Keluarga kami, bertetangga dengan keluarga Pak
Aniez, rumah sebelah, terutama mama dan Bu Aniez, walau usia mereka terpaut
jauh, mama berusia 46 sementara Bu Aniez 32 tahun.
Mama dan Bu Aniez sering belanja bersama atau sekedar jalan-jalan saja. Saya
sering dimintai tolong untuk menyetir, walau mereka bisa mengemudi sendiri. “Ifan,
kamu ada acara, nggak?” kata mama jika nyuruh saya.
Mengantar
mereka, saya suka, karena aku termasuk anak mama. Sayapun menjadi ikut-ikutan
akrab dengan Rida, anaknya Bu Aniez yang baru berusia 5 tahun. Rida sering
kuajak main. Di balik itu aku mulai senang juga, karena bisa bersama Bu Aniez
yang cantik, putih bersih. Nampak anggun dengan pakaian jilbab modis rapat
sekali. Di rumahpun dia sering mengenakan jilbab. Tingginya kira-kira 165 cm,
tapi masih tinggian saya sedikit, beberapa centimeteran. Wajahnya cantik,
mempesona dan indah, betapa indahnya yang tidak nampak, di balik pakaiannya,
apalagi di balik beha? Ah pikirku agak galau.
Lambat
laun aku menjadi tertarik dengan Bu Aniez ini, gejala ini baru timbul dua bulan
terakhir ini. Kami berdua sering beradu pandang dan saling melempar senyum.
Entah senyum apa, aku kurang paham? Paling tidak bagiku atau saya yang terlalu
GR. Sering suara memanggil lewat bibirnya yang indah
“Ifan….”
Itu yang menjadi terbayang-banyang, suara sangat merdu bagiku dan menggetarkan
relung-relung hatiku.
Ia di rumah,
bersama Rida dan Parmi, pembantunya. Suaminya kerja di luar kota, pulangnya 2
minggu sekali atau kadang lebih.
Pagi itu
saya tidak ada jadwal kuliah, setelah mandi, sekitar pukul 08.00 saya keluar
rumah, maksudku cari teman untuk kuajak ngobrol. Suasana sepi rumah-rumah di
kompleks perumahan kami, banyak yang sudah tutup karena para tetangga sudah
pada pergi kerja. Kalaupun ada, hanya pembantu mereka. Tetapi Bu Aniez, rupanya
masih ada di rumah, karena mobilnya masih di carport. Mungkin dia belum berangkat
kerja.
Iseng-iseng
aku masuk rumah itu setelah mengetuk pintu tak ada tanggapan. Aku langsung
masuk, karena aku sudah terbiasa keluar-masuk rumah ini, bila disuruh mama atau
sekedar main dengan Rida. Pagi itu Rida sudah pergi sekolah diantar Parmi. Di dalam
rumah, terdengar suara gemercik air dari kamar mandi.
“Siapa
ya?” terdengar suara dari kamar mandi
“Saya, Bu, Ifan, mau pinjam bacaan” jawabku beralasan.
“O… silakan di bawah meja… ya”
“Ya Bu, terima kasih…”kataku
“Saya, Bu, Ifan, mau pinjam bacaan” jawabku beralasan.
“O… silakan di bawah meja… ya”
“Ya Bu, terima kasih…”kataku
Sambil
duduk di karpet, membuka-buka majalah, saya membayangkan, pasti Bu Aniez
telanjang bulat di bawah shower, betapa indahnya. Tiba-tiba pikiran nakalku
timbul, aku pingin ngintip, melangkah berjingkat pelan, tapi tak ada celah atau
lubang yang akses ke kamar mandi. Justru dadaku terasa gemuruh, berdetak
kencang, bergetaran. Kalau ketahuan bisa berabe! Akhirnya kubatalkan niatku
mengintipnya, kembali aku membuka-buka buku.
Beberapa
menit kemudian terdengar pintu kamar mandi bergerak, Bu Aniez keluar. Astaga…,
Tubuh yang sehari-hari selalu ditutup rapat, kini hanya memakai lilitan handuk
dari dadanya sampai pahanya agak ke atas, sembari senyum lalu masuk ke
kamarnya. Aku pura-pura mengabaikan, tapi sempat kelihatan pahanya mulus dan
indah sekali, dadaku bergetar lebih keras lagi. Wah belum apa-apa, sudah
begini. Mungkin aku benar-benar masih anak-anak? Pikirku. Rasa hatiku pingin
sekali tahu apa yang ada di kamar itu. Aku pingin nyusul! Perhatianku pada
bacaan buyar berantakan, fokusku beralih pada yang habis mandi tadi.
Dalam
kecamuk pikiranku, tiba-tiba Bu Aniez menyapa dari dalam kamar:
“Kamu
nggak kuliah, Fan?” katanya dari dalam kamar
“Tid..dak, …eh nanti sore, Bu” jawabku gagap, hari itu memang jadwal kuliahku sore.
“Tid..dak, …eh nanti sore, Bu” jawabku gagap, hari itu memang jadwal kuliahku sore.
Mungkin
ia tahu kalau aku gugup, malah mengajak ngomong terus.
Mengapa
aku tidak ikut masuk saja, seperti kata hatiku padahal pintu tidak ditutup
rapat. Lalu aku nekad mendekat pintu kamarnya dan menjawab omongannya di dekat
pintu. Kemudian aku tak tahan, walau agak ragu-ragu, lalu aku membuka sedikit
pintunya.
“Masuk
saja, enggak apa-apa, Fan” katanya
Hatiku
bersorak karena dipersilakan masuk, dengan sikap sesopan-sopannya dan pura-pura
agak takut, saya masuk. Dia sedang mengeringkan rambutnya dengan hairdryer di
depan meja rias.
“Duduk
situ, lho Fan!” pintanya sambil menunjuk bibir ranjangnya.
“Iya,… Ibu… enggak ke kantor” sambil duduk persis menghadap cermin meja rias. “Nanti, jam 10an. Saya langsung ke balaikota, ada audensi di sana, jadi agak siang” katanya lagi.
“Iya,… Ibu… enggak ke kantor” sambil duduk persis menghadap cermin meja rias. “Nanti, jam 10an. Saya langsung ke balaikota, ada audensi di sana, jadi agak siang” katanya lagi.
Sesaat
kemudian dia menyuruh saya membantu mengeringkan rambutnya dan sementara
tangannya mengurai-urai rambutnya. Kembali aku menjadi gemetar memegang
hairdryer, apalagi mencium bau segar dan wangi dari tubuhnya. Leher belakang,
bahu, punggung bagian atasnya yang putih mulus merupakan bangun yang indah. Aku
memperhatikan celah di dadanya yang dibalut handuk itu, dadaku bergetar cepat.
Tanpa sengaja tanganku menyenggol bahu mulusnya, ”Thuiiing…” Seketika itu
rasanya seperti disengat listrik tegangan 220V.
“Maaf,
Bu” kata terbata-bata
“Enggak pa-pa… kamu pegang ini juga boleh. Daripada kamu lirik-lirik, sekalian pegang” katanya sambil menuntun tangan kananku ke arah susunya, aku jadi salah tingkah.
“Enggak pa-pa… kamu pegang ini juga boleh. Daripada kamu lirik-lirik, sekalian pegang” katanya sambil menuntun tangan kananku ke arah susunya, aku jadi salah tingkah.
Rupanya
dia tahu lewat kaca rias, bila saya memperhatikan payudaranya. Dadaku tambah
bergoncang. Aku menjadi gemetar, percaya antara ya dan tidak, aku gemetaran
memegangnya. Maklum baru kali ini seumur-umur.
Beberapa
saat kemudian dia beranjak dari tempat duduknya, sambil berkata: “Kamu
sudah pernah sun pacarmu, belum?” tanyanya mengagetkan
“Ah.. Ibu ada-ada aja, malu….kan…”
“Ngapain malu, kamu sudah cukup umur lho, berapa umurmu?
“21 Bu..”
“Ngapain malu, kamu sudah cukup umur lho, berapa umurmu?
“21 Bu..”
“Sudah
dewasa itu. Kalau belum pernah cium, mau Bu ajari… Gini caranya” katanya sambil
memelukkan tangannya pada bahuku.
Kami
berdiri berhadapan, tubuhnya yang dibalut handuk warna pink itu dipepetkan pada
tubuhku, nafasnya terasa hangat di leherku. Wanita cantik ini memandangku cukup
lama, penuh pesona dan mendekatkan bibirnya pada bibirku, aku menunduk sedikit.
Bibirnya terasa sejuk menyenangkan, kami berciuman. Seketika itu dadaku
bergemuruh seperti diterpa angin puting beliung, bergetar melalui pori-pori
kulitku.
“Kamu
ganteng, bahkan ganteng sekali Fan, bahumu kekar macho. Aku suka kamu.” katanya
“Sejak kapan, Bu?” kataku di tengah getaran dadaku
“Sejak… kamu suka melirik-lirik aku kan?!”
“Sejak kapan, Bu?” kataku di tengah getaran dadaku
“Sejak… kamu suka melirik-lirik aku kan?!”
Saya
menjadi tersipu malu, memang aku diam-diam mengaguminya juga dan suka melirik
perempuan enerjik ini.
“Ya
sebenarnya aku mengagumi Ibu juga” kataku terbata-bata
“ Tuh… kan?! Apanya yang kamu kagumi?
“Yeahh, Bu Aniez wanita karier, cantik lagi…” kataku
“Klop, ya…” sambil mengecup bibirku
“ Tuh… kan?! Apanya yang kamu kagumi?
“Yeahh, Bu Aniez wanita karier, cantik lagi…” kataku
“Klop, ya…” sambil mengecup bibirku
Kembali
kami berpagutan, kini bibirku yang melumat bibirnya dan lidah Bu Aniez mulai
menari-nari beradu dengan lidahku. Aku mulai berani memeluk tubuhnya, ciuman
semakin seru. Sesekali mengecup keningnya, pipinya kemudian kembali mendarat di
bibirnya.
Karena serunya kami berpelukan dengan berciuman, tanpa terasa handuk
yang melilit pada tubuhnya lepas, sehingga Bu Aniez tanpa sehelai kainpun, tapi
dia tidak memperdulikan. Rasanya aku tidak percaya dengan kejadian yang aku
alami pagi itu.
Aku
mencoba mencubit kulitku sendiri ternyata sakit. Inilah kenyataannya, bukan
mimpi. Seorang wanita dengan tubuh semampai, putih mulus, payudaranya indah,
pinggulnya padat berisi, dan yang lebih mendebarkan lagi pada pangkal pahanya,
di bawah perutnya berbentuk huruf “V” yang ditumbuhi rambut hitam sangat sedap
dipandang. Pembaca bisa membayangkan betapa seorang anak remaja laki-laki
berhadapan langsung perempuan cantik tanpa busana di depan mata.
Saya
memang sering melihat foto-foto bugil di internet, tapi kali ini di alam nyata.
Luar biasa indahnya, sampai menggoncang-goncang rasa dan perasaanku. Antara
kagum dan nafsu birahi bergelora makin berkejar-kejaran di pagi yang sejuk itu.
Bu Aniez
membuka kaosku dan celanaku sekalian dengan cedeku. Dalam hitungan detik, kini
kami berdua berbugilria, berangkulan ketat sekali, payudaranya yang
indah-montok itu menempel dengan manisnya di dadaku, menambah sesak dadaku yang
sedang bergejolak. Perempuan mantan pramugari pesawat terbang ini terus
merangsek sepertinya sedang mengusir dahaga kelelakian. Penisku ngaceng bukan
main kakunya, saya rasa paling kencang selama hidupku. Apalagi jari-jari Bu
Aniez yang lentik nan lembut itu mulai menimang-nimang dan mengocok-ngocok
lembut. Rasanya nikmat sekali.
Lambat-laun
tubuhnya melorot, sambil tak henti-hentinya menciumiku mulai dari bibir, ke
leher, dada dengan pesona permainan lidahnya yang indah di tubuhku. Sampai pada
posisi belahan payudaranya dilekatkan pada penisku, digerak-gerakkan, naik-turun
beberapa saat.

Ah… nikmat sekali.
Sampai
dia terduduk di pinggir ranjang, aku masih berdiri, penisku diraih lidahnya
menari-nari di ujungnya, kemudian dikulum-kulum. Rasanya luar biasa nikmatnya,
sebuah sensasi yang memuncak.

Rasanya sampai sungsum, tulang-tulang dan ke atas
di ubun-ubun. Tanganku meraih susunya, keremas-remas lembut, empuk dan sejuk
dengan puntingnya yang berwarna merah jingga itu.

Secara
naluri aku pilin-pilin lembut, dia mendesah lirih. Ku rasakan betapa enaknya
susunya di kedua telapak tanganku. Setelah sekitar lima menit, dia membaringkan
diri di ranjang dengan serta merta aku menindih tubuh molek itu dan dia sambut
dengan rangkulan ketat, kami saling membelai, saling mengusap, bergulat dan
berguling. Kaki kami saling melilit, dengan gesekan exotic, membuat tititku
kaku seperti kayu menempel ketat pada pahanya. Susunya disodorkan pada bibirku,
lalu puntingnya ku-dot habis-habisan, saking nafsunya. Sementara
itu kuremas lembut payudaranya yang sebelah, bergantian kiri-kanan. Kepalaku ditekankan
pada dadanya, sehingga mukaku terbenam di antara kedua susunya, sambil kuciumi
sejadi-jadinya. Perempuan ayu ini mendesis lembut, lalu tangannya mengelus tak
melepas penisku. Tak lama kemudian dia memasukan semua penis ku kedalam mulutnya, sambil mengisapnya dengan bernafsu sekali.

Aku
benar-benar tak tahan, dengan permainan ini nafsuku makin menjadi-jadi, saat
ini rasanya penisku benar-benar ngacengnya maksimal sepanjang sejarah, keras
sekali dan rasanya ingin memainkan perannya. Aku lalu mengambil posisi menindih
Bu Aniez yang tidur terlentang. Pada bagian pinggul antara perut dan pangkal
paha tercetak huruf V yang ditumbuhi rambut tipis dan rapi. Ketika
aku mencoba membuka pahanya nampak lobang merekah warna pink. Kuarahkan
senjataku ke selakangannya, pahanya agak merapat dan kutekan. Tapi rasanya
hanya terjepit pahanya saja, tidak masuk sasaran. Paha putih mulus itu ku buka
sedikit, lalu kutekan kembali dan tidak masuk juga. Adegan ini saya lakukan
berulang kali, tapi belum berhasil juga. Perempuan dengan deretan gigi indah
itu malah ketawa geli. Penisku hanya basah karena kena cairan dari Vnya. Dia masih
ketawa geli, saya menjadi kesal dan malu.
“Tolonginlah…
Bu, gimana caranya…” pintaku
“Kamu keburu nafsu… tapi tak tahu caranya” katanya masih ketawa
“Kamu keburu nafsu… tapi tak tahu caranya” katanya masih ketawa
Lalu Bu
Aniez memegang penisku kemudian diarahkan pada selakangannya, tepatnya pada
lobang kewanitaannya. Pahanya di renggangkan sedikit dan lututnya membentuk
sudut kiri-kanan. “Sekarang
tekan, pelan-pelan” bisiknya

Kuikuti
petunjuknya, dan kutekan pinggulku hingga penisku masuk dengan manisnya. Saat
kumasukkan itu rasanya nikmat luar biasa, seolah-olah aku memasuki suatu tempat
yang begitu mempesona, nyaman dan menakjubkan. Pada saat aku menekan tadi, Bu
Aniez mengerang lembut.
“Ahhh…..Ifan…….”
desahnya
“Kenapa,….. sakit Bu.?.” tanyaku
“Nggak…sihh, enakan….malah “ jawabnya yang kusambut dengan tekanan penisku yang memang agak seret.
“Saya juga enakan, Bu.. enak banget”
“Tarik dan tekan lagi Fan. Burungmu gede mantap….” katanya.
“Kenapa,….. sakit Bu.?.” tanyaku
“Nggak…sihh, enakan….malah “ jawabnya yang kusambut dengan tekanan penisku yang memang agak seret.
“Saya juga enakan, Bu.. enak banget”
“Tarik dan tekan lagi Fan. Burungmu gede mantap….” katanya.

Aku ikuti
arahannya dan gerakan ini menimbulkan rasa sangat nikmat yang berulang-ulang
seiring dengan gerakan pinggulku yang menarik dan menekan. Saat aku tekan,
pinggul Bu Aniez ditekan ke atas, mungkin supaya alat seks kami lebih ketat
melekat dan mendalam. Di bawah tindihanku dia mengoyang-goyangkan pinggulnya
dan kedua kakinya dililitkan ketat pada kakiku. Kadang diangkat ke atas,
tangannya merangkul bahuku kuat sambil tak hentinya menggoyangkan pinggulnya.
Aku melakukan gerakan pinggul seirama dengan gerakannya. Sesekali berhenti,
berciuman bibir dan mengedot susunya. Kami benar-benar menyatu. Nikmat abiz!
“Enak ya
Fan, beginian?!” katanya disela-sela kegiatan kami
“Yah.. enak sekali Bu” kataku
“Yah.. enak sekali Bu” kataku

Kami
melakukan manuver gerakan bergulung, hingga Bu Aniez di atasku. Dalam posisi
begini ia melakukan gerakan lebih mempesona. Goyangan pinggulnya semakin
menyenangkan, tidak hanya naik turun, tetapi juga meliuk-liuk menggairahkan
sambil mencuimiku sejadi-jadinya. Kedua tangannya diluruskan untuk menompang
tubuhnya, pinggulnya diputar meliuk-liuk lagi. Setelah
sekitar 15 menit, suasananya semakin panas, sedikit liar. Perempuan berambut
sebahu itu makin bergairah dan menggairahkan, susunya disodorkan pada bibirku
dan ku santap saja, saya senang menikmati susunya yang montok itu. Dalam menit
berikutnya gerakannya makin kuat dan keras sehingga ranjangnya turut bergoyang.
Kemudian merebahkan diri telungkup menindihku, dengan suaranya.

“Ah.. uh…
eh…. a….ku…..keluarrr Fan” katanya terengah-engah.
Aku
terpana dengan pemandangan ini, bagaimana tingkahnya saat mencapai puncak, saat
orgasme, benar-benar mengasyikkan, wajahnya merona merah jambu. Sebuah
pengalaman benar-benar baru yang menakjubkan. Nafasnya terengah-engah saling
berburu. Beberapa menit kemudian gerakan pinggulnya makin melemah dan sampai
berhenti. Diam sejenak kemudian bergerak lagi “Ah…” orgasme lagi dan beberapa
saat kemudian wanita yang susunya berbentuk indah ini terkapar lemas, tengkurap
menindih tubuhku.
Suasananya
mendingin, namun aku masih membara, karena penisku masih kuat menancap pada
lobang kewanitaan Bu Aniez, kemudian di merebahkan disisiku sambil menghela
nafas panjang.
“Aku puas
Fan…”
“Permainan Ibu hebat sekali” kataku
“Sekarang ganti kamu, lakukan kayak aku tadi” katanya lagi
“Permainan Ibu hebat sekali” kataku
“Sekarang ganti kamu, lakukan kayak aku tadi” katanya lagi
Kemudian
aku kembali menunggangi Bu Aniez, dia terlentang pahanya dibuka sedikit. Dan
penisku kuarahkan pada selakangannya lagi seperti tadi, disambut dengan
tangannya menuntun memasukkan ke Vnya.

“Tekan
Fan! Main sesukamu, tapi jangan terlalu keras supaya nikmat dan kamu tahan
lama.” Sambil memelukku erat kemudian mencium bibir.
Saya
mulai memompa wanita cantik bertubuh indah ini lagi, dengan menggerak-gerakkan
pinggulku maju-mundur berulang-ulang. Ia menyambut dengan jepitan vaginanya
ketat terasa mengisap-isap. Saat kutekan disambut dengan jepitan ini yang
seolah dapat merontokkan sendi-sendiku. Dan tentu saja menimbulkan rasa nikmat
bukan kepalang. Nikmat sekali! Sampai pada saatnya, beberapa menit kemudian…
“Aku mau
keluar Bu…….” kataku terengah-engah
“Tahan dulu Sayang, aku juga mau keluar lagi kok… terus digoyang…nih… pentilku didot” katanya terengah-engah juga.
“Tahan dulu Sayang, aku juga mau keluar lagi kok… terus digoyang…nih… pentilku didot” katanya terengah-engah juga.
Aku
mengedot susunya dan meremas-remas, sambil memompanya. Sepertinya aku diajak
melayang-layang di angkasa tinggi. Setelah beberapa menit, ada sebuah kekuatan
yang mendorong mengalir dari dalam tubuhku. Semua tenaga terpusat di satu
tempat menghentak-hentak menerobos keluar lewat penisku. Spermaku keluar
memancar dengan dahsyatnya, memenuhi lorong birahi milik Bu Aniez, diiringi
dengan rasa nikmat luar biasa.

“Ahh….uh…ehh..”suara
erangan kami bersahut-sahutan.
Nafas
kami berdua terengah-engah saling memburu, kejar-kejaran. Betapa nikmatnya
perempuan ini walau lebih tua dari saya, tapi dahsyat sekali. Bu Aniez sangat
mempesona. Saya memang pernah mengeluarkan sperma dengan cara onani atau mimpi
basah, tapi kali ini mani-ku yang memancar dan masuk ke vagina seorang
perempuan, ternyata membawa kenikmatan luar biasa dan baru kali ini aku
rasakan, dengan dorongan yang menghentak-hentak hebat, apalagi dengan Bu Aniez,
seorang perempuan yang aku kagumi kecantikannya. Seolah-olah ujung rambutku
ikut merasakan kenikmatan ini. Dahsyat dan menghebohkan!

Setelah
beberapa menit aku terkapar lemas di atas tubuh wanita si kaki belalang itu
(ini istilahku; kakinya indah sekali kayak kaki belalang), lalu melihat jam di
dinding menunjuk pukul 09.16. Astaga, berarti aku bermain sudah satu jam lebih.
Lalu aku mencabut penisku, dan segera ke kamar mandi diikuti Bu Aniez, sambil
mencium pipiku.
“Terima
kasih ya Fan” katanya sambil menciumku
“Sama-sama Bu..” kami kembali berciuman.
“Sama-sama Bu..” kami kembali berciuman.
Aku
berpakaian kembali, kemudian segera keluar rumah, karena takut kalau-kalau
Parmi dan Rida pulang.
Sore
harinya ada kuliah di kampus, selama mengikuti kuliah aku tidak concern pada
dosen. Aku selalu teringat pagi itu, betapa peristiwa yang menyenangkan itu
berlangsung begitu mulus, semulus paha Bu Aniez. Padahal hari-hari sebelumnya,
mendapat senyumannya dan melihat wajahnya yang cantik, aku sudah senang. Tadi
kini aku telah merasakan semuanya! Sebuah pengalaman yang benar-benar baru
sekaligus negasyikkan. Lalu aku nulis sms.
“Gimana
Bu Aniez, lanjutkan?” teks SMSku
“Kapan, …Yang….?” jawabnya
“Kapan, …Yang….?” jawabnya
Lalu kami
sepakat malam ini dilanjutkan. Mama dan papaku pergi keluar rumah pukul 19.00
ada acara di kantor papa. Sebelum berangkat, saya pamit mama dan aku beralasan
pada mama untuk mengerjakan tugas di rumah teman.
“Mungkin,
kalau kemalaman saya tidur di sana Ma” kataku pada mama
Semula
mama keberatan, tapi akhirnya mengijinkan.
Aku sudah
tidak sabaran, kepingin rasanya ke rumah sebelah. Tapi Bu Aniez bilang kalau
datang nanti setelah Rida dan Parmi tidur. Rasanya menunggu kayak setahun. Sekitar
pukul sembilan malam ada sms masuk dari Bu Aniez
“Mrka dah
tdr, kemarilah…”
“Aku berangkat, Mi” kataku pada pembantuku, tahunya aku ke rumah teman. “Nggak pakai motor Mas..?” tanya Mimi
“Dijemput temanku diujung jalan” kataku
“Aku berangkat, Mi” kataku pada pembantuku, tahunya aku ke rumah teman. “Nggak pakai motor Mas..?” tanya Mimi
“Dijemput temanku diujung jalan” kataku
Malam itu
gerimis, aku berangkat ke rumah sebelah, tapi jalanku melingkar lingkungan dulu
untuk kamuflase, agar Mimi tidak curiga.
Setelah
mengambil jalan melingkar, aku langsung masuk rumah dan disambut Bu Aniez dan
langsung masuk kamar. Nyonya rumah mengunci pintu, mematikan lampu tengah dan
masuk kamar. Rida tidur di kamar sebelah, sedang Parmi tidur di kamar belakang
dekat dapur dan akses ke ruang utama di kunci juga. Sehingga cukup aman.

Lampu
meja kamar masih menyala redup, Bu Aniez masuk kamar dan mengunci pintu dengan
hati-hati. Dia mengembangkan tangannya dan kami berpelukan kembali. Seperti
sepasang kekasih yang sudah lama tidak ketemu. Kami mulai bermain cinta, kucium
bibir indah perempuan ini, kamipun mulai hanyut dalam arus birahi. Malam itu ia
memakai gaun tidur katun dominasi warna putih berbunga, kubuka kancingnya dan
kelepas dengan gemetaran. Beha dan cedenya warna putih dan indah sekali. Diapun
mulai membuka kaos lalu celana panjang yang kupakai, kami kembali berpelukan,
bercumbu saling beradu lidah dan setiap inci kulit mulusnya kuciumi dengan
lembutnya.

“Kamu tak
usah keburu-Buru, waktu kita panjang” katanya
“Ya, Bu tadi pagi saya takut ketahuan…maka buru-buru.” kataku sambil membuka kait behanya, (agak lama karena belum tahu caranya) dan menarik pita yang melingkar di kedua bahunya.
“Ya, Bu tadi pagi saya takut ketahuan…maka buru-buru.” kataku sambil membuka kait behanya, (agak lama karena belum tahu caranya) dan menarik pita yang melingkar di kedua bahunya.

Lalu aku
menciumi payudaranya wajahku kubenamkan di sela-selanya, sambil mengedot
punting susunya bergantian kiri kanan. Saya suka sekali memainkan benda kembar
milik Bu Aniez ini. Perempuan cantik itu mulai mendesah lembut. Lalu kutarik
cedenye ke bawah melalui kakinya dan diapun menarik juga cedeku, kami saling tarik
dan akhirnya kami tanpa busana seperti pagi tadi pagi.

Kami
berdua mulai mendaki gunung birahi, bergandengan tangan bahkan berpelukan
menaiki awan-awan nafsu dan birahi yang makin membara. Nafas desah dan leguhan
beriring-iringan dengan derai hujan di luar rumah. Kucoba memainkan seperti di
bf yang pernah aku lihat. Pahanya kubuka lebar-lebar aku mempermainkan Vnya
dengan jemariku, bibir, klitoris, serta lobangnya berwarna merah jambu
menggairahkan. Sesekali kumasukkan jariku dilobang itu dan menari-nari di sana.
Lalu tak
ketinggalan lidahku ikut menari di klitorisnya dan mengedot-edot. Kuperlakukan
demikian perempuan matang-dewasa itu bergelincangan sejadi-jadinya.

Bu Aniezpun
tidak kalah dahsyatnya dia mengedot penisku penuh nafsu. Lidahnya menari-nari
pada kepala Mr P-ku, berputar-putar dan kemudian diemut, diedot habis-habisan,
nikmat sekali. Kami saling memberi kenikmatan, saya sampai kelimpungan.

“Ayoo…masukkan
Fan…, aku tak tahan….” bisiknya terengah-engah, setelah beberapa menit
mengedot.

Saya mulai
memasukkan kelelakianku ke dalam lubang kewanitaannya, memompa sepuas-puasnya.
Kami berdua benar-benar menikmati malam itu dan ber-seks-ria yang mengasyikkan
bersama si tubuh indah putih itu, dengan bentuk pinggul yang menggetarkan itu.
Pendakian
demi pendakian ke puncak kenikmatan kami lalui berdua yang selalu diakhiri
kepuasan tiada tara, dengan menghela nafas panjang, nafas kepuasan. Kami
terkapar bersama, di atas ranjang. Kami saling mengusap, dan mencium lembut,
setelah selakangannya ku bersihkan dengan tisu dari spermaku yang tumpah keluar
vaginanya.

Kami berbaring berpelukan, masih telanjang, kaki kananku masuk di
antara pahanya, sementara paha kirinya kujepit di antara pahaku. Kaki kami
saling berlilitan. “Fan,
sementara aku sendirian….dan kamu ‘belum terpakai…’ kita bisa main kayak gini
ya…” katanya sambil mengusap-usap dadaku, setelah keletihan sirna. “Ya Bu, saya juga suka kok, bisa belajar sama Bubu Aniez…” kataku yang disambut
dengan kecupan dipipiku.
“Aku jadi ingat Fan, ketika kamu sunat dulu, saya baru saja menempati rumah
ini. Ingat nggak?” katanya sambil menimang-nimang tititku.
“Ingat Bu, waktu itu Bu Aniez manten baru ya… Dan ternyata Bu Aniez yang pakai pertama kali senjataku ini….” jawabku dan dia mengangguk mengiyakan jawabanku sambil tersenyum lebar.
“Ingat Bu, waktu itu Bu Aniez manten baru ya… Dan ternyata Bu Aniez yang pakai pertama kali senjataku ini….” jawabku dan dia mengangguk mengiyakan jawabanku sambil tersenyum lebar.
Malam
semakin pekat dan dingin, namun api cumbuan semakin membara.

Berbagai gaya
telah diperkenalkan oleh Bu Aniez, mulai dari gaya konvensional, 69, dogie
sytle, sampai gaya lainnya yang membawa sensasi demi sensasi. Beberapa puncak
kenikmatan telah kuraih bersama Bu Aniez. Sayang sekali saya lupa sampai berapa
kali aku mencapai puncak kenikmatan. Entah sampai berapa kali aku menaiki Bu
Aniez, malam itu? Kulihat Bu Aniez tidur pulas setelah melakukan beberapa kali
pendakian berahi yang melelahkan, sampai tak sempat berpakaian kembali.
Terngiang olehku sesekali bisikannya setelah tenaganya pulih kembali:
“Lagi
yukk Fan…” kemudian kamipun memulai lagi.

Pagi
telah tiba, dengan pelan aku membuka mata, namun tidak membuat gerakan dan
menggeser posisiku pagi itu. Saya terjaga masih berpelukan dengan Bu Aniez dan
aku yang hanya berselimut. Sambil kulihat sekitar kamar, pakaianku bercampur
dengan pakaian Bu Aniez berantakan di lantai kamar. Wanita cantik itu tersentak
ketika melihat jam dinding menunjukkan pukul 05.05, rencananya aku akan pulang
subuh tadi, sebelum Parmi bangun, tapi kami keenakan kelonan, tertidur,
kesiangan. Apalagi semalaman hampir tidak tidur, mengarungi samudra raya
kenikmatan bersama Ibu ayu ini. Lalu aku bertahan, di dalam kamar sampai Parmi
mengantar Rida berangkat sekolah.
Setelah
Parmi pergi bersama Rida, aku bersiap pulang tapi sebelumnya kami mandi
bersama. Lagi-lagi nafsu menyala-nyala kembali, lalu aku bergulat lagi dengan
Bu Aniez, sampai kepuasan itu datang lagi. Aku baru pulang, sekitar pukul 07.30
dan Bu Aniez berangkat kerja dan menitipkan kunci rumah ke saya seperti
biasanya dan nanti diambil Parmi.
Langkah
hubungan ini masih berjalan dengan manisnya, tanpa hambatan berarti.
Hambatannya hanya, bila di rumahnya situasi tidak memungkinkan, karena ada
orang lain atau suaminya di rumah. Lima tahun sudah aku berjalan dalam
lorong-lorong kenikmatan yang menyenangkan bersama Bu Aniez. Kalau tidak di
rumah, di rumahku juga pernah dan sesekali kami lakukan di hotel, bila kondisi
rumah tidak memungkinkan. Di rumah biasanya pagi hari menjelang Bu Aniez
berangkat ke kantor, sementara dan Rida dan Parmi ke sekolah.
Seperti
pagi itu aku dapati dia siap berangkat ke kantor, sudah pakai bleser dan celana
coklat muda dan kerudung coklat motif Bunga, pakaian seragam kerja. Aku masuk
ke rumahnya, langsung berpelukan dan berciuman mesra. Serta merta aku membuka
kancing dan membuka celana panjang dan cedenya dengan cepat.
“Kok
tidak tadi… Saya mau berangkat nih…?
“Tadi bantu mama dulu. Sebentar aja kok Bu, kita sudah dua minggu tidak main” bisikku.
“Tadi bantu mama dulu. Sebentar aja kok Bu, kita sudah dua minggu tidak main” bisikku.
Dia tidak
mau di bad, karena sudah pakaian rapi, nanti pakaiannya kusut, berantakan.
Hanya dengan gaya doggie style, dia menunduk, tangannya berpegangan pada bibir
meja. Lalu saya masukkan tititku dari belakang. Sudah beberapa menit, menembak
tapi saya belum sampai puncak.
“Saya
capek Fan, gini… aja….” katanya terengah-engah sambil berdiri dan tititku
tercabut.

Kemudian
perempuan yang masih menggunakan bleser dan kerudung itu duduk di meja, kedua
tangannya ke belakang menompang tubuhnya. Sedangkan kedua kakinya diangkat dan
ditaruh di atas kedua lenganku, sehingga tempiknya (Vnya), tampak merah merekah
menantang. Lalu aku segera memasukkan kembali tititku pada lobang kehormatannya
itu.
“Cepetan
keluarkan Fan, terlambat aku nanti….” katanya lirih.
“Ya Bu” kataku sambil mulai menggenjot kembali.
“Ya Bu” kataku sambil mulai menggenjot kembali.
Kegiatan
ini seperti gerak hidrolis, keluar-masuk, namun nikmatnya luar biasa. Sampai
beberapa menit kemudian aku keluarkan dengan tenaga hentakan kuat dan ditandai
pancaran spermaku keluar kencang dengan kenikmatan dahsyat pula. Bu Aniez juga
mengerang panjang bersaut-sautan, sambil memeluk aku erat sekali dan mencium
bibir, kakinya ditautkan pada pinggangku.

Beberapa
menit kemudian selesai, saya mengeluarkan sperma dengan semprotan yang tidak
kalah dahsyatnya dari waktu-waktu sebelumnya, mengantar kepada kepuasan, walau
terkesan tergesa-gesa. Setelah membersihkan diri, perempuan tinggi semampai itu
bergegas memakai celananya kembali. Kemudian aku mencium keningnya lalu dia
berangkat ke kantor. Pagi itu rasanya nikmat sekali seperti hari-hari
sebelumnya.

Rasanya
saya tidak bosan-bosannya menikmati hubungan ini bersama Bu Aniez. Makanya
banyak orang yang suka main beginian, tua muda semuanya, seperti yang sering
kita baca dan lihat di media. Kini Bu Aniez bertambah anak, Refa namanya yang
berumur empat tahun, mungkin saja dia itu hasil benihku. Sementara lakon itu
kini masih berlangsung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar