Selesai sekolah Sabtu itu langsung dilanjutkan rapat
pengurus OSIS. Rapat itu dilakukan sebagai persiapan sekaligus pembentukan
panitia kecil pemilihan OSIS yang baru. Seperti tahun-tahun sebelumnya,
pemilihan dimaksudkan sebagai regenerasi dan anak-anak kelas 3 sudah tidak
boleh lagi dipilih jadi pengurus, kecuali beberapa orang pengurus inti yang
bakalan “naik pangkat” jadi penasihat.
Usai rapat, aku bergegas mau langsung
pulang, soalnya sorenya ada acara rutin bulanan: pulang ke rumah ortu di
kampung. Belum sempat aku keluar dari pintu ruangan rapat, suara nyaring cewek
memanggilku.
“Didik .. “ aku menoleh, ternyata
Sarah yang langsung melambai supaya aku mendekat. “Dik, jangan pulang dulu. Ada
sesuatu yang pengin aku omongin sama kamu,” kata Sarah setelah aku mendekat.
“Tapi Rah, sore ini aku mau ke
kampung. Bisa nggak dapet bis kalau kesorean,” jawabku.
“Cuman sebentar kok Dik. Kamu tunggu
dulu ya, aku mberesin ini dulu,” Sarah agak memaksaku sambil membenahi
catatan-catatan rapat. Akhirnya aku duduk kembali.
“Dik, kamu pacaran sama Nita ya?”
tanya Sarah setelah ruangan sepi, tinggal kami berdua. Aku baru mengerti, Sarah
sengaja melama-lamakan membenahi catatan rapat supaya ada kesempatan ngomong
berdua denganku.
“Emangnya, ada apa sih?” aku balik
bertanya.
“Enggak ada apa-apa sih .. “ Sarah
berhenti sejenak. “Emmm, pengin nanya aja.”
“Enggak kok, aku nggak pacaran sama
Nita,” jawabku datar.
“Ah, masa. Temen-temen banyak yang
tahu kok, kalau kamu suka jalan bareng sama Nita, sering ke rumah Nita,” kata
Sarah lagi.
“Jalan bareng kan nggak lantas
berarti pacaran tho,” bantahku.
“Paling juga pakai alasan kuno ‘Cuma
temenan’,” Sarah berkata sambil mencibir, sehingga wajahnya kelihatan lucu,
yang membuatku ketawa. “Cowok di mana-mana sama aja, banyak bo’ongnya.”
“Ya terserah kamu sih kalau kamu
nganggep aku bohong. Yang jelas, sudah aku bilang bahwa aku nggak pacaran sama
Nita.”
Aku sama sekali tidak bohong pada
Sarah, karena aku sama Nita memang sudah punya komitmen untuk ‘tidak ada
komitmen’. Maksudnya, hubunganku dengan Nita hanya sekedar untuk kesenangan dan
kepuasan, tanpa janji atau ikatan di kemudian hari. Hal itu yang kujelaskan
seperlunya pada Sarah, tentunya tanpa menyinggung soal ‘seks’ yang jadi menu
utama hubunganku dengan Nita.
“Nanti malem, mau nggak kamu ke
rumahku?” tanya Nita sambil melangkah keluar ruangan bersamaku.
“Kan udah kubilang tadi, aku mau
pulang ke rumah ortu nanti,” jawabku.
“Ke rumah ortu apa ke rumah Nita?”
tanya Sarah dengan nada menyelidik dan menggoda.
“Kamu mau percaya atau tidak sih,
terserah. Emangnya kenapa sih, kok nyinggung-nyinggung Nita terus?” aku gantian
bertanya.
“Enggak kok, nggak kenapa-kenapa,”
elak Sarah. Akhirnya kami jalan bersama sambil ngobrol soal-soal ringan yang
lain. Aku dan Sarahpun berpisah di gerbang sekolah. Nita sudah ditunggu
sopirnya, sedang aku langsung menuju halte. Sebelum berpisah, aku sempat
berjanji untuk main ke rumah Nita lain waktu.
Diam-diam aku merasa geli. Masak
malam minggu itu jalan-jalan sama Sarah harus ditemani kakaknya, dan diantar
sopir lagi. Jangankan untuk ML, sekedar menciumpun rasanya hampir mustahil.
Sebenarnya aku agak ogah-ogahan jalan-jalan model begitu, tapi rasanya tidak
mungkin juga untuk membatalkan begitu saja. Rupanya aturan orang tua Sarah yang
ketat itu, bakalan membuat hubunganku dengan Sarah jadi sekedar roman-romanan
saja. Praktis acara pada saat itu hanya jalan-jalan ke Mall dan makan di ‘food
court’.
Di tengah rasa bete itu aku coba
menghibur diri dengan mencuri-curi pandang pada Mbak Indah, baik pada saat
makan ataupun jalan. Mbak Indah, adalah kakak sulung Sarah yang kuliah di salah
satu perguruan tinggi terkenal di kota ‘Y’. Dia pulang setiap 2 minggu atau
sebulan sekali. Sama sepertiku, hanya beda level. Kalau Mbak Indah kuliah di
ibukota propinsi dan mudik ke kotamadya, sedang aku sekolah di kotamadya
mudiknya ke kota kecamatan.
Wajah Mbak Indah sendiri hanya masuk
kategori lumayan. Agak jauh dibandingkan Sarah. Kuperhatikan wajah Mbak Indah
mirip ayahnya sedang Sarah mirip ibunya. Hanya Mbak Indah ini lumayan tinggi,
tidak seperti Sarah yang pendek, meski sama-sama agak gemuk.
Kuperhatikan daya tarik seksual Mbak
Indah ada pada toketnya. Lumayan gede dan kelihatan menantang kalau dilihat
dari samping, sehingga rasa-rasanya ingin tanganku menyusup ke balik T-Shirtnya
yang longgar itu. Aku jadi ingat Nita. Ah, seandainya tidak aku tidak ke rumah
Sarah, pasti aku sudah melayang bareng Nita.
Saat Sarah ke toilet, Mbak Indah
mendekatiku.
“Heh, awas kamu jangan macem-macem
sama Sarah!” katanya tiba-tiba sambil memandang tajam padaku.
“Maksud Mbak, apa?” aku bertanya
tidak mengerti.
“Sarah itu anak lugu, tapi kamu
jangan sekali-kali manfaatin keluguan dia!” katanya lagi.
“Ini ada apa sih Mbak?” aku makin
bingung.
“Alah, pura-pura. Dari wajahmu itu
kelihatan kalau kamu dari tadi bete,” aku hanya diam sambil merasa heran karena
apa yang dikatakan Mbak Indah itu betul.
“Kamu bete, karena malem ini kamu
nggak bisa ngapa-ngapain sama Sarah, ya kan?” aku hanya tersenyum, Mbak Indah
yang tadinya tutur katanya halus dan ramah berubah seperti itu.
“Eh, malah senyam-senyum,” hardiknya
sambil melotot.
“Memang nggak boleh senyum. Abisnya
Mbak Indah ini lucu,” kataku.
“Lucu kepalamu,” Mbak Indah sewot.
“Ya luculah. Kukira Mbak Indah ini
lembut kayak Sarah, ternyata galak juga!” Aku tersenyum menggodanya.
“Ih, senyam-senyum mlulu. Senyummu
itu senyum mesum tahu, kayak matamu itu juga mata mesum!” Mbak Indah makin
naik, wajahnya sedikit memerah.
“Mbak cakep deh kalau marah-marah,”
makin Mbak Indah marah, makin menjadi pula aku menggodanya.
“Denger ya, aku nggak lagi bercanda.
Kalau kamu berani macem-macem sama adikku, aku bisa bunuh kamu!” kali ini Mbak
Indah nampak benar-benar marah.
Akhirnya kusudahi juga menggodanya
melihat Mbak Indah seperti itu, apalagi pengunjung mall yang lain kadang-kadang
menoleh pada kami. Kuceritakan sedikit tentang hubunganku dengan Sarah selama
ini, sampai pada acara ‘apel’ pada saat itu.
“Kalau soal pengin ngapa-ngapain,
yah, itu sih awalnya memang ada. Tapi, sekarang udah lenyap. Sarah sepertinya
bukan cewek yang tepat untuk diajak ngapa-ngapain, dia mah penginnya
roman-romanan aja,” kataku mengakhiri penjelasanku.
“Kamu ini ngomongnya terlalu terus-terang ya?” Nada Mbak Indah sudah mulai normal kembali.
“Kamu ini ngomongnya terlalu terus-terang ya?” Nada Mbak Indah sudah mulai normal kembali.
“Ya buat apa ngomong mbulet. Bagiku
sih lebih baik begitu,” kataku lagi.
“Tapi .. kenapa tadi sama aku kamu
beraninya lirak-lirik aja. Nggak berani terus-terang mandang langsung?”
Aku berpikir sejenak mencerna maksud
pertanyaan Mbak Indah itu. Akhirnya aku mengerti, rupanya Mbak Indah tahu kalau
aku diam-diam sering memperhatikan dia.
“Yah .. masak jalan sama adiknya,
Mbak-nya mau diembat juga,” kataku sambil garuk-garuk kepala.
Setelah itu Sarah muncul dan
dilanjutkan acara belanja di dept. store di mall itu. Selama menemani kakak
beradik itu, aku mulai sering mendekati Mbak Indah jika kulihat Sarah sibuk
memilih-milih pakaian. Aku mulai lancar menggoda Mbak Indah.
Hampir jam 10 malam kami baru keluar
dari mall. Lumayan pegal-pegal kaki ini menemani dua cewek jalan-jalan dan belanja.
Sebelum keluar dari mall Mbak Indah sempat memberiku sobekan kertas, tentu saja
tanpa sepengetahuan Sarah.
“Baca di rumah,” bisiknya.
Aku lega melihat Mbak Indah datang ke
counter bus PATAS AC seperti yang diberitahukannya lewat sobekan kertas. Kulirik
arloji menunjukkan jam setengah 9, berarti Mbak Indah terlambat setengah jam.
“Sori terlambat. Mesti ngrayu
Papa-Mama dulu, sebelum dikasih balik pagi-pagi,” Mbak Indah langsung ngerocos
sambil meletakkan hand-bag-nya di kursi di sampingku yang kebetulan kosong.
Sementara aku tak berkedip memandanginya. Mbak Indah nampak sangat feminin
dalam kulot hitam, blouse warna krem, dan kaos yang juga berwarna hitam. Tahu
aku pandangi, Mbak Indah memencet hidungku sambil ngomel-ngomel kecil, dan kami
pun tertawa. Hanya sekitar sepuluh menit kami menunggu, sebelum bus berangkat.
Dalam perjalanan di bus, aku tak
tahan melihat Mbak Indah yang merem sambil bersandar. Tanganku pun mulai
mengelu-elus tangannya. Mbak Indah membuka mata, kemudian bangun dari
sandarannya dan mendekatkan kepalanya padaku.
“Gimana, Mbaknya mau di-embat juga?”
ledeknya sambil berbisik.
“Kan lain jurusan,” aku membela diri.
“Adik-nya jurusan roman-romanan, Mbak-nya jurusan … “ Aku tidak melanjutkan
kata-kataku, tangan Mbak Indah sudah lebih dulu memencet hidungku. Selebihnya
kami lebih banyak diam sambil tiduran selama perjalanan.
Yang disebut kamar kos oleh Mbak
Indah ternyata sebuah faviliun. Faviliun yang ditinggali Mbak Indah kecil tapi
nampak lux, didukung lingkungannya yang juga perumahan mewah.
“Kok bengong, ayo masuk,” Mbak Indah
mencubit lenganku. “Peraturan di sini cuman satu, dilarang mengganggu tetangga.
Jadi, cuek adalah cara paling baik.”
Aku langsung merebahkan tubuhku di
karpet ruang depan, sementara setelah meletakkan hand-bag-nya di dekat kakiku,
Mbak Indah langsung menuju kulkas yang sepertinya terus on.
“Nih, minum dulu, habis itu mandi,”
kata Mbak Indah sambil menuangkan air dingin ke dalam gelas.
“Kan tadi udah mandi Mbak,” kataku.
“Ih, jorok. Males aku deket-deket
orang jorok,” Mbak Indah tampak cemberut. “Kalau gitu, aku duluan mandi,”
katanya sambil menyambar hand-bag dan menuju kamar. Aku lihat Mbak Indah tidak
masuk kamar, tapi hanya membuka pintu dan memasukkan hand-bag-nya. Setelah itu
dia berjalan ke belakang ke arah kamar mandi.
“Mbak,” Mbak Indah berhenti dan
menoleh mendengar panggilanku. “Aku mau mandi, tapi bareng ya?”
“Ih, maunya .. “ Mbak Indah menjawab
sambil tersenyum. Melihat itu aku langsung bangkit dan berlari ke arah Mbak
Indah. Langsung kupeluk dia dari belakang tepat di depan pintu kamar mandi.
Kusibakkan rambutnya, kuciumi leher belakangnya, sambil tangan kiriku
mengusap-usap pinggulnya yang masih terbungkus kulot. Terdengar desahan Mbak
Indah, sebelum dia memutar badan menghadapku. Kedua tangannya dilingkarkan ke
leherku.
“Katanya mau mandi?” setelah berkata
itu, lagi-lagi hidungku jadi sasaran, dipencet dan ditariknya sehingga terasa
agak panas. Setelah itu diangkatnya kaosku, dilepaskannya sehingga aku
bertelanjang dada. Kemudian tangannya langsung membuka kancing dan retsluiting
jeans-ku. Lumayan cekatan Mbak Indah melakukannya, sepertinya sudah terbiasa.
Seterusnya aku sendiri yang melakukannya sampai aku sempurna telanjang bulat di
depan Mbak Indah.
“Ih, nakal,” kata Mbak Indah sambil
menyentil rudalku yang terayun-ayun akibat baru tegang separo.
“Sakit Mbak,” aku meringis.
“Biarin,” kata Mbak Indah yang
diteruskan dengan melepas blouse-nya kemudian kaos hitamnya, sehingga bagian
atasnya tinggal BH warna hitam yang masih dipakainya. Aku tak berkedip
memandangi sepasang toket Mbak Indah yang masih tertutup BH, dan Mbak Indah
tidak melanjutkan melepas pakainnya semua sambil tersenyum menggoda padaku.
Birahi benar-benar sudah tak bisa
kutahan. Langsung kuraih dan naikkan BH-nya, sehingga sepasang toket-nya yang
besar itu terlepas.
“Ih, pelan-pelan. Kalau BH-ku rusak,
emangnya kamu mau ganti,” lagi-lagi hidungku jadi sasaran. Tapi aku sudah tidak
peduli. Sambil memeluknya mulutku langsung mengulum tokenya yang sebelah kanan.
Mbak Indah tidak berhenti mendesah
sambil tangannya mengusap-usap rambutku. Aku makin bersemangat saja, mulutku
makin rajin menggarap toketnya sebelah kanan dan kiri bergantian. Kukulum,
kumainkan dengan lidah dan kadang kugigit kecil. Akibat seranganku yang makin
intens itu Mbak Indah mulai menjerit-jerit kecil di sela-sela desahannya.
Beberapa menit kulakukan aksi yang
sangat dinikmati Mbak Indah itu, sebelum akhirnya dia mendorong kepalaku agar
terlepas dari toketnya. Mbak Indah kemudian melepas BH, kulot dan CD-nya yang
juga berwarna hitam. Sementara bibirnya nampak setengah terbuka sambil mendesi
lirih dan matanya sudah mulai sayu, pertanda sudah horny berat.
Belum sempat mataku menikmati
tubuhnya yang sudah telanjang bulat, tangan kananya sudah menggenggam rudalku.
Kemudian Mbak Indah berjalan mundur masuk kamar mandi sementara rudalku
ditariknya. Aku meringis menahan rasa sakit, sekaligus pengin tertawa melihat
kelakuan Mbak Indah itu.
Mbak Indah langsung menutup pintu
kamar mandi setelah kami sampai di dalam, yang diteruskan dengan menghidupkan
shower. Diteruskannya dengan menarik dan memelukku tepat di bawah siraman air
dari shower.

Dan …“mmmmhhhh …. “ bibirnya sudah
menyerbu bibirku dan melumatnya. Kuimbangi dengan aksi serupa. Seterusnya,
siraman air shower mengguyur kepala, bibir bertemu bibir, lidah saling mengait,
tubuh bagian depan menempel ketat dan sesekali saling menggesek, kedua tangan
mengusap-usap bagian belakang tubuh pasangan, “Aaaaaahhh,” nikmat luar biasa.
Tak ingat berapa lama kami melakukan
aksi seperti itu, kami melanjutkannya dalam posisi duduk, tak ingat persis
siapa yang mulai. Aku duduk bersandar pada dinding kamar mandi, kali ku
luruskan, sementar Mbak Indah duduk di atas pahaku, lututnya menyentuh lantai
kamar mandi. Kemudian kurasakan Mbak Indah melepaskan bibirnya dari bibirku,
pelahan menyusur ke bawah. Berhenti di leherku, lidahnya beraksi menjilati
leherku, berpindah-pindah. Setelah itu, dilanjutkan ke bawah lagi, berhenti di
dadaku. Sebelah kanan-kiri, tengah jadi sasaran lidah dan bibirnya. Kemudian
turun lagi ke bawah, ke perut, berhenti di pusar. Tangannya menggenggam
rudalku, didorong sedikit ke samping dengan lembut, sementara lidahnya terus
mempermainkan pusarku. Puas di situ, turun lagi, dan bijiku sekarang yang jadi
sasaran. Sementara lidahnya beraksi di sana, tangan kanannya mengusap-usap
kepala rudalku dengan lembut. Aku sampai berkelojotan sambil mengerang-erang
menikmati aksi Mbak Indah yang seperti itu.

Pelahan-lahan bibirnya merayap naik
menyusuri batang rudalku, dan berhenti di bagian kepala, sementara tangannya
ganti menggenggam bagian batang. Kepala rudalku dikulumnya, dijilati, berpindah
dan berputar-putar, sehingga tak satu bagianpun yang terlewat. Beberapa saat
kemudian, kutekan kepala Mbak Indah ke bawah, sehingga bagian batanku pun masuk
2/3 ke mulutnya. Digerakkannya kepalanya naik turun pelahan-lahan,
berkali-kali. Kadang-kadang aksinya berhenti sejenak di bagian kepala, dijilati
lagi, kemudian diteruskan naik turun lagi. Pertahananku nyaris jebol, tapi aku
belum mau terjadi saat itu. Kutahan kepalanya, kuangkat pelan, tapi Mbak Indah
seperti melawan.

Hal itu terjadi beberapa kali, sampai akhirnya aku berhasil
mengangkat kepalanya dan melepas rudalku dari mulutnya.
Kuangkat kepala Mbak Indah, sementara
matanya terpejam. Kudekatkan, dan kukulum lembut bibirnya. Pelan-pelan
kurebahkan Mbak Indah yang masih memejamkan mata sambil mendesis itu ke lantai
kamar mandi. Kutindih sambil mulutku melahap kedua toketnya, sementara tanganku
meremasnya bergantian.
Erangannya, desahannya, jeritan-jeritan
kecilnya bersahut-sahutan di tengah gemericik siraman air shower. Kuturunkan
lagi mulutku, berhenti di gundukan yang ditumbuhi bulu lebat, namun tercukur
dan tertata rapi. Beberapa kali kugigit pelan bulu-bulu itu, sehingga
pemiliknya menggelinjang ke kanan kiri. Kemudian kupisahkan kedua pahanya yang
putih,besar dan empuk itu. Kubuka lebar-lebar. Kudaratkan bibirku di bibir
memeknya, kukecup pelan. Kujulurkan lidahku, kutusuk-tusukan pelan ke daging
menonjol di antar belahan memek Mbak Indah. Pantat Mbak Indah mulai
bergoyang-goyang pelahan, sementara tangannya menjambak atau lebih tepatnya
meremas rambutku, karena jambakannya lembut dan tidak menyakitkan. Kumasukkan
jari tengahku ku lubang memeknya, ku keluar masukkan dengan pelan. Desisan Mbak
Indah makin panjang, dan sempat ku lirik matanya masih terpejam. Kupercepat
gerakan jariku di dalam lubang memeknya, tapi tangannya langsung meraih
tanganku yang sedang beraksi itu dan menahannya. Kupelankan lagi, dan Mbak
melepas tangannya dari tanganku. Setiap kupercepat lagi, tangan Mbak Indah
meraih tanganku lagi, sehingga akhirnya aku mengerti dia hanya mau jariku
bergerak pelahan di dalam memeknya.
Beberapa menit kemudian, kurasakan
Mbak Indah mengangkat kepalaku menjauhkan dari memeknya. Mbak Indah membuka
mata dan memberi isyarat padaku agar duduk bersandar di dinding kamar mandi.
Seterusnya merayap ke atasku, mengangkang tepat di depanku. Tangannya meraih
rudalku, diarahkan dan dimasukkan ke dalam lubang memeknya.

“Oooooooooooohh ,” Mbak Indah melenguh
panjang dan matanya kembali terpejam saat rudalku masuk seluruhnya ke dalam
memeknya. Mbak Indah mulai bergerak naik-turun pelahan sambil sesekali
pinggulnya membuat gerakan memutar. Aku tidak sabar menghadapi aksi Mbak Indah
yang menurutku terlalu pelahan itu, mulai kusodok-sodokkan rudalku dari bawah
dengan cukup cepat. Mbak Indah menghentikan gerakannya, tangannya menekan
dadaku cukup kuat sambil kepala menggeleng, seperti melarangku melakukan aksi
sodok itu. Hal itu terjadi beberapa kali, yang sebenarnya membuatku agak
kecewa, sampai akhirnya Mbak Indah membuka matanya, tangannya mengusap kedua
mataku seperti menyuruhkan memejamkan mata. Aku menurut dan memejamkan mataku.

Setelah beberapa saat aku memejamkan
mata, aku mulai bisa memperhatikan dengan telingaku apa yang dari tadi tidak
kuperhatikan, aku mulai bisa merasakan apa yang dari tadi tidak kurasakan.
Desahan dan erangan Mbak Indah ternyata sangat teratur dan serasi dengan
gerakan pantatnya,sehingga suara dari mulutnya, suara alat kelamin kami yang
menyatu dan suara siraman air shower seperti sebuah harmoni yang begitu indah.

Dalam keterpejaman mata itu, aku seperti melayang-layang dan sekelilingku
terasa begitu indah, seperti nama wanita yang sedang menyatu denganku.
Kenikmatan yang kurasakan pun terasa lain, bukan kenikmatan luar biasa yang
menhentak-hentak, tapi kenikmatan yang sedikit-sedikit, seperti mengalir
pelahan di seluruh syarafku, dan mengendap sampai ke ulu hatiku.

Beberapa menit kemudian gerakan Mbak
Indah berhenti pas saat rudalku amblas seluruhnya. Ada sekitar 5 detik dia diam
saja dalam posisi seperti itu. Kemudian kedua tangannya meraih kedua tanganku
sambil melontarkan kepalanya ke belakang. Kubuka mataku, kupegang kuat-kuat
kedua telapak tangannya dan kutahan agar Mbak Indah tidak jatuh ke belakang.
Setelah itu pantatnya membuat gerakan ke kanan-kiri dan terasa menekan-nekan
rudal dan pantatku.
“Aaa .. aaaaaa …
aaaaaaaaaaaaahhhhhhhhhhhhhh,” desahan dan jeritan kecil Mbak Indah itu disertai
kepala dan tubuhnya yang bergerak ke depan. Mbak Indah menjatuhkan diri padaku
seperti menubruk, tangannya memeluk tubukku, sedang kepalanya bersandar di bahu
kiriku. Ku balas memeluknya dan kubelai-belai Mbak Indah yang baru saja
menikmati orgasmenya. Sebuah cara orgasme yang eksotik dan artistik.

Setelah puas meresapi kenikmatan yang
baru diraihnya, Mbak Indah mengangkat kepala dan membuka matanya. Dia tersenyum
yang diteruskan mencium bibirku dengan lembut. Belum sempat aku membalas
ciumannya, Mbak Indah sudah bangkit dan bergeser ke samping. Segera kubimbing
dia agar rebahan dan telentang di lantai kamar mandi. Mbak Indah mengikuti
kemauanku sambil terus menatapku dengan senyum yang tidak pernah lepas dari
bibirnya. Kemudian kuarahkan rudalku yang rasanya seperti empot-empotkan ke
lubang memeknya, kumasukkan seluruhnya. Setelah amblas semuanya Mbak Indah
memelekku sambil berbisik pelan.

“Jangan di dalam ya sayang, aku belum
minum obat,” aku mengangguk pelan mengerti maksudnya. Setelah itu mulai
kugoyang-goyang pantatku pelan-pelan sambil kupejamkan mata. Aku ingin
merasakan kembali kenikmatan yang sedikit-sedikit tapi meresap sampai ke ulu
hati seperti sebelumnya. Tapi aku gagal, meski beberapa lama mencoba. Akhirnya
aku membuat gerakan seperti biasa, seperti yang biasa kulakukan pada tante Ani
atau Nita. Bergerak maju mundur dari pelan dan makin lama makin cepat.

“Aaaah… Hoooohh,” aku hampir pada
puncak, dan Mbak Indah cukup cekatan. Didorongnya tubuhku sehingga rudalku
terlepas dari memeknya. Rupanya dia tahu tidak mampu mengontrol diriku dan lupa
pada pesannya. Seterusnya tangannya meraih rudalku sambil setengah bangun.
Dikocok-kocoknya dengan gengaman yang cukup kuat, seterusnya aku bergeser ke
depan sehingga rudalku tepat berada di atas perut Mbak Indah.

“Aaaaaaaah … aaaaaaahhh … crottt…
crotttt ..,” beberapa kali spermaku muncrat membasahi dada dan perut Mbak
Indah. Aku merebahku tubuhku yang terasa lemas di samping Mbak Indah, sambil
memandanginya yang asyik mengusap meratakan spermaku di tubuhnya.
“Hampir lupa ya?” lagi-lagi hidungku
jadi sasarannya waktu Mbak Indah mengucapkan kata-kata itu.
Selama di bus dalam perjalanan pulang
aku memejamkan mata sambil mengingat-ingat pengalaman yang baru saja ku dapat
dari Mbak Indah. Saat di kamar mandi, dan saat mengulangi sekali lagi di
kamarnya. Seorang wanita dengan gaya bersetubuh yang begitu lembut dan penuh
perasaan.
“Kalau sekedar mengejar kepuasan
nafsu, itu gampang. Tapi aku mau lebih. Aku mau kepuasan nafsuku selaras dengan
kepuasan yang terasa di jiwaku.”
Kepuasan yang terasa di jiwa, itulah
hal yang kudapat dari Mbak Indah dan hanya dari Mbak Indah, karena kelak
setelah gonta-ganti pasangan, tetap saja belum pernah kudapatkan kenikmatan
seperti yang kudapatkan dari Mbak Indah. Kepuasan dan kenikmatan yang masih
terasa dalam jangka waktu yang cukup lama meskipun persetubuhan berakhir.
“Ingat ya, jangan pernah sekali-kali
kamu lakukan sama Sarah. Kalau sampai kamu lakukan, aku tidak akan pernah
memaafkan kamu!” Aku terbangun, rupanya dalam tidurku aku bermimpi Mbak Indah
memperingatkanku tentang Sarah, adiknya. Dan bus pun sudah mulai masuk terminal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar