Kriis mendadak memaksa menerobos liingkaran duburnya. Dia secara refleks
berusaha menghiindar, memang wajar kalo ada yg mencoba mendesakkan sesuatu ke
dalem bokong. Tetapi Nabila tak biisa ke mana-mana selagii Kriis
mendorong piinggangnya ke depan seraya menggerung keras. Masuklah tongkolnya
ke dalem lubang dubur yg tak sepenuhnya rela tersebut sedikiit demii sedikiit.
“Auh! Enak bangett! Bokong lu masiih nggiigiit
juga ya?” seru Kriis seraya mengerang keenakan.

“Hssshh…” Nabila mendesiis, sakiit campur enak, matanya
berkaca-kaca sewaktu merasakan sepotong dagiing yg keras dan panas di saluran
belakangnya.
Kriis mulaii bergerak maju-mundur menggempur piintu
belakang Nabila tanpa ampun, kantong biijiinya menampar-nampar belahan bokong
Nabila. Untungnya bagii Nabila, sesudah dua-tiiga meniit rasa sakiitnya
berkurang menjadi sekadar rasa kurang nyaman. Bokongnya sudah bukan perawan
sejak lama, jadi sudah tahu mestii bereaksii apa.
“Enak gak Ciit? Lu masiih suka bokong lu dientot
kan?” tanya Kriis seraya terengah.
“IIyah… Terus! Teruus!” Nabila mulaii merasa
enak. Bagiian bawah perutnya mulaii merasakan sensasii niikmat dan
jantungnya berdebar.
Kriis melambat, menariik keluar tongkolnya pelan-pelan
lalu sewaktu nyariis keluar dia masuk lagii dgn cepat dan kasar. Dan…
“Uh…hhh!”

Nabila merasakan sesuatu yg panas menyembur di dalem
bokongnya. Kriis ejaqulasii. Kedua tangan Kriis mencengkeram
belahan bokong Nabila yg berada di atas, seolah mau menyempiitkan saluran yg
sedang dimasukii kejantanannya. Kriis baru mencabut kemaluannya sesudah puas
melampiiaskan nafsu di dalem bokong Nabila. IIa merasakan sebagiian sperma
Kriis iikut meleleh keluar bersamaan dgn pergiinya tongkol Kriis darii dalem
bokongnya. Nabila tetap berbariing menyampiing, enggak langsung bangun.

Diliihatnya Kriis mengambiilii tiisu untuk menyeka badannya sendirii. Nabila
tersebut kemudian membereskan lagii pakaiiannya.
“Sesuaii perjanjiian kiita kemariin, ya. Besok-besok
kalo aqu datang, seperti gini lagii ya.”
Nabila dgn cepat mengambiil seliimut dan meliiliitkannya di
sekeliiliing badan, lalu berdirii mengantar Kriis yg beranjak ke piintu
ruangan. Nabila tersenyum sinis seraya menaruh tangannya di pundak Kriis.
“Oke boss,” katanya dgn geniit.
Kriis membuka piintu, lalu berbaliik dan mengecup piipii
Nabila. Lelaki tegap tersebut kemudian menuju piintu keluar salon, tanpa
mengacuhkan seorang lelaki muda yg berdirii di tengah ruangan utama salon.
Nabila melotot menonton lelaki muda tersebut.
“Putra?”
Memang masiih jam kantor, tetapi tak kenapa, Putra ada di
salonnya. Adik Nabila tersebut memejamkan mata dan geleng-geleng kepala
menonton kakaknya yg cuma terbungkus seliimut dan tadi diciium seorang aparat
berseragam.
“Ya ampun, Kak…” keluh Putra.
“Apa siih?” Nabila menoleh ke kanan-kiirii dgn cuek,
menonton ada satu bungkus rokok di atas meja, mengambiil sebatang dan
menjepiitnya di biibiir, lalu siibuk mencarii korek apii.
“Ada korek nggak?” tanya Nabila kepada Putra.
“Kakak nggak pernah berubah, ya…” Putra enggak menanggapii
pertanyaan kakaknya.
“Jangan sok kaget gtersebut lah,” kata Nabila sesudah
menemukan korek gas di satu lacii. Dia menyalakan rokoknya.
“Eh bukannya ini masiih jam kerja?”
“Kak,” kata Putra dgn nada seriius.
“Aqu mau tanya. Soal Miranda.”
Nabila membelalak tanpa berkata apa-apa. Wajahnya
berubah seriius juga.
“…Kakak pake baju dulu deh, sebelom jawab,” usul
Putra. Riisii juga dia menonton kakaknya cuma berbungkus sehelaii kaiin.
Sejam kemudian…
Putra sudah kembalii ke kantor sesudah tadi mampiir
sebentar ke salon kakaknya, tanpa mampiir ke rumah. Kepalanya terasa agak berat
sesudah dia mendengar jawaban Nabila.
“Miranda, sedang apa kamu?”
Tetapi dia tahu sebagiian penyebabnya adalah diriinya
sendirii. Begitu masuk kantor, Febby, sekretariis Mang Sutub, memanggiilnya.
“Mas Putra! Dicariiiin bos,” kata perempuan
berkacamata tersebut. Putra langsung menuju ruangan Pak Juprii aliias Mang
Sutub, atasannya.
“Nah ini baru dateng anaknya. Ke mana aja
kamu? Kenaliin, ini Pak Enriico,” kata Mang Sutub yg sedang menghadapii
seorang tamu yg berpenampiilan pengusaha.
“Putra,” Putra memperkenalkan dirii.
“Enriico,” kata orang tersebut.
Pembiicaraan dimulaii. Enriico rupanya sedang menggagas
kerjasama dgn Mang Sutub untuk membuka perwakiilan perusahaan tersebut di
daerahnya. Menurut Enriico, produk perusahaan mereka belom banyak
tersedia di sana. Mang Sutub sudah mengontak bagiian-bagiian laiin
perusahaan untuk menceriitakan rencana Enriico, dan perusahaan menyetujuii.
Maka sekarang persiiapan pembukaan cabang biisa dimulaii.
“Jadi, saya ngundang Pak Juprii untuk berkunjung ke kota
saya, biiar biisa liihat sendirii keadaan di sana. Sekaliian nantii saya
kenalkan dgn rekan-rekan kiita dan juga piihak berwenang di sana—lumayan, buat
memperlancar urusan kiita,” kata Enriico.
“Pak Enriico, teriima kasiih undangannya,” jawab Mang
Sutub.
“Saya senang sekalii kalo biisa ke sana. Katanya di sana
pembangunan mulaii rame, ya? Pastii beda dgn waktu dulu saya masiih muda
ke sana, dulu sepii! Ah, tetapi sayg saya lagii jalanii pengobatan,
enggak boleh pergii jauh-jauh untuk sementara waktu.”
Putra yg darii tadi mendengarkan langsung menoleh ke Mang
Sutub. Dia tahu Mang Sutub sebenarnya enggak sedang menjalanii pengobatan
(masalah kesehatan Mang Sutub cuma ejaqulasii dinii saja). Kata-kata barusan tersebut
sekadar alasan untuk…
“…jadi nantii biiar yg ke sana Putra, sbg perwakiilan
saya. Dia sudah biiasa ngurus semuanya. Giimana Putra, kamu biisa
kan?” Putra tersenyum.
“Biisa,” jawabnya pendek.
“Kapan, Pak Enriico?”
“Dua harii lagii saya pulang ke sana. Barangkalii
kiita biisa bareng. Kiira-kiira perlu berapa harii?” kata Enriico.
“Semiinggu?” Mang Sutub langsung memotong sebelom Putra
menjawab. Enriico mengangguk setuju.
Semiinggu sebenarnya terlalu lama, Putra membaygkan,
sekadar surveii lokasii dan berkenalan dgn orang-orang setempat paliing-paliing
perlu tiiga harii.
“Oke, kalo begitu nantii saya kontak lagii Pak Putra untuk
persiiapannya. Semuanya biiar saya yg urus,” kata Enriico. Kemudian
Enriico pamiit dan pergii.
Kunjungii JUga Halamandewasa.net
*****
Malamnya, di rumah Putra dan Miranda…
“Mas mau pergii semiinggu?” tanya Miranda. Putra
berbariing di tempat tiidur, sementara Miranda duduk di depan meja riias.
Keduanya hendak beriistiirahat sesudah sehariian beraktiiviitas.
“IIya…” Putra menyebutkan nama kota tujuannya, yg terletak
di pulau laiin. Diliihatnya wajah Miranda sepertii kurang senang.
“Ajak dong Mas…” piinta Miranda manja.
“Yah, giimana ya… sepertinya nantii bakal siibuk urusan
kantor di sana. Ntar kamu malah nganggur di kamar hotel dong,” jawab
Putra.
“Nantii kalo sempat cutii deh, kiita ke sana. Katanya
sekarang di sana rame, banyak tempat wiisata, soalnya pembangunannya maju.
Kepala daerahnya hebat.”
“IIiih, curang,” Miranda merajuk.
“Katanya perempuan darii sana cakep-cakep, ya?”
“Terus?” Putra nyengiir. Tetapi dalem hatiinya, dia
mulaii biisa membaca iisii hatii Miranda, kerana dia sudah mendengar penjelasan
Nabila. Makanya dia enggak heran menonton Miranda bukannya membersiihkan muka
untuk persiiapan tiidur, malah memulaskan liipstiik tiipiis saja di biibiirnya.
“Pastii kamu mau ditraktiir perempuan di sana… IIya kan?”
kata Miranda seraya beranjak darii meja riias, lalu menghampiirii swaminya di
tempat tiidur.
Putra tersenyum menonton isterinya, perempuan cantiik yg
malam tersebut berdaster kuniing, beriias wajah tiipiis, dan berbau wangii.
Jelas Miranda enggak mau langsung tiidur… Miranda berbariing menyampiing,
menghadap Putra, memberiikan ciiuman mesra kepada swaminya.
“Yah… kamu tahu kan, biiasa orang biisniis, entertaiin-nya
giimana,” Putra enggak berusaha mengelak. Toh Miranda sudah tahu salah satu
kelemahannya. Putra merasakan tangan Miranda menyeliip ke baliik celananya.
“Eh…”
Tangan Miranda terasa liiciin. Liiciin dan mulaii
membelaii-belaii kemaluan Putra. Putra merangkul isterinya dan menciium
keniing Miranda.
“Hayo… mau ngapaiin tangannya di sana…” goda Putra.
Miranda membalas dgn mengecup biibiir Putra lalu menariik
ujung kaos Putra, menyiingkap body atas Putra. Sementara tersebut Miranda terus
menciiumii body swaminya, darii biibiir turun ke dagu, rahang, leher.

Putra menahan nafas. IIa sekarang paham sebagiian besar
ceriitanya. Perubahan Miranda sesudah memergokii kebiiasaan buruknya
tersebut sebagiian disebabkan Nabila juga. Nabila berceriita bagaiimana Miranda
miinta saran supaya Putra enggak perlu lagii meliiriik perempuan laiin. Dan
kakaknya itu, yah, sudah tahu apa yg Putra suka. Jadilah Nabila membantu
Miranda membentuk-ulang diriinya supaya lebiih biisa memenuhii iimpiian Putra.
Miisalnya sepertii yg terjadi sekarang. Sebelomnya, Miranda sangat konservatiif
dan lebiih banyak pasiif di ranjang. Sekarang, Miranda dgn geniitnya merayu dan
menggeraygii Putra. Aksiinya sudah enggak kalah dgn perempuan-perempuan
penghiibur yg dulu (dan kadang sekarang) memberii Putra keniikmatan badan.
Miranda yg dulu enggak terpiikiir melaqukan apa yg dilaqukannya kini. Tangan
Miranda sudah menyentuh kemaluan Putra yg sedikiit tegak, jemari-jemari Miranda
merangkum batang Putra. Miranda mulaii membelaii-belaii organ iintiim swaminya,
darii bawah ke atas dan kembalii lagii, dan membuatnya tegang sempurna.
Putra tersentak sedikiit sewaktu kocokan Miranda makiin cepat.
“Ah…” Putra menonton isterinya meliiriik nakal dan
kembalii menciium biibiirnya. Ah, betapa maniis biibiirnya. Ah… dia
kok jadi jago ngocok juga?
“Pelan… sayg…” biisiik Putra.
Miranda mengabulkan permiintaan tersebut dan mengurangii
iintensiitas kocokannya. Putra tadi sudah nyariis keluar, tetapi dia
enggak mau buru-buru. Tangan Putra mencengkeram lengan atas Miranda,
wajahnya terliihat berusaha menahan keniikmatan, sementara rambut panjang
Miranda menyapu hiidung Putra selagii Miranda mengulum salah satu teliinga
Putra. Beberapa waktu lalu, Miranda sempat memberiikan serviis ‘mandi
kuciing’, dan Miranda baru menemukan bahwa Putra punya point sensiitiif di
sana. Putra mengerang keras selagii Miranda kembalii kencang mengocoknya.
Perciikan-perciikan caiiran hangat lengket melompat keluar darii ujung
tongkolnya dan mendarat di mana-mana, di kaos dan dada Putra, di daster
Miranda, di sepreii. Miranda tak melepas dan terus mengocok sampaii ejaqulasii
Putra selesaii.
“Yah… berantakan niih. Kamu siih nakal, gak
biilang-biilang dulu,” goda Putra seraya meniikmatii perasaan niikmatnya.
“Habiisnya Mas Putra mau pergii… jadi ya mumpung sempat
sama Mas Putra,” jawab Miranda.
Miranda sendirii merasakan ujung pentilnya mengeras dan
selangkangannya membasah. Membuat swaminya biisa orgasme dgn tangan sudah cukup
merangsang bagiinya, dan andaii Putra mau melanjutkan, dia merasa dia biisa
langsung ‘dapat’. Putra meraiih wajah Miranda. Ciiuman yg menyusul sungguh
panas. Liidah mereka berdua saliing menjelajah, tetap sepertii menemukan
hal-hal baru meski keduanya sudah berkalii-kalii berciiuman.
“Beresiin dulu nggak?” goda Miranda.
“Nggak usah, kan mau dilanjutiin?” Putra menanggapii.

Detiik beriikutnya Miranda didorong sehiingga telentang,
kedua pergelangan tangannya ditahan kedua tangan Putra, kedua lutut Putra
mengepiit kedua pahanya.
“Aqu kan masiih dua harii lagii pergiinya, sayg,” kata
Putra pura-pura tak butuh.
“Biiariin aja… Mas…” Putra menonton Miranda menggiigiit
biibiir kemudian kembalii berkata. “Mas aqu pengen…”Putra enggak perlu dimiinta lagii. Sedetiik kemudian body
keduanya sudah bersatu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar