Beberapa hari sejak kejadian itu
Bu Tari tidak menyapaku. Dia selalu berusaha menghindariku. Aku bingung, aku
takut dia marah. Aku takut dia menolak cintaku. Aku takut gila, mencintai ibu
kost sendiri, istri orang dan perempuan yang jauh lebih tua dariku. Ditolak
pula. Aku mulai murung. Tapi itu hanya lebih kurang dua minggu.
Hanya sampai pada suatu malam, bulan jatuh dipelukanku saat Bu Tari lembut menyapaku dan tanpa bicara sepatah katapun menciumiku. Sejak dulu juga, jika dibalik ke”nature”annya sesekali kulihat kerling genitnya, adalah bukti bahwa sebenarnya sudah lama aku tak bertepuk sebelah tangan. Tapi Bu Tari takut bicara tentang cinta, bahwa dia sayang, merindukan dan membutuhkanku.
Hanya sampai pada suatu malam, bulan jatuh dipelukanku saat Bu Tari lembut menyapaku dan tanpa bicara sepatah katapun menciumiku. Sejak dulu juga, jika dibalik ke”nature”annya sesekali kulihat kerling genitnya, adalah bukti bahwa sebenarnya sudah lama aku tak bertepuk sebelah tangan. Tapi Bu Tari takut bicara tentang cinta, bahwa dia sayang, merindukan dan membutuhkanku.
Selanjutnya kami selalu berusaha
bersikap wajar di depan seisi rumah maupun tetangga. Satu hal yang pasti bahwa
kami bisa dengan bebas saling bercerita tentang apa saja. Termasuk kebiasaanku
beronani dengan membayangkan bersetubuh dengannya yang membuatnya tertawa
terpingkal-pingkal. Sebaliknya dari Bu Tari aku tahu, bahwa suaminya Pak Bagong
itu aneh, di ranjang bertempur tidak pernah menang tapi malah punya simpanan.
Untuk mencapai orgasme jika
bersetubuh dengan suaminya dia sering membayangkan bersetubuh denganku. Gila.
Kami terus mengalir tanpa halangan yang berarti. Maksudku tanpa tindak-tanduk
yang dapat menimbulkan kecurigaan orang seisi rumah maupun tetangga. Sampai
suatu hari Pak bagong tetangga kami yang tinggal 6 rumah dari kami
melangsungkan pernikahan anaknya. Seharian itu aku dirundung nafsu dan cemburu.
Seperti biasanya jika dilingkungan
perumahan itu ada pernikahan maka Pak Bagong dan Bu Tari akan menjadi penerima
tamu. Pak Bagong akan berbaju beskap, berjarik, blangkon dan berkeris. Bu Tari
akan berkebaya, berjarik dan berselendang dengan rambut konde yang rapi. Bu
Tari sendiri tahu bahwa dengan pakaian seperti itulah seringkali aku
mengungkapkan kekagumanku atas kecantikan dan seks appeal yang ditimbulkannya.
Rasanya aku gelisah terus melihat
kesintalan tubuh Bu Tari yang terlilit pakaian adat Jawa yang ketat itu. Jika
berjalan pinggulnya bergoyang-goyang mengundang sensasi. Beberapa kali kutebar
pandanganku berkeliling, selalu saja kulihat ada mata tamu pria entah muda,
entah tua ada yang tengah melirik atau memperhatikannya. Semua itu membuatku
pingin marah saja rasanya.
Tetapi sebelum seremoni perkawinan
itu usai, tiba-tiba pembantu Bu Tari, yang biasanya aku panggil Mbak Suti
datang mengabarkan bahwa barusan dia terima telepon di rumah yang mengabarkan
adik Pak Bagong yang tinggal di kota P mengalami kecelakaan lalu lintas. Pak
Bagong, Bu Tari, Yon, Mbak Suti dan aku akhirnya pamit pulang duluan pada Pak
bagong.
Sampai dirumah, Pak Bagong dan Ibu
Tari menelepon balik ke kota P melakukan konfirmasi berita. Adik Pak Bagong
bersama Dorti anaknyalah yang mengalami kecelakaan. Mobilnya tertabrak bis
antar kota yang selip. Dua-duanya masuk IGD rumah sakit dan Pak Bagong sebagai
anak tertua di keluarganya diminta datang. Teman sekamarku Yon sendiri ingin
ikut nengok. Yon naksir berat pada Dorti, pernah menyatakan cinta dua kali.
Tapi dua kali pula Dorti menolak. Sementara Ibu Tari sendiri harus tetap tinggal
karena besok pagi ada tim BPKP dari Jakarta yang akan datang melakukan audit di
kantornya. Ibu Tari key person yang harus ada.
Pak Bagong dan Yon berangkat ke
kota P dengan mobilnya dan akan mampir ke rumah Pak Sarmin supirnya dulu untuk
diajak berangkat. Aku, Bu Tari dan Mbak Suti ngobrol sebentar membicarakan
kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pada adik Pak Bagong dan anaknya. Sampai
Mbak Suti menguap beberapa kali.
Selama ngobrol tak pernah mataku lepas dari
busungnya dada Bu Tari dengan payudaranya yang montok dan sedikit terlihat. Bu
Tari tahu aku selalu memperhatikannya, tapi dia membiarkan saja, bahkan seolah
justru senang dan menikmati kekagumanku, birahiku dan kegusaranku.
“Sudahlah sana tidur kalau
ngantuk, aku tidak balik lagi kerumah pak Falcon kok Ti, wong hampir selesai
kok” Ucapnya. Bu Tari beranjak pergi katanya mau pipis. Ketika Bu Tari
berjalan, pinggulnya yang bergoyang-goyang tak lepas mataku. Begitu padat,
begitu bulat.
Mbak Suti langsung pamit tidur.
Tinggallah aku di ruang tengah itu, sendiri, melamun. Sekian lama hubungan kami
berjalan. Selama ini kami hanya sampai batas berpelukan, berciuman, saling
tindih di ranjang dengan napas yang menderu-deru dan berujung orgasme tanpa
coitus. Entah berapa kali penisku menekan-nekan dan menggesek-gesek di
vaginanya yang basah di celana. Entah berapa kali spermaku membasahi celana
dalamku sendiri dan celana dalam Bu Tari. Lantas walaupun penisku belum pernah
sekalipun masuk ke vaginanya, kecuali hanya menggesek-gesek dan aku orgasme,
masih perjakakah aku?
Langkah Bu Tari terdengar dan
terus kupandangi sekujur tubuhnya yang semampai melenggok-lenggok, dari kepala
sampai kaki ketika dia berjalan kearahku. Stagen di pinggangnya sudah tak ada
hingga perutnya sedikit terlihat. Dadaku berdebar-debar. Berkali kali kutelan
ludah.
“Kamu melihat Ibu, kaya Ibu ini
apaan sih?”, ucap Bu Tari genit mengibaskan tangan kanan di mukaku.

“Ibu cantik sekali, makin seksi, seksi sekali berkebaya dan Saya terangsang sekali” Ucapku asal saja menunjuk ke penisku.
“Hus. Sekali, sekali. Daripada melamun sini pijitin Ibu”, Ucap Bu Tari duduk membelakakingiku dan menepuk pundaknya. Aku pijit kedua pundaknya perlahan-lahan. Bu Tari kadang menggeliat keenakan.
Makin lama pijitanku makin turun,
ke punggungnya, ke tulang-tulang rusuknya, ke pinggangnya. Tak lama kutarik
pundaknya dan kusandarkan punggungnya ke dadaku, kutempelkan pipi kananku ke
pipi kirinya.
Lalu kupijit kedua pahanya, kuelus-elus dan kuremas-remas sampai
ke pinggulnya. Bu Tari memejamkan matanya. Pijitan bercampur elusan kedua
tanganku merambat naik dan berhenti di dadanya untuk meremas-remas buah dada
yang kurasakan besar dan kenyal itu.
Mukaku kugesek-gesekan di rambut
dan kondenya, pipinya, dan kukulum-kulum telinganya. Deru napas Bu Tari mulai
tak teratur kadang diselingi desahan halus. Tangan kanannya mencoba meraih
kepalaku, kadang mencengkram lembut rambutku. Telapak tangan kirinya
digosok-gosokan kepipi kiriku. Remasan tanganku ke buah dadanya makin liar,
mukaku meliuk-liuk menciumi apa saja di kepalanya. Kubuka kancing baju
kebayanya. Sembulan sepertiga buah dada dari
BH-nya indah sekali. Aku makin terangsang.

Penisku yang berdiri sejak tadi
ingin meledak rasanya. Kutarik baju kebayanya turun ke belakang hingga pundak
dan lehernya bebas kuciumi dan jilati. Ibu Tari mengerang nikmat. Kulingkarkan
kedua tanganku memeluknya erat-erat. Bibir Bu Tari yang setengah terbuka
kusambar dengan bibirku dan kukulum habis. Ujung lidah kami beradu, kutelusuri
lidahnya sampai seberapa jauh dapat masuk, ke rongga-rongga mulutnya. Begitu
kami bergantian.
Aku dan Bu Tari mulai tak tahan,
kurebahkan dia disofa. Kutelusuri tubuhnya, kuciumi dari muka, dada, perut
paha, dan betisnya yang masih dibalut kain jarik. Naik lagi dan kutindih Bu
Tari. Erangannya makin merangsangku. Kubuka ikat pinggangku.
“Jangan disini sayang. Nanti kalau
Suti bangun…” Tiba-tiba ucap Bu Tari tak menyelesaikan kalimatnya. Kami
berdiri. Bu Tari melepas ritsluiting celanaku, memasukan tangannya ke celana
dalamku dan meremas-remas penisku yang tegang dengan geregetan.
“Heemm” Ucapnya lalu membimbingku masuk ke kamarnya berjalan mundur dengan memegang dan menarik penisku. Itu membuat kami tertawa. Pintu kamar dikuncinya cepat-cepat. Kubuka bajuku dan Bu Tari setengah menunduk membuka celanaku lalu mencari penisku. Begitu dapat langsung dimasukan ke mulutnya, dijilati dihisap-hisap, diciumi dan kadang dikocok-kocok dengan tangannya. Yang begini belum pernah dia lakukan.
“Heemm” Ucapnya lalu membimbingku masuk ke kamarnya berjalan mundur dengan memegang dan menarik penisku. Itu membuat kami tertawa. Pintu kamar dikuncinya cepat-cepat. Kubuka bajuku dan Bu Tari setengah menunduk membuka celanaku lalu mencari penisku. Begitu dapat langsung dimasukan ke mulutnya, dijilati dihisap-hisap, diciumi dan kadang dikocok-kocok dengan tangannya. Yang begini belum pernah dia lakukan.

Aliran kenikmatan merambat sampai ubun-ubun kepalaku.
Aku memberinya isyarat agar melepaskan penisku. Aku dipuncak nafsu dan ingin
memasukan penisku langsung saja ke vaginanya, tapi dia menolak. Badanku rasanya
makin bergetar dengan tulang yang mau berlepasan dan syaraf-syaraf di tubuhku
rasanya kelojotan nikmat. Bu Tari begitu bernafsu dan nikmat memainkan penisku
di mulutnya
Aku tak tahan dan minta rebahan di
ranjang. Bu Tari melepas baju kebayanya. Dengan tetap BH masih di dada dan kain
jariknya yang belum terlepas, mulutnya langsung mengejar burung pusakaku sampai
dua biji telornyapun dia cium, jilat dan hisap. Aku makin bergelinjang,
melayang-layang nikmat. Hingga dipuncaknya, aku tak sempat lagi memberitahunya
kalau spermaku mau keluar. Hingga akkhh…, crott…, croot…, Crroott. Spermaku
muncrat di dalam mulut Bu Tari. Tapi Bu Tari justru malah bernafsu, menelannya
dan terus menghisap-hisap penisku sampai bersih, kasat dan ngilu rasanya. Aku
terkejut. Bangun terduduk.
“Ibu telan? Apa ibu tidak jijik?”,
Tanyaku bodoh.
Ibu Tari menggeleng, justru mukanya cerah, kepuasan terpancar di wajahnya. Aneh pikirku.
“Orang bilang, meminum air mani perjaka akan membuat perempuan awet muda. Lepas betul atau tidak yang terang Ibu sudah mencobanya barusan Sayang” Ucap Bu Tari lalu menciumiku dari muka sampai dadaku, sementara tangan kanannya terus meremas-remas penisku.
Ibu Tari menggeleng, justru mukanya cerah, kepuasan terpancar di wajahnya. Aneh pikirku.
“Orang bilang, meminum air mani perjaka akan membuat perempuan awet muda. Lepas betul atau tidak yang terang Ibu sudah mencobanya barusan Sayang” Ucap Bu Tari lalu menciumiku dari muka sampai dadaku, sementara tangan kanannya terus meremas-remas penisku.
“Ayo lagi Sayang, Ibu pingin kamu
puas” Ucap Bu Tari mesra. penisku yang tadi terkulai karena sudah keluar sperma
dan shock mulai menegang lagi akhirnya. Bu Tari kembali mengulum dan
menghisap-isap penisku.

“Kalau Ibu masih pingin, ambil semua sperma Saya” Ucapku, Ibu Tari tersenyum.
Kubuka BH-nya dan kutarik lilitan
kain jariknya. Bu Tari berdiri untuk memudahkan melepas kain jariknya. Tubuhnya
yang telanjang bulat langsung kuterkam, kurebahkan dan kutindih. Dua
payudaranya yang besar itu kuhisap-hisap putingnya bergantian. Tangan kananku
menggosok-gosok vaginanya. Kuciumi, kujilati dan kuhisap-hisap semua bagian
yang menurut instingku bisa membangkitkan gairahnya. Bibir, lidah, telinga,
leher, payudara, perut, pusar, paha, vagina, betis sampai ke jari dan telapak
kakinya.
Tubuh Bu Tari bergelinjangan tak
karuan dadanya naik-turun kelojotan. Tangan kirinya meremas-meremas payudaranya
dan tangan kanannya menggosok-gosok vaginanya sendiri. Konde rambut Bu Tari
hampir terlepas. Mulutku naik lagi ke atas menyusuri betis dan paha hingga
akhirnya berhenti di vaginanya. Dengan kedua tanganku kusibak pelan bulu
vaginanya. Kulihat belahan vaginanya yang memerah berkilat dan bagian dalamnya
ada yang berdenyut-denyut. Kuciumi dengan lembut, bau divaginanya membuat
sensasi yang aneh. Tak pernah ada bau seperti ini yang pernah kukenal rasanya.
Dengan hidung kugesek-gesek
belahan vagina Bu Tari sambil menikmati aroma baunya. Erangan dan gelinjangan
tubuhnya terlihat seperti pemandangan yang indah sekaligus menggairahkan.
“Aakhhk…, eekhh…, nikmat sekali
sayang. Teruuss sayang”, Rintih Bu Tari.
Kujulurkan lidahku, kujilat sedikit vaginanya, ada rasa asin. Lalu dari bawah sampai atas kujulurkan lidahku menjilati belahan kewanitaannya. Begitu seterusnya naik turun sambil melihat reaksi Bu Tari.
Kujulurkan lidahku, kujilat sedikit vaginanya, ada rasa asin. Lalu dari bawah sampai atas kujulurkan lidahku menjilati belahan kewanitaannya. Begitu seterusnya naik turun sambil melihat reaksi Bu Tari.
“Akkhh…, Akkhh…, Akkhh…, Engghh”
Bu Tari terus merintih nikmat, tangannya mencari tangan kananku, meremas-remas
jariku lalu membawanya ke payudaranya. Aku tahu dia ingin yang meremas
payudaranya adalah tanganku. Begitu kulakukan terus, tangan kananku meremas
payudaranya, mulutku menjilati dan menghisap-hisap vaginanya, tangan kiriku
mengelus-elus pinggang, paha sampai ke betisnya yang putih mulus dan halus itu.
“Akkhh…, sudah Sayang…, sudah…,
ayo sekarang Sayang Ibu sudah tak tahan akkhh…, masukan sayang, masukan” Desah
Bu Tari mengerang meraih kepalaku agar menghentikan jilatan di vaginanya dan
minta disetubuhi. Tanpa harus mengulangi lagi permintaannya langsung saja aku
merangkak naik, menindih tubuh Bu Tari. Bu Tari melebarkan pahanya. Penisku
menuju vaginanya. Beberapa kali kucoba, memasukan, beberapa kali pula gagal.
Aku tak tahu mana yang pas lubangnya, mana yang hanya belahan vagina.
Tapi tangan Bu Tari segera
membantu, memegang penisku, membimbing ke depan lubang vaginanya lalu berkata
“Ya itu Sayang…, disitu…, tekan Sayang tekan…, disitu…, aakkhh…, ayo Sayang…,
Ibu tak tahan…, oo.., akkhh” Ibu Tari merintih ketika penisku yang kutekan
masuk seluruhnya ke lubang vaginanya. Sejenak tubuhku kaku, aku diam saja, aku
nervous. Batang penisku rasanya terjepit oleh dinding vagina Bu Tari yang
seperti berdenyut-denyut dan menghisap-hisap. Nikmat luar biasa. Ini yang
pertama.

Bu Tari menggoyang-goyangkan
pinggulnya, setengah berputar-putar dan kadang naik turun. Penisku yang
tertancap di vaginanya yang setengah becek dibuat seperti mainan yang
membuatnya nikmat tak karuan.
“Ayo Sayang…, ayo…, bareng-bareng
Sayang… Ibu mau keluar Sayang…, ayo…, ayo..” Rintih Bu Tari dengan mata
setengah terpejam dan mulutnya yang terus terbuka mendesah-desah dan kian kuat
menggoyang-goyangkan pinggulnya.

Akupun terus mengimbanginya sampai tiba-tiba
Bu Tari seperti terdiam dan kedua tangannya merangkul leherku kuat-kuat dan
dari mulutnya keluar desahan panjang. “Aakkhh…, Oukhh…, Engkhh…”, Bersamaan
dengan rintih kepuasannya, denyutan dan hisapan vagina Bu Tari makin kuat dan
nikmat rasanya.

Akupun sudah tak tahan lagi dan
ingin agar spermaku segera keluar. Karenanya kunaik-turunkan penisku,
kuputar-putar dan kunaik-turunkan terus hingga akhirnya croott…, croott…,
crroot. “Akhh…” Bersamaan dengan muncratnya spermaku di vaginanya, kembali Bu
Tari mendesah nikmat. Napasku memburu, aku lemas sekali rasanya. Sementara Bu
Tari tetap menggoyang-goyangkan pinggulnya dengan pelan dan tangannya
mengelus-elus rambutku.

Beberapa saat kubiarkan tubuhku
menindih tubuh bugil Bu Tari tanpa tangan atau dengkulku menahan beban badanku.
Penisku tetap menancap di vaginanya. Ketika ingin kucabut Bu Tari melarangnya.
“Jangan sayang, jangan dicabut dulu, biarkan ibu memiliki dan menikmatinya,
peluk…, peluk…, tetap tindihlah Ibu sayang. Ibu puas, Kamu puas sayang hemm?..,
nikmat sayang?..” Ucap Bu Tari sambil terus menciumiku.

Malam itu kami habiskan tidur
sambil berpelukan di ranjang yang biasa Ibu Tari tidur dan bersetubuh dengan
suaminya. Tapi sejak malam itu dan disetiap kesempatan yang ada kusetubuhi pula
Bu Tari di ranjang yang sama. Aku tak perlu lagi hanya beronani dengan
membayangkan bersetubuh dengannya, begitupula Bu Tari tak perlu lagi hanya
sekedar membayangkan bersetubuh denganku jika ia melayani suaminya.
Kami baru bersetubuh di hotel jika
salah satu dari kami sudah tak tahan lagi sementara kesempatan di rumah tak
ada. Atau ketika obsesiku kumat untuk bersetubuh dengan Bu Tari dalam pakaian
kebaya, kain jarik dan berkonde. Ini terkadang aneh, berlama-lama Bu Tari ke
salon rias, begitu selesai langsung ke Hotel dan kuacak-acak sampai berantakan.
(Aneh ya?!).
Sering pula jika keadaan
memungkinkan, Bu Tari suka menyelinap ke kamarku untuk “fast sex”. Seks cepat
dengan tetap masih berpakaian. Tandanya, Bu Tari masuk ke kamarku sudah tanpa
celana dalam dan dipuncak nafsu. Ini sering terjadi jika Bu Tari sedang butuh
tapi Pak Bagong tak acuh terus tidur. END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar