Namaku Agus, 28 tahun, kisah
ini terjadi 3 tahun lalu ketika aku memulai karir baru sebagai auditor di PTPN
IV di kawasan perkebunan Teh di Jawa Barat. Aku tinggal seorang diri di rumah
dinas mungil dan asri semi permanen di sekitar kebun. Untuk keperluan bersih2 rumah dan
mencuci pakaian aku mempekerjakan seorang pembantu harian, mbak Juminten.
Meskipun wanita ini berumur 44 tahun, hitam manis, tinggi skitar 160 dan
tubuhnya sedikit gempal, namun ada ketertarikan tersendiri bagi saya terhadapnya.
Mbak Juminten asli Solo, dia
menikah dan ikut suami yg bekerja di perkebunan ini. 5 tahun yg lalu suaminya
wafat dan meninggalkan seorang balita perempuan berumur 5 tahun. Mbak Juminten
mengontrak rumah kecil di desa sekitar perkebunan bersama ibu mertuanya yg sdh
tua. 5 bulan mbak Juminten melayani keperluanku dgn baik, meski agak pendiam
dan memang kami jarang bertemu kecuali di akhir pekan. Gaji yg aku berikan
sebenarnya diatas pasaran, ttp mungkin karena besarnya kebutuhan beliau
sesekali meminjam uang dariku.
Belakangan mbak Juminten meminjam
uang lebih besar dari biasanya, setelah aku tanya dgn detail akhirnya dia
mengakui telah terjebak rentenir akibat kebiasanya membeli togel dan arisan.
Tidak mengerankan, hanya beberapa bulan berlalu mbak Juminten telah meminjam
uangku lebih dari 2 jt, dan pada usahanya meminjam terakhir aku menolaknya
dengan halus. Pagi itu dia sangat bingung dan panik, dengan meneteskan air mata
beliau mencoba terus memohon utk memberinya pinjaman sekitar 1,5 jt utk
menutupi tuntutan hutang dari bandar judi togel di desa. Aku kembali menolak
dengan tegas, dan mbak juminten terus terisak.
Aku memperhatikan wanita paruh
baya ini dgn seksama, wajahnya seperti kbanyakan wanita jawa pada umumnya,tdk
cantik tp aku akui masih terlihat lebih muda dari umurnya. Dan sebenarnya
selama ini juga aku sesekali melirik tubuh bawahnya yg msh kencang dan bahenol
walau pikiran kotorku tdk melangkah lebih jauh. Semalam, aku dan beberapa
temanku sempat iseng nonton film blue sambil makan sate kambing dari warung
makan Pak Kirun di ujung desa dan minum beberapa botol anker bir. Pagi itu
terasa akumulasinya. Kesadaranku belum begitu pulih. Aku mencoba menepis
pikiran itu, bagaimanapun itu bukan diriku yang sebenarnya.
Mbak Juminten juga jauh dari tipe
wanita yg aku inginkan. Terlebih aku takut dengan akibat yg bisa saja terjadi.
Bagaimana kalau dikemudian hari kenekatanku akan berbalik menjadi bencana utk
diriku dan karir. Pikiranku masih silih berganti antara pertimbangan kotor dan
waras. Mbak Juminten masih duduk bersimpuh di depanku sambil melelehkan air
mata. Ruangan menjadi sunyi. Well, aku tidak mungkin tega menolak permohonanya,
tapi setidaknya dia harus belajar utk berfikir panjang. “Jangan duduk di lantai
mbak, dikursi aja, saya jadi gak enak” aku memulai bicara.
“Nggih Den..” Dia bangkit untuk
berdiri, bagian bawah pada daster lusuh itu sedikit tersingkap ketika dia
berdiri, ada bagian yg tidak sengaja menyangkut pada tonjolan kepala peniti
pada kancing terbawahnya, sebagian pahanya yang besar dan lututnya terkuak
dihadapanku beberapa detik. Buru2 dia menariknya kebawah begitu tersadar.
Pikiranku kembali kacau. “Hmm…bingung saya mbak..”Jawabku, kepalaku masih
terasa pusing hasil minum2 semalam, aku menekan sisi kiri kepalaku. “Kenapa
den, pusing?” Tanya mbak Juminten. “Iyah, semalem begadang sm temen2..”
Jawabku. “Mbak ambilin aer putih sebentar..”Serunya sambil segera berlalu ke
dapur.
Sekelebat aku masih sempat
melihatnya melangkah pelan, setan makin kuat mempermainkan pikiranku. Bongkahan
pantat itu bergoyang2 dibalik daster, mungkin pakaian dalamnya sdh sempit, dan
bayangan tentang pahanya yg td sempat terlihat itu makin menggangguku. “Makasih
mbak” ujarku ketika menerima segelas air putih dan meminumnya perlahan. Mbak
Juminten masih berdiri di depanku, menungguku selesai minum. Aku menyumpahinya
dalam hati, melihat tubuhnya lebih dekat seperti itu pikiranku makin terpuruk.
“Duduk aja mbak, santai aja, kita bicarain dengan tenang ” ujarku. “Iya den..”
Jawabnya pelan.
“Gak kebanyakan mbak mo minjem segitu?,
terus terang saya keberatan, kayaknya yg kemaren2 sudah cukup..” Ujarku memulai
kembali pembicaraan. “Sebenernya utangnya sejuta tuju ratus den, tapi mbak
nambain pake simpenan dirumah, tolong banget den, mbak sebenernya malu banget
tp kepaksa..”Jawabnya dengan suara lirih. “Waduh..”Jawabku terputus. Aku
kembali terdiam, kepalaku masih terasa pusing. Aku menatap pemandangan luar
dari jendela. Sebenarnya tidak jadi soal utk soal jumlah uangnya, cuma sisi
gelapku masih mencoba meyakinkanku utk mengambil kesempatan. Mbak Juminten
menatap ke lantai, pikiranya masih kalut.
Dia menanti jawabanku dengan
putus asa. Aku akhirnya menyerah, biarlah, ini utk terakhir aku membantunya,
dan berharap dia segera pulang agar sesuatu yg terburuk tidak terjadi pagi ini.
“Okay mbak, sebenarnya ini berat buat saya..” Ujarku. “Mbak rela ngelakuin apa
aja den supaya den percaya mbak mau balikin uangnya..”Sergahnya. “Apa aja..”
Waduh, kata2 itu sangat menggelitik benakku. Perempuan bodoh, seruku dalam
hati. “Ngelakuin apa aja maksudnya apa nih mbak..”Tanyaku sambil tersenyum.
“Apa aja yg den agus minta mbak kerjain ..”Jawabnya lugu. “Selain urusan rumah
memang apa lagi yg bisa mbak kasih ke saya?” Kalimatku mulai menjebak.
“Hehe..apa aja den..” Jawabnya
sambil tersipu. “Mbak..mbak..hati2 klo ngomong..”Aku menghela nafas menahan
gejolak batin. “Maksudnya apa den..”Tanyanya heran. “Saya ini laki2 mbak, nanti
kalo saya minta macem2 gimana..”Lanjutku mulai berani. “Mbak gak paham den..”
Wajahnya masih bingung. “Yaa gak usah bingung, katanya mau ngelakuin apa
aja..”Godaku. “Yaa sebut aja den, nanti mbak usahain kalo memang agak berat
dikerjain..”Jawabnya. “Walah..mbak..mbak..yaa sudah saya ambil uangnya
sebentar, tapi janji yah dikembaliin secepatnya”aku berusaha menyudahi percakapan
ini.
“Makasih den..makasih
banget..”Jawabnya lega. “Tapi emangnya den Agus tadi mau ngomong apa,mungkin
mbak bisa bantu?”Lanjutnya. Aku yg tengah berjalan menuju kamar terhenti, kali
ini pikiranku sudah tidak terkontrol lagi, kalimat itu seperti akan meledak
keluar dari mulutku. Aku membalikan badan, menatapnya dengan seringai aneh.
“Mbak yakin mau nurutin apa aja kemauan saya?”Sergahku. “Iya den, ngomong
aja..”Jawabnya. Dasar perempuan bodoh ujarku dalam hati. ” Saya kepengen mbak
masuk ke kamar saya..”Kalimat selanjutnya seperti tercekat ditenggorokan.
“Terus Den?” Tanyanya penasaran.
” Mbak temenin saya
tidur..”Ucapanku serasa melayang diudara, jantungku berdegup kencang. Wajahnya
sontak kaget dan bingung. Aku tau dia pasti akan bereaksi seperti itu, tapi
salahnya sendiri. Aku sudah berusaha keras utk menahan diriku utk tidak berniat
aneh pada dirinya tapi kesadaranku belum penuh utk melawan kegilaan ini.
“Maksudnya..maksudnya apa den..mbak kok jadi takut..”Wajahnya mulai memucat.
“Iya temenin saya di ranjang, saya lagi kepengen gituan dengan perempuan
sekarang..”Jawabku, aku tau mukaku memerah. “Mmm…tapi..tapi itu kan gak mungkin
den..”Ujarnya dengan suara pelan.
“Mungkin aja kalo itu syaratnya
mbak mau pinjem uang..”Jawabku . Ruangan kembali sunyi, mbak Juminten
tertunduk, menggenggam kedua tanganya dengan gelisah. Ada rasa sesal telah
mengucapkan kalimat tadi, tapi sudah terlanjur. Aku sudah tidak mungkin
menariknya, sekarang biar sisi gelapku yg bertindak. “Gimana mbak?” Tanyaku
sambil kembali duduk dikursiku. “Tapi itu gak mungkin Den..gak mungkin..mbak
bukan perempuan kaya gitu..” Jawabnya, suaranya kembali lirih. “Hhhh…” Aku
menghela nafas berat. Mbak Juminten wajahnya kembali muram, matanya menatap ke
luar pintu, kosong, sperti berpikir keras.
“Mbak gak nyangka kok aden
bisa2nya minta yang kaya gitu..mbak ini sdh tua..gak pantes ..” Aku diam
beberapa saat. Ada rasa amarah tanpa alasan bermain dipikiranku. “Itulah laki2
mbak..” Hanya itu kalimat yg bisa meluncur dari mulutku. Dia mungkin menyesal
telah mengucap kata2 yg tadi memancing kenekatanku. Tapi situasinya sudah
terjepit, wanita lain mungkin akan menghardiku dan segera pergi menjauh,
sementara mbak Juminten tidak punya pilihan lain. “Sekarang terserah mbak, saya
tetep kasih uang yg mbak minta, kalo mbak mau menuhin kemauan saya okay, gak
juga silahkan..”Jawabku pelan sambil melangkah ke kamar.
Aku kembali ke ruang tamu dengan
sejumlah uang ditangan. Aku meletakanya pelan di atas meja kecil di depannya.
Wajahnya masih terlihat tegang, dia hanya melirik sebentar ke arah meja
kemudian kembali tenggelam dalam pikiranya. Kami kembali sama2 membisu.
Sesekali aku menatapnya, dia menyadari tengah diperhatikan olehku. “Den…apa
aden yakin …?” Tiba2 dia berucap. “Sebetulnya saya gak tega mbak, tapi entahlah..itu
yg ada dalam otak saya sekarang..terserah mbak de..”Jawabku dengan tenang.
Matanya berkaca2 menatap langit2 ruangan, perasaanya pasti tertekan.
Dia kembali terdiam.
“Hmmmm…baiklah Den..mbak gak tau lagi mo ngomong apa, atau harus kaya mana
sekarang..kalo itu maunya aden..terserahlah..jujur aja mbak teh takut
banget..mbak bukan prempuan gitu den..mbak memang janda..tapi bukan..”
“Sudahlah mbak, klo memang bersedia, skarang saya tunggu di kamar, kalo
keberatan, silahkan ambil uangnya dan segera pulang..”Ujarku tegas, kemudian
aku bangkit berdiri dan melangkah ke kamar. Aku membaringkan tubuhku di kasur,
trus terang aku pun dilanda ketakutan.Aku tengah dilanda gairah, tapi was2
dengan kemungkinan buruk yg bisa saja terjadi. Butuh beberapa menit menunggu, pintu
kamarku yg memang tidak terkunci perlahan2 bergerak terbuka. Mbak Juminten
melangkah masuk sambil tertunduk, terlihat sangat kikuk. Dia berdiri menatapku
di samping ranjang, tatapanya penuh arti.
Well, kalo saja aku tidak
terlanjur berpikiran mesum mungkin aku segera berlari keluar kamar, aku
merasakan takut yg sama seperti yg dirasa mbak Juminten. Tapi aku berusaha
tenang, aku bangkit dan duduk di pinggir kasur. “Mbak yakin mau ngelakuin ini”?
tanyaku. “Hhh..sekarang smuanya terserah aden aja..”Jawabnya pasrah. Aku
menatapnya lekat2, pandanganku menelusuri seluruh tubuhnya, seperti ingin
menelannya hidup2. Tangan kananku meraih jemari kiri tanganya. Aku memegangnya
pelan, jemari itu terasa dingin dan gemetar. Memang sudah harus kejadianya
seperti ini, apa lagi yg aku tunggu ujarku dalam hati. Makin cepat makin baik,
setan itu membisiki bertubi2.
Aku menarik tangan itu agar
tubuhnya mendekat. Niatku sebelumnya ingin memeluknya terlebih dahulu, tapi
nafsuku sudah tidak tertahankan. Aku segera meneruskan dorongan tubuhnya yg
limbung terhempas ke atas kasur. Begitu dia terhenyak di sampingku, aku
langsung menerkamnya, menghimpitnya dibawah tubuhku dan ciumanku langsung
mendarat dibibirnya. Aku tidak memberikanya waktu utk berpikir, aku melumat2
bibirnya, menciumi dengan kasar lehernya dan trus bergerak menjelajahi bagian
dadanya. Nafasnya tersengal, wajah itu masih terkaget2 dengan apa yg sedang aku
lakukan. Jemariku segera beraksi, aku menjamah bongkahan pahanya dibawahku,
daster itu telah tersingkap ke atas.
Aku seperti kesetanan menciumi
pahanya yg besar, mengecup berkali2 selangkanganya dan jemari tanganku yg lain
langsung meremas buah dadanya. Gerakanku cepat terburu nafsu. Sebentar saja
seluruh tubuhnya telah ku jamah. Aku masih menciuminya membabi buta. Tak lama
kemudian aku bergerak cepat membuka lepas pakaianya. “Den..jangan
den..sudaah..” Serunya ketika aku kembali menciuminya,hanya hanya bra dan
celana dalamnya yg tersisa menutupi tubuhnya. Seraya kedua tanganya berusaha
mendorong tubuhku. Aku tidak memperdulikan perlawananya. Aku menduduki perutnya
sambil kedua tanganku bergerak melepas bajuku. Nafasku memburu, yg keluar dari
mulutku hanyalah desahan penuh nafsu angkara murka. Wanita ini makin ketakutan
melihatku.
Kemudian aku bangkit berdiri di
atasnya. Kedua tanganku bergerak cepat melepas celana pendek dan celana
dalamku. Mbak Juminten menangis. Aku tidak perduli lagi, kejantananku telah
berdiri mengacung di atasnya, mbak Juminten makin panik melihatku. Jemariku
bergerak2 mengocok2 cepat batang penisku sehingga semakin keras berdiri,
matanya terpejam basah. “Den..sudahlah den…jangan..sudahlah..mbak gak jadi
pinjem uang..sudaaah..”Jeritnya ketika aku kembali menduduki perutnya. Dia
berusaha meronta tapi kedua tanganku dengan kuat menahan tanganya pada kedua
sisi bantal.
“Sudah telat mbak” Suaraku
bergetar menghardiknya. Aku memaksa kedua paha sekel itu terbuka, dia masih
berusaha menutupnya rapat. Kami bergumul beberapa saat, begitu ada celah aku
segera menekan kuat selangkanganku di dalam jepitan pinggul mbak Juminten.
Dengan gerakan kasar aku menarik ke samping paha kirinya. Tanganku langsung
bergerak menuntun penisku ke arah vaginanya.
Aku sempat salah memposisikanya,
dorongan penisku menggesek keluar di atas permukaan kemaluanya. Pada percobaan
kedua kepala penis itu langsung menusuk masuk. Mbak Juminten menjerit
terperikan oleh rasa sakit..Wajahnya meringis,matanya menyipit menahan perih
diselangkanganya.
Dia sangat terkejut ketika benda
itu menerobos masuk. “Ahhh…shhh…oohhh..” Desahku,terasa nikmat menjalar melalui
kejantananku hingga naik ke otak, aku seperti terbakar. Melihat kemaluan mbak
Juminten yg berbulu lebat membuatku makin bernafsu. Tubuh kami masih terdiam
kaku beberapa saat. Aku sedikit menarik penisku dan menusuknya kembali di
dalam, mbak Juminten kembali tersedak,urat lehernya menegang, matanya menatap
ke arah selangkangan, lelehan air mata itu masih mengalir dipipinya. Aku
kembali mengulanginya, kali ini aku mendorongnya lebih keras. Mbak Juminten
makin menjadi tangisnya. “Ouhh..huuhuu..huhuu..deen..sudah denn… sudaaah..”
Rintihnya sambil memegang bahuku keras. ….

Selanjutnya aku lupa diri, aku
meliuk2 menyodok selangkanganya. Penuh tenaga, makin lama makin cepat
gerakanku. Bunyi derit ranjang kayu itu menambah seru suasana. Wanita ini memiliki
tubuh yg cukup menawan. Meski sudah berumur tapi kulitnya masih kencang,
bokongnya tebal dan bahenol. Pahanya yg besar itu mulus meski tidak putih,
melingkari pinggulku. Aku beringas menghempas2 tubuhnya di bawahku. Mbak
Juminten telah berhenti menangis, matanya terpejam, hanya terdengar suara
nafasnya yg terputus2, buah dadanya bergoyang2 mengikuti gerakanku.

Wanita ini sudah pasrah dengan
apa yg tengah terjadi. Bahkan ketika aku merubah posisi, mengangkat kedua
pahanya ke atas, menahanya tergantung di udara dengan kedua lenganku,kembali
penisku terbenam,mbak Juminten hanya diam. Hujamanku makin bebas dan dalam
menjajah vaginanya yg terkuak lebar. “.. Plok..plok..plok..” Suara gesekan
selangkangan itu terdengar jelas ditelingaku. Kemaluan mbak Juminten yg basah
makin menghangatkan batang penisku di dalam. Sesaat lagi aku sudah tidak kuat
menahan desakan, aku seperti kesetanan menggenjotnya. Mbak Juminten seperti
mengerti apa yg akan segera terjadi.

“Den..tolong.. jgn keluarin di
dalem den..tolongg…” Serunya memohon dengan suara gemetar. Aku tidak menjawab,
aku tengah fokus ingin menuntaskan aksiku. Sedikit lagi akan sampai. Mbak
Juminten memekik menyebut namaku saat tusukanku tiba2 berhenti, tubuhku tengah
meregang. “Deenn..cabut deen…” Serunya panik sambil menekan perutku ke
belakang. Aliran sperma itu bergerak naik mendekati pangkal penisku, jemariku
telah kuat mencengkram sprei. Beruntung aku masih sempat menarik batang penisku
keluar dan tepat sedetik kemudian semprotan pertamanya melompat keluar.

“Ahhhhh…sshhhhhh…mbaaak…aduuhhhh…..”
Jeritku panik. Belasan kali cairan hangat itu menghantam sebagian perut mbak
Juminten. Aku terpapar kenikmatan luar biasa, mataku terpejam beberapa saat
hingga akhirnya semuanya usai. Mbak Juminten melihat proses akhir tadi dengan
seksama, dia memperhatikan wajahku yg meregang, matanya was2 melihat penisku
memuntahkan cairan kental itu membaluri perutnya.
“Sudah den..sudah puas ?” Ujarnya
beberapa saat ketika aku masih tersengal diam di atasnya, air mata itu kembali
mengalir dari pinggir pipinya.Kalimat itu serasa menamparku. Rasa penyesalan
perlahan2 merayap . My gosh, aku baru saja menodai perempuan ini. Bagaimana
mungkin hingga aku bisa sebejat itu. “Maafin saya mbak..saya bener2 khilaf..”
Jawabku bingung. Aku beringsut mundur, memungut seluruh pakaianku, melangkah ke
kamar dan meninggalkanya terbaring di ranjang. Aku melepas kekalutan pikiranku
dengan menghisap sebatang rokok di ruang tamu.
Mudah2an mbak Juminten tidak
memperkarakanku, menganggapnya selesai hanya di sini. Aku menepuk2 keningku
menyesali kebodohanku. Mbak Juminten keluar kamar beberapa menit kemudian.
Matanya sembab, dia duduk di kursi di sampingku, tanpa bicara. Suasana hening,
aku tidak berani menatapnya atau memulai pembicaraan. “Ini uangnya saya ambil
den, nanti diusahain dikembaliin kok..” Ujarnya pelan, suaranya berat,hidungnya
seperti tersumbat cairan. “Iya mbak, gak usah dipikirin soal
kembalianya..dan..maaf soal yg tadi..”Jawabku tanpa menoleh kepadanya. “Gak
papa den..gak papa..”Jawabnya, tangisnya kembali pecah sedetik kemudian,
bahunya terguncang2, aku hanya bisa terdiam.
“Sekali lagi maaf mbak..” Dia
mengangguk pelan sambil menunduk,tetes2 air mata itu masih berjatuhan
dipangkuanya. Aku meraih uang itu, melipatnya,kemudian memasukanya ke dalam
kantung dasternya. Jemariku menyentuh pangkal tangannya, menepuknya pelan
kemudian tanpa bicara aku melangkah masuk ke kamar sambil menutup pintu. Aku
tidak sanggup lagi melihat wanita itu menangis. Aku terbaring,penat terasa,
pinggangku nyeri. Aku melihat Jam di dinding, pukul 2 siang, aku mungkin telah
tertidur lebih dari 2 jam. Perutku sangat lapar, aku melangkah keluar kamar.
Mbak Juminten mungkin telah lama pulang. Aku kembali didera pikiran buruk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar