Hari belumlah larut, jarum jam
belum menyentuh angka 9 malam, masih sore bagiku. Sesore ini rasa penat dan
capek sudah kurasakan, hari ini sebenarnya cukup menyenangkan hingga kejadian
barusan yang membuatku benar benar kehilangan semangat, ingin rasanya menghabiskan
malam ini dengan menyendiri di rumah, nonton tv bersama teman teman, kegiatan
yang sudah lama tidak kulakukan. Tiga orang laki laki telah
kulayani dalam melampiaskan hasrat sexualnya, pagi tadi kuserahkan tubuhku pada seorang laki laki yang kutaksir tak lebih dari 45 tahun di Hotel
Sahid, padahal masih pagi sekitar jam 10 dan aku baru bangun. Tak ada hal yang
istimewa padanya, seperti tamuku lainnya yang datang dan pergi. Kami bermain 2
babak untuk satu setengah jam.
Tamu kedua adalah orang Korea,
yang menikmati hangatnya tubuhku saat jam istirahat kantor, biasa bobok bobok
siang atau Sex After Lunch di Hotel Westin (sekarang JW Marriot). Kulayani dia
hanya satu babak sepanjang hampir 45 menit nonstop, mungkin karena banyak makan
ginseng dan ditunjang usia yang masih muda, belumlah 40 tahun menurut
pengakuannya. Beruntung hanya satu babak karena dia ada meeting di kantornya
jam 2 siang nanti.
Laki laki ketiga yang
menyetubuhiku adalah anak muda chinese langgananku, biasa kalau sudah langganan
tentu lebih banyak ngomongnya,lebih santai, sehingga meskipun kuhabiskan lebih
lebih 2 jam menemaninya namun aku hanya melayaninya cuma 2 kali. Itupun yang
kedua hanya bertahan tak lebih 5 menit.
Yang membikin aku jengkel adalah
tamuku yang keempat, yang membookingku setelah jam kerja kantor, jam 6 sore.
Aku menemaninya di Palm Inn, hotel short time yang terletak di daerah Mayjend
Sungkono, tempat itu sangatlah familiar bagiku. Entah sudah berapa puluh kali
tubuhku dinikmati bermacam laki laki di tempat itu. Aku yakin semua kamar sudah
pernah kupakai.
Seorang GM telah memintaku sejak
siang tadi, saat aku menerima tamu Korea, karena sudah terlanjur menerima
bookingan, maka kujanjikan sore kalau masih mau menunggu. Rupanya si tamu tidak
mau dengan yang lain jadi dia bersedia masuk waiting list. Saat aku tiba di Palm Inn, dia
sudah menunggu di dalam. Agak terkaget saat melihatnya, wajahnya sepertinya tak
asing bagiku, sepertinya telah mengenal dia, entah dimana, yang jelas wajah itu aku kenal namun tak kuingat lagi. “mungkin salah satu tamuku yang
hanya booking sekali atau dua kali lalu tak nongol lagi” pikirku, tentu saja
untuk tamu seperti ini aku lupa karena terlalu banyak laki laki yang datang dan
pergi mengisi hari hariku. Kalau tidak ada hal yang istimewa, begitu berpisah
dengan tamuku terlupakan sudah apa yang baru saja kami jalani.
Dia memperkenalkan diri dengan
nama Yanto, umurnya mungkin lebih 55 tahun, jadi seangkatan dengan papaku. Kami ngobrol ringan, meskipun dia
sudah berhenti merokok namun mengijinkan aku untuk merokok. Pak Yanto orangnya
terlihat ramah dan sabar, 20 menit ngobrol dengannya aku semakin suka dengan
pembawaannya yang tidak buru buru. Selama 20 menit itu pula aku mengingat ingat
dimana kenal dengan wajah ini karena bagiku tampak tak asing sekali, ingin
menanyakan takut dia tersinggung. Kalau aku menanyakan pada tamu apakah pernah
mem-bookingku, tentu akan membuat tamu itu tersinggung karena berarti bagiku
dia hanyalah biasa biasa saja, bagiku aku ingin memberi kesah kalau setiap tamu
yang kulayani adalah laki laki istimewa dan unik yang tak gampang terlupa.
Kalau aku ragu sama seorang tamu, maka akupun akan bersikap sok akrab.
Hingga Pak Yanto memintaku
melepas pakaian, aku masih belum menemukan jawabannya meski sudah kuusahakan
memancing beberapa pertanyaan yang mengarah, tetap saja gagal.
Tubuhku yang sudah telanjang duduk dipangkuannya, kami saling berhadapan, Pak
Yanto belum juga melepaskan pakaiannya.
“kamu memang menggemaskan,
menggairahkan dan menggoda, tak kusangka akhirnya aku dapat kesempatan ini”
katanya disusul ciuman lembut di pipi dan bibir, lalu turun ke buah dada dan
sedotan pada putingku. Entah kenapa saat Pak Yanto
mencium pipi dan bibirku, bulu kudukku berdiri, seperti ada getaran aneh
menyelimuti tubuhku.
Kuluman yang lembut pada bua
dadaku perlahan semakin menggairahkan, tak dapat ditahan lagi akupun mulai
menggeliat dan mendesah di atas pangkuannya, kuremas remas rambutnya. Tubuhku
merosot turun diantara kakinya, kulucuti pakaiannya satu persatu hingga sama
sama telanjang. Keelus lembut dan kukocok dengan tangan sambil menciuminya,
saat hendak kukulum penisnya yang tegang itu, dia mengangkat mukaku, ditatapnya
dalam dalam seakan menengok isi hatiku, bergidik aku jadinya, seperti ada
benang merah yang tak dapat kumengerti antara aku dan dia, diciumnya kening dan
bibirku, setelah itu dia diam saja ketika lidahku mulai menyentuh kepala
penisnya.

Pak Yanto mulai mendesah, penis
itu sudah keluar masuk mulutku, tangannya membelai lembut rambutku yang
tergerai dengan lembut. Dia selalu menyibakkan rambutku apabila ada yang
menghalangi pandangannya pada wajahku yang tengah mengocok penisnya, pandangan
itu tak pernah lepas kearahku.
“Pindah ranjang yuk” ajakku
Ketika aku berdiri hendak menuju
ranjang, dia menarikku hingga akupun terjatuh terduduk kembali dalam
pangkuannya. Pak Yanto mendekapku dari belakang, tangannya meremas remas buah
dadaku sembari menciumi punggung dan tengkukku.

Aku telentang di atas ranjang,
entah sudah berapa ratus pasangan yang telah melampiaskan nafsunya di ranjang
ini.
“boleh kucium ?” tanya Pak Yanto
saat tangannya sudah berada diselangkanganku “em…kalau bapak mau” jawabku,
biasanya laki laki seumur dia pintar bermain oral, maklum jam terbang sudah
tinggi dan permainan oral tidaklah dipengaruhi umur maupun stamina, jadi
biasanya lebih pintar dari yang muda muda. Disinilah kelebihan laki laki yang
sudah tua.
Dugaanku benar adanya, bibir dan
lidah Pak Yanto dengan dibantu jari jari tangannya begitu pintar bermain
diselangkanganku, mempermainkan klitoris dan bibir vagina, akupun menggeliat
dalam nikmat, tentu saja diiringi desahan desahan.

“sini Pak, enam sembilan” ajakku,
dia langsung menurutinya.
Kunikmati benar permainan oral
ini karena untuk tamu seusia dia aku tidak berharap banyak bisa mendapatkan
orgasme dari persetubuhan. Permainan oral kami sungguh mengasyikkan, beberapa
kali kami bergulingan berganti posisi atas dan bawah.

Aku harus mengakui kalau dia lihai bermain oral sex, disamping itu cukup tahan juga menahan orgasme. Tidak sedikit laki laki yang sudah orgasme hanya dengan kulumanku, bahkan banyak juga yang orgasme cuma dengan dikocok tangan.
Tubuh Pak Yanto sudah di atasku,
bersiap melesakkan penisnya mengisi vaginaku. “mau pake kondom ?” tanyanya
sopan sambil menatap tajam, aku tak sanggup melawan tatapannya. “terserah bapak, aku sih oke oke
aja kok” jawabku sambil menghindari tatapannya.

Kutuntun penis itu memasuki liang
kenikmatanku, penis keempat yang memasuki vaginaku hari ini. Perlahan dia
mendorong masuk, matanya tak lepas menatapku, seperti menikmati expresi wajahku
yang tengah menerima kenikmatan darinya. Kembali dikecupnya kening, pipi dan
bibirku setelah penisnya masuk semua, didiamkannya sejenak sembari melumat
bibir.

Kocokannya pelan dan lembut,
seperti takut merusakkan vaginaku. Tubuh Pak Yanto mulai menindihku, kami
saling berpelukan dan mengulum bibir, semakin lama kocokan itu semakin cepat
membuat tubuhku mulai menggeliat. Butiran keringat terlihat di wajahnya,
punggungnya mulai basah padahal belumlah 10 menit kami bercinta, maklum sudah
setengah baya. Ciuman Pak Yanto bergantian dari pipi, leher, bibir dan kening,
kujepit pinggang Pak Yanto dengan kedua kakiku yang melingkar di pinggang.
Tubuh telanjang kami saling mendekap semakin rapat menyatu, entah kenapa ada
rasa aman saat Pak Yanto mendekapku erat, seperti aku sedang dalam
perlindungannya, padahal kini aku sedang dalam lampiasan birahinya.

“mau keluar di dalam atau di luar
?” bisiknya tak lama kemudian
“terserah bapak, sukanya dimana”
jawabku sambil mendesah
Tiba tiba tubuhnya menegang,
gerakannya kacau, kurasakan kepala penisnya membesar dalam vaginaku, disusul
denyutan kuat melanda dinding dinding vagina. Pak Yanto menjerit sambil
mendekapku semakin erat, akupun ikutan menjerit merasakan kuatnya denyutan itu.
Kami kembali berciuman bibir setelah denyutan denyutan itu menghilang,
kubiarkan tubuhnya tetap berada di atasku, napasnya menderu hebat seiring detak
jantung yang bisa kurasakan berdetak kuat di dadaku. Tubuh telanjang kami telentang
terkapar di atas ranjang. Plafon kaca memantulkan bayangan tubuh kami yang
telanjang berdampingan. Kubersihkan penis Pak Yanto dengan tisu yang memang
telah tersedia lalu aku kembali rebah dalam pelukannya. “tak kusangka akhirnya aku bisa
mendapatkanmu seperti ini” katanya seperti sedang mendapat durian runtuh. Kembali rasa penasaran
mendatangiku, aku yakin kalau dia sudah mengenalku sebelumnya, entah dimana.
Kutinggalkan Pak Yanto yang
tengah mengenang kejadian barusan. Di kamar mandi kubersihkan vagina dari
spermanya sambil berusaha mengingat dimanakah aku ketemu Pak Yanto sebelumnya,
namun gagal tak kudapat jawaban atas rasa penasaranku. Ketika aku keluar kamar mandi,
kulihat dia sedang menelepon. Dari pembicaraannya pasti dari seorang cewek
karena terlihat begitu manja. Aku tak tertarik mendengar pembicaraannya tapi
kudengar sayup sayup panggilan “sayang” berulang kali dan diakhiri dengan kata
“I love you too”.
“sorry, tadi dari anakku, Devi,
biasalah gadis jaman sekarang banyak kebutuhannya” katanya seperti ingin
memberi penjelasan padaku, padahal aku tak peduli apakah dia telepon sama Devi
atau siapapun, anaknya atau apapun, bukan urusanku. Babak kedua kami lakukan 20 menit
kemudian, kali ini posisiku diatas, dengan leluasa dia bisa menjamah seluruh
tubuhku, meremas remas buah dada dan mendekapku dengan gemasnya. Bahkan dengan
jelas bisa menikmati expresi kenikmatan yang terpancar dari wajahku.
Seperti babak sebelumnya, tak
lebih 10 menit dia kembali menghantam dinding vaginaku dengan denyutan denyutan
nikmat. Sebenarnya bisa saja aku membuatnya lebih cepat dari itu, apalagi
posisi diatas adalah posisi favorit karena akulah yang memegang kendali
permainan.
Kami mandi bersama setelah
istirahat beberapa saat lamanya. Dengan telaten dia memandikanku, mengusap dan
menyabuni seluruh tubuhku, tak ada remasan remasan nakal seperti tamuku
lainnya, benar benar diperlakukan seperti orang tua yang memandikan anaknya.
Selesai mandi kami berpakaian dan melanjutkan ngobrol sembari menunggu taxi yang dia pesan, tentu saja aku harus menemani sampai taxi itu datang.
Selesai mandi kami berpakaian dan melanjutkan ngobrol sembari menunggu taxi yang dia pesan, tentu saja aku harus menemani sampai taxi itu datang.
“kamu kok nggak pernah main ke
rumah lagi” katanya sembari menyerahkan amplop putih berisi uang.
“maksud Bapak ? rumah siapa ?”
tanyaku heran, kuhentikan isapan rokokku dan kuletakkan amplop putih yang
kuterima tadi si meja.
“dulu kan sering main ke rumah,
didaerah Blauran” lanjutnya
Aku terdiam memikirkan arah
pembicaraan ini.
“emang aku kenal Bapak sebelumnya
dan kita pernah bertemu ?” tanyaku penasaran, tak ada lagi rasa segan takut
tersinggung seperti tadi.
“Bukan cuma kenal, aku bahkan
sering mengantarmu pulang setelah main di rumah” jawabnya, semakin membuatku
bingung. Rasanya aku nggak pernah main atau terima bookingan di rumah, apalagi
daerah blauran.
“Bapak siapa sih ?” tanyaku tak
bisa menutupi rasa penasaranku
“aku bahkan sering menciummu meski
ciumannya lain dengan yang tadi, memangkumu telanjang, meski tidak seperti
tadi, dan memandikanmu walau momennya nggak sama dengan barusan bahkan kamu
selalu minta aku cium saat kuantar pulang”
“ah Bapak ngaco deh, meng-ada
ada” jawabku dalam kebingungan
“kamu masih belum tau siapa aku
?” tanyanya menyeretku dalam rasa penasaran yang membesar “nggak tau ah” jawabku putus asa
“nah, persis begitu deh kalau
kamu lagi marah, nggak berubah dari dulu, lihat tuh cemberut gitu dengan mulut
monyong” godanya
“habis Bapak bikin aku penasaran
sih” tanyaku manja, aku yakin dia mengenal banyak tentang diriku, melebihi apa
yang kuperkirakan.
“oke aku kasih satu nama supaya
ingat, barusan aku telepon dengan Devi, ingat nama itu ? ”
Aku diam sejenak, kuingat ingat
teman yang bernama Devi, ada beberapa tapi tak satupun bisa kusangkut pautkan
dengan Pak Yanto, Devi cina yang mata duitan dan hanya mau menerima tamu
chinesse atau Devi bule yang rambutnya selalu di cat blonde, atau Devi
sekretaris yang menerima bookingan diluar jam kantor dan simpanan bos-nya, atau
Devi lainnya. Rasanya semua tak ada hubungan dengan Pak Yanto.
“ah, nggak tau ah, mau Devi atau
Dewi atau Debra terserah deh, aku nggak tahu” jawabku menyerah dengan wajah
makin cemberut.
“ingat nggak Devi yang tinggal di
Blauran yang rumahnya di pojok kampung cat hijau ?” “……HAAA ????? Bapak…bapak…bapak
adalah Om Hari ? ayahnya Devi ?” potongku membelalak, kupandangi wajahnya,
wajah yang tadi bikin aku penasaran, wajah yang tadi berulang kali dalam
jepitan selangkanganku.
Aku berdiri menjauh, kutatap Pak
Yanto lebih seksama, dan benar adanya, dia memang Om Hari ayahnya Devi,
sahabatku waktu masih kecil. Pak Yanto, laki laki yang telah menyetubuhiku 2
kali dan memberiku kenikmatan permainan oral, laki laki yang telah mengisi
rahimku dengan spermanya adalah tidak lain ayah Devi, teman sepermainanku waktu
kecil.
Dunia seakan berputar dan
menyempit menjepitku.
“lily…aku…aku tak bermaksud….”
Tak kudengarkan lagi ucapan Pak
Yanto atau Om Hary, aku berlari keluar kamar meninggalkannya seorang diri,
segera kupacu mobil pantherku menjauh dari tempat itu secapat mungkin. Tak
kuhiraukan lagi amplop putih yang kuletakkan di meja tadi.
Sepanjang jalan kusesali
ketololanku, pantas saja sejak pertama bertemu aku merasakan wajah itu tak
asing lagi dan serasa begitu dekat kukenal, pantas saja aku merasakan rasa aman
saat dalam dekapannya sebagaimana kulakukan dulu kalau berantem dengan Devi Om
Hari justru lebih sering membelaku daripada anaknya.
Bayangan masa kecil nan bahagia
terpampang jelas dalam benakku, semenjak kecil bahkan hingga SMA aku dan Devi
tumbuh bersama, sering aku nginap dirumahnya kalau hari libur, begitu juga dia.
Kami makan di piring yang sama, tidur di ranjang yang sama dan konyolnya
mengagumi cowok yang sama saat kelas 1 SMA namun tak mempengaruhi persahabatan
kami karena sama sama tidak mendapatkan cinta cowok itu.
Rumah Devi sebelumnya adalah
bertetangga denganku, setelah Om Hari punya rumah sendiri mereka pindah ke
daerah Blauran. Karena kami memang teman yang cocok, maka akupun sering minta
diantar ke Blauran untuk main ke rumah Devi, begitu juga saat memasuki usia
sekolah, kami bersekolah di sekolah yang sama dari TK hingga SMA sampai Om Hari
harus pindah rumah karena tugas ke Medan, sejak itulah aku dan Devi putus
hubungan. Kejadian itu ketika kami naik dari kelas 1 ke kelas 2, aku ingat
betul bagaimana saat itu kami bertangisan di airport Juanda mengantar kepergian
Devi dengan keluarganya, dan seminggu sejak itu aku sakit demam.
Aku memang sangat manja kepada Om
Hari, nama sebenarnya adalah Haryanto, bahkan sampai kelas 3 SMP masih tanpa
malu hanya mengenakan celana dalam dan kaos singlet dihadapannya, padahal buah
dadaku sudah mulai terbentuk menonjol. Malahan kalau kulihat Devi sedang
dipangku ayahnya, aku ikutan duduk dipangkuannya, itu berlaku hingga kelas 3
SMP, sikap manjaku berubah setelah aku mendapatkan menstruasi pertama yang
hampir bersamaan dengan Devi.
Ketika kami masih kecil, belum
sekolah, Om Hari sering memandikanku bersamaan dengan anaknya, bahkan kami
sering bermain petak umpet saat akan dikenakan pakaian. Ini semua karena saat
itu Om Hari masih belum bekerja, semua kebutuhan hidup dipenuhi istrinya yang
bekerja di Pemda dan dari mertuanya, jadi Om Hari berperan sebagai ibu rumah
tangga saat itu.
Tak terasa airmataku meleleh
membasahi pipi, kubiarkan deras mengalir turun. Jalanan Mayjend Sungkono yang
macet itu membuat aku lebih bebas ber-nostalgia dengan Om Hari.
“Devi, dimanakah kamu sekarang ?
maafkan sahabatmu ini, maafkan aku, bukan maksudku …” teriak batinku tak kuasa
melanjutkan, tiba tiba rasa kangen ingin bertemu dengannya begitu besar, namun
mengingat kejadian barusan rasanya tak ada muka untuk bertemu dengannya.
Seperti kata Om Hari tadi, dia
dulu sering memangkuku bahkan dalam keadaan telanjang, kini dia melakukan lagi
walau dalam konteks yang berbeda. Begitu juga kalau dulu sering memandikanku,
kini kembali dia memandikanku meski dengan suasana berbeda. Dulu dia
menidurkanku kalau aku nginap dirumahnya, kini kembali dia meniduriku dengan
tujuan berbeda pula.
Sungguh kusesali kalau Om Hari,
ayah sahabat kecilku, kini termasuk dalam daftar puluhan atau ratusan laki laki
yang telah meniduriku, menyetubuhiku atau satu dari sekian banyak laki laki
yang telah menyiramkan spermanya di rahimku.
HP-ku berbunyi, kulihat nomer tak
kukenal, segera kujawab, begitu kudengar suara Pak Yanto atau Om Hari segera
kumatika dan selanjutnya tak kuangkat lagi meski berdering puluhan kali.
Kubelokkan mobilku ke Salon
langgananku, ingin rasanya menenggelamkan diri di salon itu, melupakan apa yang
barusan terjadi. Di salon aku bisa memanjakan diri, mulai dari creambath, mandi
lulur dan lain lainnya.
Pukul 21:30 aku keluar dari salon dengan perasaan yang sudah tenang, terlupakan sudah kejadian tadi sore meskipun tidak semuanya, hanya creambath yang kulakukan di salon itu karena sudah mau tutup.
Pukul 21:30 aku keluar dari salon dengan perasaan yang sudah tenang, terlupakan sudah kejadian tadi sore meskipun tidak semuanya, hanya creambath yang kulakukan di salon itu karena sudah mau tutup.
Sesampai dirumah, GM yang
memintaku menemui Om Hari tadi meneleponku, tentu saja aku tak cerita siapa
sebenarnya Om Hari, GM tadi hanya menyampaikan kalau uangnya dia pegang.
Dari GM itu aku tahu kalau Om
Hari sudah sebulan ini menginginkan aku, katanya dia melihatku saat masuk kamar
di Hotel Shangri La bersama seorang Om Om chinese. “katanya dia kenal kamu tapi ragu
ragu, makanya minta aku bookingin kamu untuk meyakinkan, sekalian menghilangkan
stress katanya” jelas si GM
Nasi sudah menjadi bubur dan
sulit bagiku untuk mencegah hal itu terulang lagi karena kalau GM yang mengatur
aku nggak bisa tahu tamunya sampai ketemu dikamar seperti kebanyakan, dan itu
sudah terlambat.
Kusibukkan sisa malamku dengan
teman teman nonton tv, teman temanku juga berprofesi tak beda denganku meski
banyak yang berstatus pegawai kantoran atau hostess di night club.
Tengah asik nonton acara tv, si
GM tadi meneleponku lagi, memintaku untuk menemani tamunya di Hotel Westin.
Sebenarnya aku sudah malas menerima tamu lagi, kejadian tadi sore membuat
mood-ku drop dan malam ini tak ada minat untuk bekerja, 4 tamu hari ini sudah
lebih dari cukup.
“aku capek Om, ngantuk nih”
tolakku halus, tapi GM itu terus mendesak
“kamu nggak usah capek capek,
kamu nggak sendirian kok, sudah ada temannya di sana, dia ingin main bertiga,
ringankan ? apalagi orangnya ini sudah cukup berumur, mungkin 50 tahunan, jadi
tentu nggak tahan lama, nafsunya aja gede” bujuk si GM lagi membujukku.
Akhirnya aku tak tahan menghadapi
bujukan si GM, kuterima tawarannya.
Tigapuluh menit kemudian aku
sudah berada di lift menuju lantai 8 hotel yang telah kudatangi tadi siang
untuk memenuhi pelampiasan nafsu seorang Korea. Sudah sering aku mengalami
bolak balik ke hotel yang sama seperti ini.
Seorang laki laki membuka pintu
menyambut kedatanganku, tubuhnya agak gemuk hanya tertutup handuk di
pinggangnya.
“Malam, dengan Pak Bram ?”
tanyaku meyakinkan
“kamu Lily ?… masuk…masuk, kami
sudah menunggu” katanya
Laki laki itu tidaklah setua yang
dikatakan si GM, mungkin belum berumur 50 tahun. Didalam kamar telah ada
seorang gadis yang rebahan di ranjang tertutup selimut, hanya kepalanya yang
tampak. Gadis itu tampak cantik tapi terlihat masih muda, terlalu muda malahan,
mungkin belum berumur 20 tahun.
“Itu Dita, kalian sudah saling
kenal ?” tanya laki laki, kami saling bersalaman memperkenalkan diri.
“kamu langsung aja gabung, kami
udah duluan, satu babak malahan” kata Pak Bram
Aku ke kamar mandi melepas semua
pakaianku, menyisakan sepasang pakaian dalam purple yang hanya menutupi puting
dan segitiga kecil di selangkangan.
Ketika aku keluar dengan handuk
tertutup di dadaku, kulihat Pak Bram dan Dita sudah berada didalam selimut,
mereka berpelukan dan berciuman, terlihat sekali kalau Dita masih sangatlah
muda, terlalu muda untuk orang seusia Pak Bram, ada rasa sayang melihat Dita
semuda itu jatuh dalam pelukannya.
“lho kok malu malu gitu, masuk
sini biar hangat” perintah Pak Bram.
Kulepas handuk penutup tubuhku
lalu aku bergabung dengan mereka.
“bikinimu bagus, tapi lebih bagus
lagi kalo bikini itu dilepas” sambut pak Bram seraya menarik tubuhku dalam
pelukannya.
Semenit kemudian, tubuhku sudah
telanjang dalam cumbuannya, dia melumat bibir sambil meremas remas buah dadaku,
sementara Dita hanya diam melihat saja.
“Dita minta teman kalau harus
menemaniku sampai besok pagi” Jelas Pak Bram
“habis Om Bram kuat mbak, bisa
kewalahan kalau aku harus melayani sendirian” jawab Dita, aku hanya tersenyum.
Berdua kami mencumbu Pak Bram bersamaan, aku di sebelah kanan sedangkan Dita di
kiri. Pak Bram mulai mendesah saat putingnya kami kulum bersamaan sembari
tangan tangan kami mempermainkan penisnya.
Ciuman kami berlanjut ke perut,
paha, betis, ketika kusingkapkan selimut penutup tubuh kami, dengan jelas aku
melihat buah dada Dita yang kecil ranum dihiasi puting yang masih sangat
kemerahan. Aku semakin yakin kalau Dita masih terlalu muda untuk profesi ini,
jangan jangan dia masih SMA alias ABG, terlihat dari wajahnya apalagi postur
tubuhnya yang belum terlalu matang untuk seorang gadis.
Ciuman kami kembali ke
selangkangan, aku mulai menjilati daerah sekitar penis sedangkan Dita
menyodorkan buah dadanya yang kecil ranum itu ke mulut Pak Bram. Terdengar
desah Dita saat aku mulai memasukkan penis itu ke mulut dan mengulumnya.
Kocokanku semakin cepat seiring dengan desahan Dita yang semakin keras meski
terdengar agak malu malu.
Aku dan Dita bertukar posisi, Pak
Bram meremas remas buah dadaku, mengulum putingnya sambil merasakan kuluman
Dita pada penis, aku melirik ke bawah, meski terlihat sangat muda namun
sepertinya Dita sudah cukup berpengalaman, dengan asyiknya penis itu keluar
masuk mulut yang mungil.

“kamu duluan” bisiknya memberi
perintah, sebelum aku menuruti perintahnya kuatur tubuhku hingga posisi 69 dan
berbagi penis dengan Dita, bergantian mengulumnya, berpindah dari satu mulut ke
mulut lainnya, dua lidah menari nari bersamaan pada penis yang sama. Kurasakan
jilatan Pak Bram di vaginaku, tidak istimewa memang tapi cukup membuatku
terdesah nikmat dan basah.
Aku menyapukan penis Pak Bram di
vaginaku yang sudah cukup basah, perlahan lahan kuturunkan tubuhku hingga penis
itu melesak masuk dengan sempurna. Setelah terdiam beberapa detik, aku mulai
menggoyangkan pinggulku mengocoknya, meskipun penis itu tidaklah terlalu besar
alias rata rata, tetap saja yang namanya penis selalu memberikan kenikmatan
apabila berada di vagina, berapapun besarnya atau bagaimanapun bentuknya, tetap
saja nikmat.
Sambil merasakan kocokanku, Pak
Bram menarik tubuh Dita dalam pelukannya, mereka berciuman, terlihat sekali
perbedaan usia yang mencolok antara mereka. Buah dada Dita yang kecil hilang
dalam remasan tangan Pak Bram, berkali kali tangan itu berpindah ke buah
dadaku, sepertinya hendak membandingkan.
Lima menit aku mengocok Pak Bram
sebelum dia minta aku turun dan digantikan Dita, tentu saja vagina Dita lebih
sempit, kuyakin itu karena belum terlalu banyak penis yang menikmatinya. Tubuh
mungil Dita sudah berada di atas Pak Bram dan mulai turun naik, buah dadanya
tidaklah berguncang guncang seperti punyaku, karena memang terlalu kecil,
terlihat aneh dan lucu bagiku. Ingin rasanya kuraih dan kuremas buah dada itu,
sekedar penasaran saja.
Sambil mengocok Pak Bram, Dita
mendesah hebat, merasakan kenikmatan, wajahnya yang putih cantik itu terlihat
kemerahan, sebentar lagi pasti orgasme. Pak Bram memintaku naik ke atas
kepalanya, dia ingin melakukan oral lagi, kuturuti permintaannya. Posisiku
menghadap Dita, sambil mendesah merasakan jilatan Pak Bram, dengan leluasa
mengamati wajah Dita yang mulai berkeringat dan semakin cantik saat mendesah
nikmat.
Dugaanku benar, Dita menggapai orgasmenya, kepalanya digoyang goyangkan dengan keras sambil memelukku, jeritan orgasmenya terdengar keras dekat telingaku, sedangkan aku sendiri juga mendesah karena jilatan Pak Bram, desahan kamipun bersahutan.
Dugaanku benar, Dita menggapai orgasmenya, kepalanya digoyang goyangkan dengan keras sambil memelukku, jeritan orgasmenya terdengar keras dekat telingaku, sedangkan aku sendiri juga mendesah karena jilatan Pak Bram, desahan kamipun bersahutan.
“ganti mbak, lemes aku” bisiknya,
padahal baru sekali dia orgasme dan itupun tak lebih 5 menit. Sebelum aku
mengganti posisi Dita, Pak Bram sudah meminta dia untuk telentang dan tetap
memaksa meskipun Dita minta istirahat dulu atau kugantikan.
Terpaksa Dita menuruti nafsu
birahi laki laki seangkatan ayahnya itu, kasihan juga sebenarya melihat Dita
yang dipaksa melanjutkan melayani pelampiasan syahwat Pak Bram. Apalagi Pak
Bram tidak langsung menyetubuhinya, melainkan memainkan lidahnya pada vagina
Dita yang barusan orgasme, sepertinya Pak Bram hendak menghisap cairan orgasme
yang ada di vagina Dita. Kulihat dengan jelas bagaimana bibir dan lidah Pak
Bram mempermainkan vagina Dita, vagina yang dihiasi sedikit sekali bulu bulu
kemaluan yang halus dan terlihat kemerahan bak daging segar didalamnya.
Tubuh mungil Dita benar benar
tidak sebanding dengan tubuh Pak Bram yang tinggi dan agak gemuk itu, begitu
Pak Bram menindihnya, terlihat Dita seperti hilang dalam dekapannya. Dita
mendesah lebih keras saat Pak Bram mulai mengocok vaginanya dari atas, pinggul
yang bergerak turun naik itu tampak semakin menekan tubuh Dita dan semakin
tidak terlihat.
Kuelus elus punggung Pak Bram sambil memainkan kantong bolanya, kocokan Pak bram semakin cepat dan Dita-pun semakin mendesah hebat.
Kuelus elus punggung Pak Bram sambil memainkan kantong bolanya, kocokan Pak bram semakin cepat dan Dita-pun semakin mendesah hebat.
“egh…egh..sssshhhhh…aduuuh…enak
Om..trusss..trussss…Ampuuuuuuun aku…aku keluar lagiiiiiiiii” desah dita nggak
karuan hingga tergapai orgasme kedua dalam waktu singkat.

Tangan dan kaki Dita melemas,
tidak lagi memeluk Pak Bram, wajahnya merah seperti udang rebus, kasihan juga
melihatnya. Aku bersiap dengan posisi merangkak disamping Dita.
“giliranku Pak” kataku menantang
sambil menepuk pantatku, sebenarnya sekedar mengalihkan dari Dita.
Pak Bram segera beralih ke vaginaku, Dita menatapku dengan sorot mata terima kasih. Kini giliran Pak Bram mengocok vaginaku, meskipun tidaklah sesempit punya Dita tapi aku yakin permainan otot otot vaginaku akan lebih menimbulkan kenikmatan dibandingkan vagina sempitnya.
Pak Bram segera beralih ke vaginaku, Dita menatapku dengan sorot mata terima kasih. Kini giliran Pak Bram mengocok vaginaku, meskipun tidaklah sesempit punya Dita tapi aku yakin permainan otot otot vaginaku akan lebih menimbulkan kenikmatan dibandingkan vagina sempitnya.

Hanya beberapa menit mengocokku
dogie, dia memintaku ganti posisi biasa. Badannya terasa berat saat mulai
menindihku, ketika penisnya sudah melesak semua, Pak Bram mencium dan melumat
bibirku, bersamaan dengan itu penisnya bergerak keluar masuk memompa vagina.
Sesekali dia menekan keras pinggulku, seperti hendak memasukkan penisnya
sedalam mungkin, desahan kami bersahutan mengiringi permainan, keringat Pak
Bram mulai membasahi tubuh kami. Tak lama kemudian kurasakan denyutan pada
vaginaku, dia tengah orgasme, dipeluknya tubuhku semakin erat menyatu, jerit
orgasmenya terdengar keras dekat telinga. Tubuhnya langsung lemas menindihku
seiring dengan berakhirnya denyutan denyutan itu, bebanku terasa semakin berat,
apalagi napasnya yang menderu makin menekan di dada.
“bapak hebat deh bisa mengalahkan
kami berdua” pujiku bohong sekedar memberi kebanggan pada tamu, itu biasa
kulakukan.
“benar kan kataku, mana bisa
tahan kalau harus melayani sendirian” timpal Dita
Pak Bram tersenyum bangga sambil
berbaring diantara kami berdua.
Sisa malam kami isi dengan satu
babak permainan lagi, seperti sebelumnya, dia terlalu hebat buat Dita tapi
tidak bagiku. Babak kedua kembali Dita mendapat 2 kali orgasme sebelum Pak Bram
mendapatkan orgasme dariku, sedangkan aku sama sekali gagal mendapatkan orgasme
meski aku berusaha tapi Pak Bram terlalu cepat untukku.
Dengan tubuh masih telanjang, kami tidur bersama, tentu saja Pak Bram berada di tengah bak raja semalam.
Dengan tubuh masih telanjang, kami tidur bersama, tentu saja Pak Bram berada di tengah bak raja semalam.
Keesokan paginya Dita bangun
terlebih dahulu dengan panik.
“wah gawat, kesiangan” umpatnya
sempat terdengar olehku, ketika kutoleh dia sudah tidak berada di ranjang,
ternyata dia sudah di kamar mandi. Aku menyusulnya, betapa terkejutnya ketika
kulihat Dita tengah mengeluarkan seragam sekolah dari tas ranselnya. Kubaca
badgenya, ternyata sebuah SMA favorit di Surabaya, untuk masuk ke sekolah itu
tentu haruslah anak pintar atau kaya, atau keduanya.
“mbak mau tolong aku nggak ?
anterin aku ya…please, ntar terlambat kalo naik taxi, mana macet lagi jam
segini” Dita memohon dengan manja. Jam sudah menunjukkan pukul 6 lewat, berarti
kami tidur hanya 4 jam.
“kemana ?” tanyaku masih tidak
percaya kalau Dita akan berangkat ke sekolah langsung dari Hotel tempat dia
menemani laki laki seusia ayahnya.
Aku menyanggupi setelah dia
menyebutkan tempat sekolahnya, nggak terlalu jauh sih. Untuk mempersingkat
waktu kami mandi bareng. Saat mandi kuamati tubuh Dita lebih seksama, wajahnya
cantik imut bak cover girl, kulit putih dengan tubuh tidak tinggi cenderung
mungil, mungkin 155 cm dan buah dada belum tumbuh sempurna, benar benar terlalu
kecil untuk masuk dunia seperti ini.
“tetek mbak bagus, montok, pasti
padat” komentarnya sambil hendak menyentuhku ragu ragu, aku hanya mengangguk
mengijinkannya untuk menyentuh. Akupun balas menyentuh dan meremasnya, bukan
sekali ini aku meremas buah dada sesama jenis, tapi kali ini sungguh berbeda
karena memang belum terbentuk sempurna, masih mungkin untuk tumbuh lagi.
“mbak jangan marah ya, waktu
kulihat mbak main sama Om Bram, aku kasihan gitu, eman eman dan sayang melihat
mbak yang cantik digituin sama orang setua Om Bram, nggak pantas dia untuk mbak
Lily” katanya sambil menyiramkan air hangat ke tubuhnya. Tentu saja aku kaget
mendengar pengakuannya, sedari tadi perasaan seperti itu selalu muncul dalam
pikiranku tapi kini justru dia yang mengatakan hal yang sama untukku.
Ketika kami keluar masih dalam
keadaan telanjang karena semua handuk berada di sofa, ternyata Pak Bram sudah
bangun sedang melihat liputan 6 pagi dari SCTV, dia juga masih telanjang.
“wah kalian mandi bareng rupanya,
tahu gitu aku ikutan mandi” komentarnya melihat tubuh telanjang kami masih
basah.
“aku ganti baju dulu ya” kata
Dita setalah mendapatkan handuk
Aku juga mau mengikuti Dita ganti
baju tapi Pak Bram menarikku dalam pangkuannya.
“kita main sekali lagi, yang
cepat cepat saja, dia kan berangkat ke sekolah tapi kamu kan bebas” katanya.
Aku hendak menolak tapi dia sudah melumat bibir dan meremas buah dadaku.
“oke..oke..tapi cepat aja ya,
soalnya aku mau ngantar Dita, kasihan kan kalo sampai terlambat” kataku setelah
terlepas dari ciumannya sambil melorotkan tubuh diantara kakinya.
Dua tiga menit kukulum penisnya hingga benar benar tegang, setelah itu aku berdiri dan membungkuk, tanganku tertumpu pada meja bersiap menerima kocokan Pak Bram dari belakang. Kubuka kakiku lebar ketika penis Pak Bram menyentuhku, sambil berdiri kami bercinta dengan gaya semi dogie.
Dua tiga menit kukulum penisnya hingga benar benar tegang, setelah itu aku berdiri dan membungkuk, tanganku tertumpu pada meja bersiap menerima kocokan Pak Bram dari belakang. Kubuka kakiku lebar ketika penis Pak Bram menyentuhku, sambil berdiri kami bercinta dengan gaya semi dogie.
“mbak, buruan, udah siang nih,
terlambat deh” Dita mengagetkan kami yang tengah bersetubuh, kulihat dia
mengenakan celana jean dan seragam atasnya tertutup jaket pink untuk menutupi
seragam sekolahnya.
Pak Bram mempercepat kocokannya,
begitu juga aku semakin cepat menggerakkan pinggul, kami berdua bercinta bak
dikejar hantu. Untunglah tadi sudah kubuat Pak Bram setengah jalan menuju
orgasme saat kukulum penisnya, tak lama kemudian diapun menyemprotkan spermanya
di vaginaku.Segera kucabut penis itu setelah tak ada lagi denyutan, aku buru
buru mencuci vaginaku dengan air, tanpa mengenakan pakaian dalam lagi kukenakan
pakaian dan tidak ada waktu untuk make up.
Setelah masing masing menerima
amplop dari Pak Bram, aku dan Dita keluar kamar meninggalkannya, dia melepas
kami dengan kecupan di pipi seperti seroang ayah melepas kepergian anaknya ke
sekolah.
Jalanan mulai macet, Dita tampak
gelisah.
“aku yakin nggak terlambat kok,
masih ada waktu, kita lewat jalan tikus saja” kataku saat di perjalanan
mengantar Dita. Ditengah kemacetan itu Dita mengganti celana jeans-nya dengan
rok seragam sekolah, dilipatnya celana jeans dan jacket lalu dimasukkan dalam
tas rangselnya.
Kini kulihat Dita sangat jauh berbeda dengan Dita semalam, Dita sekarang adalah seorang anak sekolah yang cantik dan ceria, dengan wajah yang cantik, imut dan innocent, tak jauh beda dengan ABG lainnya. Kalau saja aku tidak mengalami sendiri semalam, pasti sulit untuk percaya bahwa ada sisi kehidupan lain Dita yang tak berbeda denganku.
Kini kulihat Dita sangat jauh berbeda dengan Dita semalam, Dita sekarang adalah seorang anak sekolah yang cantik dan ceria, dengan wajah yang cantik, imut dan innocent, tak jauh beda dengan ABG lainnya. Kalau saja aku tidak mengalami sendiri semalam, pasti sulit untuk percaya bahwa ada sisi kehidupan lain Dita yang tak berbeda denganku.
Disela sela kemacetan Dita
bercerita kalau keperawanannya diambil pacarnya yang juga kakak kelas saat
ulang tahunnya ke-17, dan mereka putus ketika pacarnya itu lulus SMA. Kini Dia
kelas 3 dan sedang berpacaran dengan seorang anak kuliahan. Dua hari sekali
mereka ketemu dan selalu melakukan hubungan sex. Atas bujukan temannya, Dita
mau menerima bookingan laki laki.
“kamu kan udah nggak perawan,
main sama satu orang atau dengan banyak orang itu nggak ada bedanya, tetap juga
selingkuh dan tetap juga nggak perawan, mendingan sama laki laki yang sudah
punya penghasilan, udah dapat enak dapat duit lagi” bujuk teman Dita. Mulanya
dia memilih laki laki yang membookingnya, tapi setelah berjalan 3 bulan dia
menyerahkan urusan “marketing” pada seorang GM atas “jasa” temannya itu.
Semenjak itu dia memilih Kos di tempat dekat sekolahan dengan alasan capek
kalau harus pulang balik ke rumahnya yang jauh terletak di daerah Tandes.
Sebenarnya orang tua Dita cukup berada, materi tidak kurang untuk kehidupan
yang wajar, bahkan Dita diberi motor ketika mulai kos.
Dengan hidup berpisah dengan
orang tuanya, Dita bisa bebas menerima tamu kapan saja selama tidak berbenturan
dengan jadwal sekolahan seperti ujian maupun extra kulikuler wajib lainnya.
Kalau sebelumnya hanya menerima laki laki setelah pulang sekolah dan sore harus
pulang ke rumah, kini dia bisa bebas bahkan sampai bermalam seperti barusan
juga bukanlah masalah.
“setahuku ada 6 anak yang sama
seperti aku ini disekolah, bisa jadi lebih” katanya
Setiap Hari Sabtu dan Minggu dia
pulang ke rumah, hanya sesekali saja tidak pulang kalau ada ketiatan sekolah
atau ada bookingan keluar kota, tentu saja alasannya kegiatan sekolah juga.
Dita membatasi bookingan hari hari itu sebulan sekali supaya orang tuanya tidak
curiga.
Masih banyak yang ingin kutanyakan darinya, tapi mobilku sudah berada didepan sekolahnya 3 menit sebelum pukul 7, berarti belum terlambat.
Masih banyak yang ingin kutanyakan darinya, tapi mobilku sudah berada didepan sekolahnya 3 menit sebelum pukul 7, berarti belum terlambat.
“jangan salah mbak ya, meskipun
begini ini, aku selalu masuk rangking 5 besar disekolah dan sebentar lagi masuk
Universitas Indonesia tanpa tes, lima tahun lagi mbak akan mendengar nama
dr.Dita Anggraeni, dan kalo saat itu sudah terjadi aku janji akan mencari mbak”
katanya sambil turun dari mobilku berbaur dengan teman temannya, meninggalkan
aku yang masih melongo dengan ucapannya barusan, tak ada beda lagi antara Dita
yang berseragam sekolah dengan murid lainnya.
Kuamati terus Dita hingga ke pintu gerbang sekolah, tapi sebelum masuk pintu gerbang sekolah dia berlari ke arahku.
Kuamati terus Dita hingga ke pintu gerbang sekolah, tapi sebelum masuk pintu gerbang sekolah dia berlari ke arahku.
“mbak jaga diri baik baik ya,
dan….. aku nggak pake celana dalam lho” katanya lalu berlari meninggalkanku.
“dasar pelacur cilik” umpatku
dalam hati melihat Dita sudah menghilang dibalik Pintu Gerbang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar