Dengan sedikit kesal
dan amarah aku bertanya kepada Hafida, kamu itu kenapa lagi sih!!!m “Maaf ya kak soalnya
aku juga jarang latihan.
“Nada kamu melenceng
semua, emangnya kalau tidak belajar langsung bisa, jangan dikira tanpa latihan
kamu bisa memainkan nada seksofon yang bagus. Kataku.
Wajah Hafida sedikit
membungkung ke bawah dengan wajah cemasnya, karena sebagai guru musik yng
melatih anak anak tidak bisa nyambung hal yang menyebalkan saat murid tidak
berlatih sama sekali. Ditambah lagi, ketika
aku sedang pusing mengerjakan tesis s2ku, dimana mengajar saksofon adalah
satu2nya hiburanku, murid yang satu ini membuat hatiku kesal. Hafida, 19 tahun,
seorang mahasiswi yang kebetulan satu universitas dengan tempatku mengambil
kuliah s2, menurutku sangat berbakat bermain saksofon. Tapi dia jarang sekali
latihan. Terdengar dari nadanya yang melenceng, dan tiupannya yang tidak
statis, pertanda dia jarang menyentuh alat musik itu.
Sebagai mahasiswa S2
yang membiayai kuliahnya sendiri, bermain musik dan mengajar musik adalah
tulang punggung utama yang membiayai kuliahku. Ayahku tidak bisa membiayai lagi
kuliahku karena beliau sudah lama meninggal.
Uang yang ibuku
berikan setiap bulannya hanya cukup untuk membayar kos saja. Uang untuk kuliah,
juga disokong oleh beasiswa. Tetapi beasiswanya tidak penuh. Itulah mengapa aku
menggunakan bakatku dalam bermain alat tiup saksofon untuk mencari uang,
mengajar maupun bermain di acara2 musik. Dari yang kulihat
lewat situs pertemanan facebook, Hafida tampak senang sekali bermain dengan
teman2nya entah itu nongkrong di kafe, jalan2 ke mall, maupun berkunjung ke
Bandung dengan teman2nya.
Itu tidak masalah
sebenarnya, tetapi jika dia meninggalkan latihan saksofonnya, itu masalah
buatku. Ada orang yang bilang kalo muridnya ngaco, berarti gurunya yang ga
bener. Itu membuatku menjadi gemas ketika Hafida selalu membuat kesalahan
ketika bermain. “udah ya, hari ini
sampai disini saja” aku membereskan saksofonku dan buku musik ku. “tapi kak…”
Hafida memotong ucapanku
“tapi kenapa… pokoknya
minggu depan saya tes lagi yang tadi ya, jangan sampe ga bisa kayak sekarang.”
Aku segera bergegas keluar, memakai jaket, mengisi absen guru di meja
resepsionis, dan keluar untuk menyalakan mesin motorku. Sudah mau maghrib
rupanya. Hafida menyusulku
keluar.
“Kak… maafin aku ya….
Aku emang lagi banyak kegiatan akhir2 ini, jarang latihan….” Ucapnya. “yaudah…
minggu depan perbaikin oke” aku memakai helmku.
“saya pulang dulu ya”
aku mengendarai motorku menjauhi tempat les itu. Dari spion aku bisa melihat
Hafida masuk ke dalam city car nya.
Pertemuanku dengan
Hafida bermula ketika aku mengisi acara yang diadakan oleh BEM kampusnya. Dia
menjadi panitia, LO band yang beranggotakan diantaranya aku sendiri. Berawal
dari ngobrol2 Hafida rupanya bermain saksofon juga dan dia ingin belajar
dariku. Karena aku mengajar di
salah satu sekolah musik yang mentereng di Jakarta, kusuruh saja dia daftar,
dan dia pada akhirnya mendaftar untuk menjadi muridku.
Sebenarnya Hafida
menyenangkan, senang melucu dan mudah akrab. Tetapi kekurangannya ya itu, malas
berlatih, entah hari2nya dihabiskan oleh apa selain kuliah. Apakah itu main,
pacaran, aku tidak terlalu tahu, karena obrolan antara aku dan Hafida hanya berkisar
musik, lokal maupun musik global.
Aku kembali ke
kosanku, kunyalakan laptop hasil tabungan sendiri itu. Sebenarnya aku bukan
dari keluarga yang kurang mampu, hanya saja ayahku orangnya disiplin dan tidak
memanjakan anaknya.
Waktu aku kuliah s1 di
bandung dulu, ketika mampu mencari uang sendiri, aku sudah mulai meringankan
beban orang tuaku dengan tidak meminta uang jajan. Ketika sebelum aku lulus s1,
ayahku meninggal dan wasiat terakhirnya adalah agar aku terus meneruskan
sekolah. Kujalani pesan ayahku,
dan nyatanya, walaupun hanya dari mengajar dan bermain musik, aku bisa
menabung, membayar uang kuliah, dan menyicil motor, walaupun uang untuk kos
masih dibantu oleh ibuku.
Sedangkan Hafida, bisa
dilihat hidupnya amat mudah. Orang tua yang kaya, dan memanjakan anaknya,
terlihat dari saksofonnya yang terlihat baru dan kinclong, beda dengan saksofon
tua ku yang hasil nabung sendiri itu.
Naik mobil kemana,
jalan2, pacarnya pun aku kenal, walau hanya sebatas tahu sama tahu saja. Anak
orang kaya juga. Kehidupan mereka berbeda jauh denganku. Tampaknya apa2 saja
yang mereka inginkan mudah didapat.
minggu Jam 4 sore. Aku
menunggu hujan reda di kosanku. Jam 5 harusnya aku sudah di sekolah musik itu.
Tapi karena aku memakai motor, maka aku hanya bisa menunggu. Waktu terus
berlalu.
Hujan tidak reda.
Hujan tidak reda.
Maghrib sudah tiba,
dan aku sudah menelpon ke sekolah musik itu untuk membatalkan les hari ini. Aku
tidur2an di kasurku, malas untuk keluar kemana2 lagi.
Tiba2 handphoneku
berbunyi. Aku melihat layar handphoneku. Ternyata nomor Hafida.
“Halo kak….” Hafida
mengawali pembicaraan
“Eh kamu, ada apa ?
udah tau kan lesnya ga jadi ? “ jawabku
“Aku ada di depan
kosan kakak” lanjutnya
“Eh…. Ngapain ? “ aku
heran. Hafida memutus telponnya. Aku bergegas keluar dari kamar kosanku, dan kulihat
Hafida dengan basah kuyup terguyur air hujan, berdiri di depan gerbang kosanku.
Tanpa pikir panjang aku mengambil payung, lari dan membuka pintu gerbang.
“Lho kamu kenapa ? kok
kehujanan ? mobil kamu mana ? “ tanyaku bertubi2. Hafida hanya diam saja. DIa
menggigil menahan dingin, sekilas kulihat matanya memerah dan ada bekas
tangisan.
Untung saja tidak ada
orang yang lihat, jadi Hafida bisa masuk ke kamarku. Karena kamar mandinya ada
di dalam kamar, kusuruh Hafida untuk mandi. Tak lupa kuberikan t shirt ku yang
ukurannya agak kecil dan celana pendek, juga handuk yang biasa kupakai.
Aku agak khawatir
sebenarnya. Karena di kosan ini tidak boleh membawa tamu perempuan ke dalam
kamar. Aku tidak tahu apa yang bakal terjadi kalau orang2 kosan mengira aku dan
Hafida melakukan hal2 yang tidak senonoh. Aku hanya diam menatap pintu kamar
mandi. Suara air mengalir dari shower bisa kudengar dengan jelas.
Tak berapa lama Hafida
keluar, dengan memakai baju yang tadi kusiapkan. Dia sedang berusaha
mengeringkan rambutnya dengan menggosok2annya dengan handuk. Bisa kulihat
matanya masih merah. “Kenapa sih kamu ?”
aku memberanikan diri bertanya
“Ceritanya panjang
kak….” Katanya sembari duduk disampingku, di pinggir ranjang.
“kalo ga mau cerita ga
usah dipaksa” aku lalu berdiri dan memakai jaket
“Saya beli makan ya,
kamu diem disini dulu, jangan ikut keluar, soalnya di kosan ini ga boleh ada
tamu cewek masuk ke dalam kamar” “ dan jangan ribut, nanti dikirain saya
nyelundupin kamu ke dalem” kataku mengingatkan
Aku tidak habis pikir.
Apa yang ada di pikiran Hafida sehingga dia nekat datang ke kosan guru
musiknya. Aku berjalan dengan payung di tengah hujan, menuju tukang nasi goreng
untuk memesan 2 porsi, dibawa pulang.
Aku kembali ke kamar
kosan. Hujan telah reda. Aku membuka kunci kamar, dan menemukan Hafida sedang
menerima telpon dengan air mata yang menetes. Aku segera menutup pintu kamar
dan menyiapkan makanan. Hafida hanya diam saja, dan dia serta merta menutup
telponnya.
“Eh… makan dulu…” aku
menegurnya
Hafida hanya diam.
Sejenak kami berdua terdiam beberapa saat.
“Kak… ada tisu ?”
Hafida akhirnya membuka mulut. Aku segera mengambilkan tisu dari laci meja
belajarku. Hafida mengusap air matanya dan menarik nafas panjang.
“Maaf ya kak aku
ngerepotin” Hafida mengambil makanannya dan mulai makan.
“Gapapa kok, santai
aja” “Ntar kalo bajunya dah kering saya anter kamu pulang ya” jawabku. “Ga usah kak…. Aku mau
disini aja” pernyataan Hafida membuatku kaget.
“Tapi, saya kan udah
bilang, kosan disini ga boleh nerima tamu cewek sebenernya “ Aku sengaja
mempertegas kata2ku.
“Aku gak akan ribut
kak. Janji” jawabnya
Aku hanya menghela
nafas sambil ogah2an menyantap nasi gorengku. Apa sih maunya dia, begitu
pikirku. “Kalo mau minum ambil
tuh gelasnya di rak di deket pintu kamar mandi” ucapku setelah Hafida
menyelesaikan makanannya. Hafida menurut dan mengambil gelas, dan menuangkan
air dari dalam dispenser.
Aku tidak menghabiskan
makananku, dan menyalakan laptopku. Jujur saja aku bingung bagaimana harus
menghadapi Hafida. Aku jarang pacaran, ketika kuliah aku malah tidak sempat
pacaran. Sibuk oleh kuliah dan musik. Apalagi sekarang, kuliah, musik, ngajar.
Itulah yang menyebabkanku agak canggung hanya berdua di kamar dengan seorang
perempuan.
“Kalau mau baca2
majalah itu ada di rak di atas kasur” Aku berkata seperti itu karena Hafida
terlihat hanya duduk di tepi ranjang dan memandang lantai dengan tatapan kosong
Tapi Hafida seakan
tidak menggubris ucapanku. Dia masih melamun
“Hafida. Kenapa sih ?”
Aku makin penasaran.
Hafida tampak kaget
mendengar pertanyaanku.
“Hmmm. Aku heran kak
apa sih yang dimauin sama laki2” dia membuka dialog
“Kenapa gitu ?” aku
turun dari kursi dan duduk di karpet. Hafida pun turun dari pinggir ranjang dan
duduk di hadapanku.
“Tadi aku rencananya
bolos les kak.” jawab Hafida
“Terus ?”
“Aku jalan2 sama
pacarku tadi. Pas jam 5, jam harusnya aku les, aku di dalem mobil pacarku, dia
lagi nyetir, rencananya mau jalan cari makan terus nonton” Hafida melanjutkan
ceritanya.
“Entah kenapa
handphone dia ditaruh di dashboard. Aku pinjem, mau main game yang ada di
hapenya. Dia ngebolehin, tapi entah kenapa aku tiba2 pingin buka inbox smsnya”
Halah. Pasti cowoknya
selingkuh, begitu pikirku dalam hati.
“Aku ngeliat sms2
mesra kak. Gak cuman satu tapi beberapa cewek”
Buset. Pikirku. Jagoan
banget tuh cowok.
“Aku kurang apa sama
dia coba ? bela2in bolos les, bela2in dia, selalu aku temenin, kok dia begitu
sama aku ?” dia mulai menangis lagi.
“Jijik liat sms2 itu,
sayang2an segala macem orang pacaran aja” Aku mengambilkan Hafida tisu lagi
karena airmatanya mengalir deras.
“Terus gimana ?” aku
memintanya melanjutkan ceritanya.
“Aku marah kak. Tapi
dia cuman diem aja ga ngomong apa2. Akhirnya di lampu merah aku keluar dari
mobil”
“Kan ujan” jawabku
sedikit tidak antusias. Entah mengapa kasus ini sangat klasik pada orang2 yang
pacaran. Tapi tampaknya Hafida sangat terpukul oleh kejadian tersebut.
“Biarin aja kak. Aku
jalan, ngejauh dari mobil, aku bisa denger sih dia nglakson terus.. tapi
setelah jauh dari mobilnya, aku bingung mau kemana. Tapi aku inget kalo tempat
tadi deket sama kosan kakak. Makanya aku kesini”
Memang dulu Hafida
pernah kesini diantar oleh pacarnya, mengambil partitur lagu.
“Terus ? kok kamu
malah kesini ? ga pulang aja ?” tanyaku sambil berusaha meyakinkan dia agar
pulang.
“Males nanti ditanyain
sama orang tua. kemana si pacar, kok pulang sendiri. Ribet “ jawabnya
“Lah kalo dicariin
gimana ?” aku makin bingung
“Aku udah bilang sama
orang tua aku mau tidur di rumah temen” “Tenang aja, mereka percaya kok..”
Aduh. Entah mengapa
menurutku Hafida berlebihan dalam menghadapi masalah ini. Kenapa gak putusin
aja cowok itu, cari taksi, pulang, tidur, besok lupa.
Tapi dia malah repot2 pergi
ke kosanku.
“Terus kamu mau
ngapain disini ?” tanyaku dengan malas
“Aku mau nenangin diri
dulu kak..”
Eh. Bukannya lebih
enak di rumah ? disitu kan bisa nangis bombay di depan orang tua. Dijamin bakal
ditenangin, abis nangis besoknya lega deh. Aku bingung melihat kerapuhannya
menghadapi masalah ini.
“yaudah lah terserah”
kataku “tapi inget, jangan ribut, jangan keluar kamar, besok pagi saya anterin
ke rumah”
“Iya kak” jawabnya
Jam2 berikutnya diisi
dengan obrolan2 yang biasa kami lakukan, soal musik, teknik bermain saksofon.
Tak lupa aku menyetel musik keras2 dari laptop dan menyalakan tv agar suara
kami tidak terdengar.
Tanpa terasa sudah jam
11 malam
“Aku ngantuk kak.”
Kata Hafida
“Hmm. kamu tidur di
atas aja, saya biar tidur di karpet” jawabku sekenanya.
“Enggak kak aku kan
tamu. Aku aja yang tidur di karpet” malah enak di gw. Aku pikir. Aku
mengiyakannya dan menggelar selimut cadangan di karpet, untuk alas tidur agar
agak empuk, dan memberinya selimut tipis serta bantal yang berlebih di ranjang.
Aku mematikan lampu, dan juga naik ke ranjang, bersiap untuk tidur.
“Jangan dimimpiin
kejadian yang tadi ya..” kataku mengingatkan
“Iya kak.”
Sepi. Aku hanya
menatap langit2 sambil memikirkan caranya besok pagi keluar tanpa ketahuan yang
jaga kos. Kebetulan aja tadi hujan besar sehingga penjaga kos tidak
memperhatikan pintu gerbang. Aku agak kesal dengan sikap Hafida.
Sudah malas latihan,
dan tidak berpikir panjang. Sebenernya muncul rasa kasihan yang besar dalam
diriku. Dia belum dewasa, belum bisa mengambil keputusan dengan matang, dan
akibatnya seperti ini. Ada di kos2an guru musiknya, dan tidur di lantai.
Ya sudahlah. Mungkin Hafida butuh teman malam ini, begitu pikirku.
Entah kenapa aku tidak
bisa tidur malam ini, harus kuakui kehadiran Hafida malam ini merusak
pikiranku. Bukan jadi buruk, tetapi pikiranku menjadi kotor. Aku pernah
melakukan seks, sekali2nya waktu baru kuliah dulu. Pengalaman itulah yang
membuatku sedikit membayang2kan bagaimana kalau aku bermain cinta dengan
Hafida.
Hafida memang cantik,
kulitnya putih dan mukanya manis. Dan fakta2 itulah yang membuat pikiranku
menjadi kotor. Coba kalau dia laki2. pasti aku santai2 saja.
Lama aku tidak bisa
tidur. Aku sengaja menghadap ke tembok agar tidak melihat Hafida. Tiba2.. Jleg.
Aku merasa ranjangku dinaiki orang. Aku kaget, sedikit terkesiap tapi aku
berhasil mehanannya. Rupanya Hafida menaiki ranjangku.
“Kak aku tidur sama
kakak ya” katanya dengan nada merajuk. Damn
Aku tidak bisa menolak
karena dia sudah naik ke atas ranjang. “Ehh ni kalau mau pake selimut. Aku
memberikan bagian selimutku pada Hafida. Dia tampak agak malu, dan segera
mengambil bagian selimutnya, dan tidur membelakangiku.
Sial. Apa2an ini.
Kenapa dia naik ? apa karena kedinginan ? atau keras ? atau kenapa ?
Aku merasakan gerakan
di sebelahku.
“Kak maaf aku
sebenernya masih pengen ngobrol” “gapapa kan ?”
Aku membalik badanku
dan mendapati bahwa jarak mukaku dan muka Hafida tidak lebih dari 2 jengkal.
Matanya yang memerah menatapku penuh harap.
“Kamu ya Dengerin.
Kenapa sih mesti gini ? kamu sekarang ada di kamar cowok, tidur bareng satu
kasur. Ga pantes tau. Apa saya tidur di bawah aja ya” Aku berusaha bangkit. “Ini yang aku suka
dari kakak” tiba2 Hafida berkata seperti itu.
“Eh..” Aku heran dan
mematung sejenak
“Kakak orangnya tegas”
“gak kayak dia. egois udha gitu ga pernah bisa tegas dan ga punya pilihan”
“Manda tapi” Kata2ku
terhenti ketika tangannya menyentuh pipiku lembut.
“Aku suka sama kakak”
pengakuannya membuatku terhenyak. Apakah benar ? apa Hafida Cuma terbawa
perasaan akibat baru mengalami kekecewaan dalam berpacaran ?
Aku mematung. Terdiam.
Dalam hati aku mengakui bahwa sosok Hafida yang manis membuatku tertarik.
Tetapi selama ini aku selalu me-ignore perasaan itu karena 1, dia sudah punya
pacar, dan 2, aku tidak ada waktu untuk perempuan ditengah kesibukan tesis,
musik dan ngajar.
“Kak” tangannya terus
mengelus pipiku. Aku pun luluh. Tiba2 kami berdua saling memajukan wajah kami
masing2. kami menutup mata dan bibir kami pun bersentuhan. Kami berciuman
dengan pelan dan lembut. Hafida terus maju ke dalam pelukanku.
Aku meraih
pinggangnya, dan menggenggam tangan satunya. Telapak kaki kami saling
bersentuhan dan saling bertautan.di dalam selimut itu. kami berciuman dengan
hangat.
Kami melupakan batas
antara guru dan murid. Walaupun umur kami tidak berbeda jauh, hanya enam tahun,
namun rasanya ini seperti affair yang aneh antara guru dan murid. Walaupun guru
dan muridnya hanya di sekolah musik saja. Kami berciuman sangat lama. Entah
kenapa kami berdua tidak berciuman dengan nafsu dan tergesa2.
Tangan kiriku yang
menyentuh pinggang Hafida, tiba2 mulai nakal. Tanganku masuk ke dalam t shirt
yang dia pakai. Menyentuh kulit halusnya. Hafida tidak berontak. Dia malah
terus menciumiku. Hafida pun tidak protes ketika tanganku masuk kedalam celana
pendeknya dan memegang pantatnya. Damn. Rupanya dia tidak memakai celana dalam
dan BH. Aku melepaskan
ciumanku, dan mulai menciumi telinga dan lehernya.
“Ahh Kak ‘ Hafida
tampak menikmati perbuatanku. Tanganku terus bermain mencoba membuka celana
pendeknya. Hafida tidak berontak, kakinya malah beringsut membantuku melepas
celana pendek itu. Pada akhirnya aku melempar celana itu ke lantai. Aku mulai menyentuh
pahanya yang sangat mulus. Aku memeluknya erat, menempelkan perutnya di
perutku. “Kak.. “ Hafida
memanggilku
“Kenapa ?” Aku
menghentikan ciumanku di leher
“Kalau mau itu’ pelan2
ya. aku belum pernah” jawabnya pelan dengan nada pasrah dan tatapan penuh
harap.
Apa. Masih perawan ?
aku kaget. Kupikir setidaknya dia pernah tidur dengan pacarnya. Pantas saja dia
tidak bisa menyikapi kelakuan pacarnya dengan benar, pengalamannya sangatlah
minim. Aku terdiam. Mematung. Tidak dapat berpikir dengan jernih.
“Hafida kalau kamu gak
mau, jangan.” aku mundur
“Gak apa2 kak. Kalau
sama kakak aku mau..” Hafida meraih tanganku.
“Kamu belum pernah.
jangan dipaksa kalau gak mau.” aku berusaha berpikir jernih.
Hafida terdiam, tetapi
dia malah masuk ke pelukanku kembali.
“Aku mau.” jawabnya
pelan
“Aku Cuma minta kakak
perlakukan aku dengan lembut”
“Tapi” aku masih
bertahan
“Kak. aku mau kasih ke
kakak malem ini” “itu karena aku suka sama kakak” “dari pertama ketemu, tapi
kakak tampaknya cuek sama aku. tapi aku makin suka karena tau kakak orangnya
tegas, dewasa, “
“Hafida, itu cuman
perasaan pelarian aja” jawabku
Hafida hanya diam.
Tetapi dia menjawab dengan semakin masuk ke dalam pelukanku.
Dia memelukku dengan erat, dan tidak mau melepasku.
Dia memelukku dengan erat, dan tidak mau melepasku.
“Aku mau ngelakuinnya
cuman sama kakak” Hafida tetap gigih. Kami berpandangan sangat lama. Hingga
akhirnya aku menciumnya kembali. Pertahanan akal sehatku runtuh.
Tanganku terus
melingkari pinggangnya yang ramping itu. Hafida perlahan2 bergerak menindih
tubuhku. Badannya naik ke atas badanku.
Tangannya mencoba
membuka t shirt ku tapi tampaknya dia agak canggung melakukannya. Aku
melepaskan tanganku dari pinggangnya dan membantunya membuka atasanku. Setelah
itu aku berusaha bangkit dan duduk. Hafida memegang bahuku dan mencoba maju
menciumku.
Aku menahannya dan
memegang kedua tangannya. Aku menatap matanya lekat2. Hafida menatapku malu2.
Aku sedikit tegang. Malam ini kedua kalinya aku berhubungan seks. Dan ini yang
pertama bagi Hafida. Jantungku berdetak hebat. Aku menggenggam ujung t shirt
yang dia pakai. Pelan2 kutarik keatas. Hafida menurut dengan mengangkat
tangannya.

Hafida sudah telanjang
bulat di pangkuanku. Kedua tangannya disilangkan, menutupi buah dadanya yang
kecil. Dia sedikit menunduk dan tampak sangat malu. Pasti ini pertama kalinya
dia telanjang bulat di depan laki2.
Aku memegang dagunya
dan mengangkat wajahnya. Tak berapa lama kucium bibirnya lembut. Aku
menggenggam kedua tangannya dan mulai menciumi lehernya, terus sampai ke buah
dadanya yang kecil
Aku menciumi
putingnya. Kurasakan badannya agak gemetar, entah karena geli atau agak takut.
“Uhh.. Kak geli..” Hafida mendesah kecil. Aku berbisik kepadanya “Jangan
terlalu berisik ya nanti bisa gawat kalau ketahuan penjaga kos”
Hafida mengangguk
pelan. Aku melanjutkan menciumi buah dadanya. Sempat kulihat Hafida menggigit bibirnya.
Menahan agar dia tidak ribut. “Ngggh. mmmhhh” Hafida terus mendesah. Aduh,
bagaimana nanti ketika kami sampai ke inti permainan ?.
Aku menyuruh Hafida
untuk turun dari pangkuanku. Aku segera melepaskan celanaku. Hafida nampak agak
kaget ketika melihat penisku. Ini pertama kalinya juga dia melihat penis lelaki
langsung. Hafida duduk di sampingku. “Hafida, kalau kamu emang ga siap,
mendingan gak usah.” Aku menatap wajahnya yang tampak malu bersemu merah,
“ Ga apa2 kak. udah
sampe sini.” dia tersenyum kecil walau aku bisa merasakan bahwa dia merasa
gugup dan deg2an. Aku memegang lembut tangannya dan mencium keningnya. Lalu aku
menariknya pelan agar kembali duduk di pangkuanku.
Hafida duduk
membelakangiku. Punggungnya sungguh mulus dan bersih. Aku mulai menciumi
bahunya, terus sampai keleher. Kupeluk erat pinggangnya dan bisa kurasakan
tangan Hafida memeluk erat leherku. Lama kuciumi bagian belakang leher dan
punggungnya. Tak tahan lagi, pelan2 kubimbing Hafida untuk berbaring di kasur.
Aku memegang lututnya dan kulebarkan pahanya.
Aku menindih badannya.
Tangan Hafida menahan bahuku. Aku sejenak mematung memandangi Hafida. Patutkah
kurenggut keperawanan perempuan manis ini ? Haruskah dia melakukannya denganku
?
Hafida balik menatapku
dan berkata “Kak.. pelan2 ya aku tau pasti sakit pada awalnya”
“Kalau kamu gak mau,
bisa kita hentiin sekarang kok.. “ aku menjawabnya.
Hafida menggeleng
pelan. “Aku siap kak..”
Kepala penisku
menyentuh bibir vaginanya yang telah basah. Pelan2 kugesekkan kepala penisku di
bibir vaginanya. Hafida mengejang2 geli. Aku memperbaiki posisi dengan
menggenggam tangannya.

Kurasakan pelan,
penisku memasuki bibir vaginanya. Sempit sekali. Aku berkonsentrasi penuh
memasuki vaginanya.
“Nggggh.Ahhh.. “
Hafida menahan sakit. Bisa kulihat dia menggigit bibirnya dan matanya sedikit
berkaca2. “Uhhhh..” dia menarik napas lega ketika penisku masuk penuh kedalam
vaginanya. Aku mulai menggerakkan penisku maju mundur dengan pelan.
Hafida tampak menutup
matanya, dan meringis seperti menahan sakit. Aku mencabut penisku. Kulihat
penisku berlumur darah perawan Hafida.
“Sakit? Kalau kamu ga
tahan sakitnya ga usah dilanjutin” Aku khawatir
“Gapapa kak..” Hafida
tersenyum dengan mata agak berkaca2.
Aku menarik nafas
panjang, kuputuskan untuk tidak merubah2 posisi bercinta kami, terlalu dini
untuk kami berdua. Ditambah lagi pengalaman kami berdua sangat minim.
Aku kembali memasukkan
penisku ke lubang vaginanya. Sudah lebih mudah, walau masih sempit. Kurasakan
dinding vaginanya yang hangat mengapit penisku erat.
“Mmmhhhh.kak.. “
Hafida mendesah pelan, dia sudah tidak meringis atau menggigit bibir lagi
seperti sekarang.

Aku terus memaju
mundurkan penisku dengan pelan namun temponya stabil. “Uhhh..” Hafida tiba2
mencengkram erat bahuku. Seakan ingin mencakarnya.
“Mmmmhhh” Kaki Hafida
mencengkram erat pinggangku. Aku tahu dia akan orgasme. Terlalu cepat mungkin.
Tetapi wajar. Karena ini pengalaman pertama bagi Hafida. Dia belum tahu
bagaimana mengatur tempo, merubah posisi, ditambah lagi malam ini semuanya aku
yang mengendalikan.
Hafida terus bersuara
kecil mengikuti tempo goyanganku. “Nggg mmmmhh.”
Tiba2 aku menghentikan
gerakanku. Aku tak ingin aku bablas keluar di dalam. Kaki Hafida kuat
mencengkram pinggangku. Malam ini adalah pengalaman pertamanya. Wajar jika dia
tampak tegang atau gugup. Aku tak mau jika ketegangannya mengakibatkan
kecelakaan yang tidak diinginkan.
“ah. kenapa kak ?”
tanyanya polos dengan nafas tidak teratur
“Enggak tadi kamu
ngejepit pingganggku terlalu keras aku takut kalau nanti aku keluar di dalem”
jawabku.
“oh. “Hafida
“kamu santai ya
sayang.” aku mengelus rambutnya lembut dan dia hanya mengangguk pelan.
Pelan2 aku mengisyaratkan agar Hafida tidur tengkurap. Dari belakang aku memposisikan kepala penisku tepat di lubang vaginanya.
Pelan2 aku mengisyaratkan agar Hafida tidur tengkurap. Dari belakang aku memposisikan kepala penisku tepat di lubang vaginanya.
Pelan2 aku masukkan
kembali. “hmmhhh aaahhhh” Hafida kembali mendesah ketika kumasukkan penisku.
Aku memeluk pinggangnya dan membimbingnya naik. Kami bercinta dalam posisi
doggy style. Tangan Hafida bertumpu pada kasur.
Aku menggerakkan
penisku maju mundur sembari memegang erat pinggangnya. “Uuuuuh. Ahhh.. “ Hafida
tidak bisa menahan lagi suaranya.

Entah karena kesakitan
atau keenakan. Tapi kalaupun kesakitan, dia tidak berontak. Hafida terus
mengerang. Entah berapa lama kami melakukannya. “Kak. aku ahhh”
Aku tau Hafida akan
segera orgasme. Tapi aku tidak mencebut penisku. Aku malah makin bernafsu
menggerakkannya. Tumpuan tangannya semakin lemas. Aku secara refleks malah
menarik tangannya kebelakang agar posisi tubuhnya tetap stabil.
Aku merasakan tubuhnya
menegang dan vaginanya menjepit erat penisku. “Aaaaah.. aaaahh.. nggghh.”
Hafida mengerang tanpa mempedulikan keadaan kamar kosku yang mungkin saja suara
malam itu bisa bocor ke kamar sebelah.
“Ngggghh aaaaaaaaaah”.
Tak berapa lama aku langsung mencabut penisku dan spermaku lalu muncrat
berantakan di luar vaginanya.

Hafida langsung dengan
lunglai menjatuhkan diri ke kasur. Aku pun merebahkan diri di sebelahnya. Kami
berpandangan dengan cukup lama dan berpelukan sampai kami tertidur.
Kini, kami bukan murid
dan guru lagi. Tapi lebih dari sekedar itu. Kami sering menghabiskan waktu
bersama di luar les, karena kami sekarang menjadi sepasang kekasih. Kejadian
malam itu, tidak pernah terulang lagi sampai sekarang. Dan kami tidak pernah
mengungkitnya lagi. Biarkan malam itu ada untuk dikenang saja dalam hati kami
masing2.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar