Namaku Andi mahasiswa di sebuah universitas
terkenal di Surakarta. Di kampungku sebuah desa di pinggiran kota Sragen ada
seorang gadis, Ana namanya. Ana merupakan gadis yang cantik, berkulit kuning
dengan body yang padat didukung postur tubuh yang tinggi membuat semua kaum
Adam menelan ludah dibuatnya. Begitu juga dengan aku yang secara diam- diam
menaruh hati padanya walaupun umurku 5 tahun dibawahnya, tapi rasa ingin
memiliki dan nafsuku lebih besar dari pada mengingat selisih umur kami.
Kebetulan rumah Mbak Ana tepat berada di
samping rumahku dan rumah itu kiranya tidak mempunyai kamar mandi di dalamnya,
melainkan bilik kecil yang ada di luar rumah. Kamar Mbak Ana berada di samping
kanan rumahku, dengan sebuah jendela kaca gelap ukuran sedang. Kebiasaan Mbak
Ana jika tidur lampu dalam rumahnya tetap menyala, itu kuketahui karena
kebiasaan burukku yang suka mengintip orang tidur, aku sangat terangsang jika
melihat Mbak Ana sedang tidur dan akhirnya aku melakukan onani di depan jendela
kamar Mbak Ana.
Ketika itu aku pulang dari kuliah lewat
belakang rumah karena sebelumnya aku membeli rokok di warung yang berada di
belakang rumahku. Saat aku melewati bilik Mbak Ana, aku melihat sosok tubuh
yang sangat kukenal yang hanya terbungkus handuk putih bersih, tak lain adalah
Mbak Ana, dan aku menyapanya,
“Mau mandi Mbak,” sambil menahan perasaan
yang tak menentu.
“Iya Ndik, mau ikutan..” jawabnya dengan senyum lebar, aku hanya tertawa
menanggapi candanya.
Terbersit niat jahat di hatiku, perasaanku
menerawang jauh membanyangkan tubuh Mbak Ana bila tidak tertutup sehelai
benangpun. Niat itupun kulakukan walau dengan tubuh gemetar dan detak jantung
yang memburu, kebetulan waktu itu keadaan sunyi dengan keremangan sore
membuatku lebih leluasa. Kemudian aku mempelajari situasi di sekitar bilik
tempat Mbak Ana mandi, setelah memperkirakan keadaan aman aku mulai beroperasi
dan mengendap-endap mendekati bilik itu.
Dengan detak jantung yang memburu aku mencari
tempat yang strategis untuk mengintip Mbak Ana mandi dan dengan mudah aku
menemukan sebuah lubang yang cukup besar seukuran dua jari. Dari lubang itu aku
cukup leluasa menikmati kemolekan dan keindahan tubuh Mbak Ana dan seketika itu
juga detak jantungku berdetak lebih cepat dari sebelumnya, tubuhku gemetar
hingga kakiku terasa tidak dapat menahan berat badanku.
Kulihat tubuh yang begitu sintal dan padat
dengan kulit yang bersih mulus begitu merangsang setiap nafsu lelaki yang
melihatnya, apalagi sepasang panyudara dengan ukuran yang begitu menggairahkan,
kuning langsat dengan puting yang coklat tegak menantang setiap lelaki.
Kemudian kupelototi tubuhnya dari atas ke
bawah tanpa terlewat semilipun. Tepat di antara kedua kaki yang jenjang itu ada
segumpal rambut yang lebat dan hitam, begitu indah dan saat itu tanpa sadar aku
mulai menurunkan reitsletingku dan memegangi kemaluanku, aku mulai membayangkan
seandainya aku dapat menyetubuhi tubuh Mbak Ana yang begitu merangsang
birahiku.
Terasa darahku mengalir dengan cepat dan
dengusan nafasku semakin memburu tatkala aku merasakan kemaluanku begitu keras
dan berdenyut-denyut. Aku mempercepat gerakan tanganku mengocok kemaluanku,
tanpa sadar aku mendesah hingga mengusik keasyikan Mbak Ana mandi dan aku
begitu terkejut juga takut ketika melihat Mbak Ana melirik lubang tempatku mengintipnya
mandi sambil berkata,
“Ndik ngintip yaaa…” Seketika itu juga
nafsuku hilang entah kemana berganti dengan rasa takut dan malu yang luar
biasa. Kemudian aku istirahat dan mengisap rokok Mild yang kubeli sebelum
pulang ke rumah, kemudian kulanjutkan kegiatanku yang terhenti sesaat. Setelah
aku mulai beraksi lagi, aku terkejut untuk kedua kalinya, seakan-akan Mbak Ana
tahu akan kehadiranku lagi. Ia sengaja memamerkan keindahan tubuhnya dengan
meliuk-liukkan tubuhnya dan meremas- remas payudaranya yang begitu indah dan ia
mendesah-desah kenikmatan.
Disaat itu juga aku mengeluarkan kemaluanku
dan mengocoknya kuat-kuat. Melihat permainan yang di perlihatkan Mbak Ana, aku
sangat terangsang ingin rasanya aku menerobos masuk bilik itu tapi ada rasa
takut dan malu. Terpaksa aku hanya bisa melihat dari lubangtempatku mengintip.
Kemudian Mbak Ana mulai meraba-raba seluruh tubuhnya dengan tangannya yang
halus disertai goyangan-goyangan pinggul, tangan kanannya berhenti tepat di
liang kewanitaannya dan mulai mengusap-usap bibir kemaluannya sendiri sambil
tangannya yang lain di masukkan ke bibirnya.
Kemudian jemari tangannya mulai dipermainkan
di atas kemaluannya yang begitu menantang dengan posisi salah satu kaki
diangkat di atas bak mandi, pose yang sangat merangsang kelelakianku. Aku
merasa ada sesuatu yang mendesak keluar di kemaluanku dan akhirnya sambil
mendesah lirih,
“Aahhkkkhh…” aku mengalami puncak kepuasan
dengan melakukan onani sambil melihat Mbak Ana masturbasi.
Beberapa saat
kemudian aku juga mendengar Mbak Ana mendesah lirih,“Oohhh.. aaahh..” dia juga
mencapai puncak kenikmatannya dan akhirnya aku meninggalkan tempat itu dengan
perasaan puas. Di suatu sore aku berpapasan dengan Mbak Ana.
“Sini Ndik,” ajaknya untuk mendekat, aku
hanya mengikuti kemauannya, terbersit perasaan aneh dalam benakku. “Mau kemana
sore-sore gini,” tanyanya kemudian.
“Mau keluar Mbak, beli rokok..” jawabku
sekenanya.“Di sini aja temani Mbak Ana ngobrol, Mbak Ana kesepian nih..” ajak
Mbak Ana.
Dengan perlahan aku mengambil tempat persis
di depan Mbak Ana, dengan niat agar aku leluasa memandangi paha mulus milik
Mbak Ana yang kebetulan cuma memakai rok mini diatas lutut.
“Emangnya pada kemana, Mbak..” aku mulai
menyelidik.“Bapak sama Ibu pergi ke rumah nenek,” jawabnya sambil tersenyum
curiga.
“Emang ada acara apa Mbak,” tanyaku lagi sambil melirik paha yang halus mulus itu ketika rok mini itu semakin tertarik ke atas. Sambil tersenyum manis ia menjawab, “Nenek sedang sakit Ndik, yaa… jadi aku harus nunggu rumah sendiri.” Aku hanya manggut-manggut.
“Eh… Ndik ke dalam yuk, di luar banyak angin,” katanya. “Mbak punya CD bagus lho,” katanya lagi.
“Emang ada acara apa Mbak,” tanyaku lagi sambil melirik paha yang halus mulus itu ketika rok mini itu semakin tertarik ke atas. Sambil tersenyum manis ia menjawab, “Nenek sedang sakit Ndik, yaa… jadi aku harus nunggu rumah sendiri.” Aku hanya manggut-manggut.
“Eh… Ndik ke dalam yuk, di luar banyak angin,” katanya. “Mbak punya CD bagus lho,” katanya lagi.
Tanpa menunggu persetujuanku ia langsung
masuk ke dalam, menuju TV yang di atasnya ada VCD player dan aku hanya
mengikutinya dari belakang, basa-basi aku bertanya,
“Filmnya apa Mbak..” Sambil menyalakan VCD,
Mbak Ana menjawab, “Titanic Ndik, udah pernah nonton.” Aku berbohong menjawab,
“Belum Mbak, filmnya bagus ya..” Mbak Ana hanya mengangguk mengiyakan
pertanyaanku. Setelah film terputar, tanpa sadar aku tertidur hingga larut
malam dan entah mengapa Mbak Ana juga tidak membangunkanku. Aku melihat arloji
yang tergantung di dinding tembok di atas TV menandakan tepat jam 10 malam. Aku
menebarkan pandangan ke sekeliling ruangan yang nampak sepi dan tak kutemui
Mbak Ana.
Pikiranku mulai dirasuki pikiran- pikiran
yang buruk dan pikirku sekalian tidur disini aja. Memang aku sering tidur di
rumah teman dan orang tuaku sudah hafal dengan kebiasaanku, akupun tidak
mencemaskan jika orang tuaku mencariku.
Waktu berlalu, mataku pun tidak bisa terpejam
karena pikiran dan perasaanku mulai kacau, pikiran- pikiran sesat telah
mendominasi sebagian akal sehatku dan terbersit niat untuk masuk ke kamar Mbak
Ana. Aku terkejut dan nafasku memburu, jantungku berdetak kencang ketika
melihat pintu kamar Mbak Ana terbuka lebar dan di atas tempat tidur tergolek
sosok tubuh yang indah dengan posisi terlentang dengan kaki ditekuk ke atas
setengah lutut hingga kelihatan sepasang paha yang gempal dan di tengah
selakangan itu terlihat dengan jelas CD yang berwarna putih berkembang terlihat
ada gundukan yang seakan-akan penuh dengan isi hingga mau keluar.
Nafsu dan darah lelakiku tidak tertahan lagi,
kuberanikan mendekati tubuh yang hanya dibungkus dengan kain tipis dan dengan
perlahan kusentuh paha yang putih itu, kuusap dari bawah sampai ke atas dan aku
terkejut ketika ada gerakan pada tubuh Mbak Ana dan aku bersembunyi di bawah
kolong tempat tidur. Sesaat kemudian aku kembali keluar melihat keadaan dan
posisi tidur Mbak Ana yang menambah darah lelakiku berdesir hebat, dengan
posisi kaki mengangkang terbuka lebar seakan-akan menantang supaya segera
dimasuki kemaluan laki-laki. Aku semakin berani dan mulai naik ke atas
tempat tidur, tanpa pikir panjang aku mulai menjilati kedua kaki Mbak Ana dari
bawah sampai ke belahan paha tanpa terlewat semilipun. Seketika itu juga ia
menggelinjang kenikmatan dan aku sudah tidak mempedulikan rasa takut dan malu
terhadap Mbak Ana. Sampai di selangkangan, aku merasa kepalaku dibelai kedua
tangan yang halus dan akupun tidak menghiraukan kedua tangan itu. Lama-
kelamaan tangan itu semakin kuat menekan kepalaku lebih masuk lagi ke dalam
kemaluan Mbak Ana yang masih terbukus CD putih itu.
Dia menggoyang-goyangkan pantatnya, tanpa
pikir panjang aku menjilati bibir kemaluannya hingga CD yang semula kering
menjadi basah terkena cairan yang keluar dari dalam liang kewanitaan Mbak Ana
dan bercampur dengan air liurku. Aku mulai menyibak penutup liang kewanitaan
dan menjilati bibir kemaluan Mbak Ana yang memerah dan mulai berlendir hingga
Mbak Ana terbangun dan tersentak. Secara refleks dia menampar wajahku dua kali
dan mendorong tubuhku kuat-kuat hingga aku tersungkur ke belakang dan setelah
sadar ia berteriak tidak terlalu keras,
“Ndik kamu ngapaiiin…” dengan gemetar dan
perasaan yang bercampur aduk antara malu dan takut,“Maafkan aku Mbak, aku lepas
kontrol,” dengan terbata-bata dan aku meninggalkan kamar itu. Dengan perasaan
berat aku menghempaskan pantatku ke sofa biru yang lusuh. Sesaat kemudian Mbak
Ana menghampiriku, dengan tergagap aku mengulangi permintaan maafku, “Ma..ma..afkan…
aku Mbak..” Mbak Ana cuma diam entah apa yang dipikirkan dan dia duduk tepat di
sampingku.
Beberapa saat keheningan menyelimuti kami
berdua dan kamipun disibukkan dengan pikiran kami masing-masing sampai
tertidur. Pagi itu aku bangun, kulihat Mbak Ana sudah tidak ada lagi di sisiku
dan sesaat kemudian hidungku memcium aroma yang memaksa perutku mengeluarkan
gemuruh yang hebat. Mbak Ana memang ahli dibidang masak. Tiba-tiba aku mendengar
bisikan yang merdu memanggil namaku,
“Ndik ayo makan dulu, Mbak udah siapin
sarapan nih,” dengan nada lembut yang seolah-olah tadi malam tidak ada kejadian
apa-apa.
“Iya Mbak, aku cuci muka dulu,” aku menjawab dengan malas. Sesaat kemudian kami telah melahap hidangan buatan Mbak
“Iya Mbak, aku cuci muka dulu,” aku menjawab dengan malas. Sesaat kemudian kami telah melahap hidangan buatan Mbak
Ana yang ada di atas meja, begitu lezatnya
masakan itu hingga tidak ada yang tersisa, semua kuhabiskan. Setelah itu
seperti biasa, aku menyalakan rokok Mild kesayanganku,
“Ndik maafkan Mbak tadi malam ya,” Mbak Ana
memecah keheningan yang kami ciptakan. “Harusnya aku tidak berlaku kasar padamu
Ndik,” tambahnya.
Aku jadi bingung dan menduga-duga apa maksud
Mbak Ana, kemudian akupun menjawab, “Seharusnya aku yang meminta maaf pada
Mbak, aku yang salah,” kataku dengan menundukkan kepala.
“Tidak Ndik.. aku yang salah, aku terlalu
kasar kepadamu,” bisik Mbak Ana. Akupun mulai bisa menangkap kemana arah
perkataan Mbak Ana.
“Kok bisa gitu Mbak, kan aku yang salah,” tanyaku memancing.
“Nggak Ndik.. aku yang salah,” katanya dengan tenang,
“Karena aku teledor, tapi nggak pa-pa kok Ndik.” Aku terkejut mendengar jawaban itu. “Ndik, Mbak Ana nanya boleh nggak,” bisik Mbak Ana mesra. Dengan senyum mengembang aku menjawab,
“Kenapa tidak Mbak.” Dengan ragu-ragu Mbak Ana melanjutkan kata-katanya, “Kamu udah punya pacar Ndik..” suara itu pelan sekali lebih mirip dengan bisikan.
“Kok bisa gitu Mbak, kan aku yang salah,” tanyaku memancing.
“Nggak Ndik.. aku yang salah,” katanya dengan tenang,
“Karena aku teledor, tapi nggak pa-pa kok Ndik.” Aku terkejut mendengar jawaban itu. “Ndik, Mbak Ana nanya boleh nggak,” bisik Mbak Ana mesra. Dengan senyum mengembang aku menjawab,
“Kenapa tidak Mbak.” Dengan ragu-ragu Mbak Ana melanjutkan kata-katanya, “Kamu udah punya pacar Ndik..” suara itu pelan sekali lebih mirip dengan bisikan.
“Dulu sih udah Mbak tapi sekarang udah
bubaran.” Kulihat ada perubahan di wajah Mbak Ana.
“Kenapa Ndik,” dan akupun mulai bercerita
tentang hubunganku dengan Maria teman SMP-ku dulu yang lari dengan laki-laki
lain beberapa bulan yang lalu, Mbak Ana pun mendengarkan dengan sesekali
memotong ceritaku. “Kalo Mbak Ana udah punya cowok belum,” tanyaku dengan
berharap.
“Belum tuh Ndik, lagian siapa yang mau sama perawan tua seperti aku ini,” jawabnya dengan raut wajah yang diselimuti mendung.
“Kamu nggak cari pacar lagi Ndik,” sambung Mbak Ana. Dengan mendengus pelan aku menjawab,“Aku takut kejadian itu terulang, takut kehilangan lagi.” Dengan senyum yang manis dia mendekatiku dan membelai rambutku dengan mesra,“Kasian kamu Andi..” lalu Mbak Ana mencium keningku dengan lembut, aku merasa ada sepasang benda yang lembut dan hangat menempel di punggungku.
“Belum tuh Ndik, lagian siapa yang mau sama perawan tua seperti aku ini,” jawabnya dengan raut wajah yang diselimuti mendung.
“Kamu nggak cari pacar lagi Ndik,” sambung Mbak Ana. Dengan mendengus pelan aku menjawab,“Aku takut kejadian itu terulang, takut kehilangan lagi.” Dengan senyum yang manis dia mendekatiku dan membelai rambutku dengan mesra,“Kasian kamu Andi..” lalu Mbak Ana mencium keningku dengan lembut, aku merasa ada sepasang benda yang lembut dan hangat menempel di punggungku.
Sesaat kemudian perasaanku melayang entah
kemana, ada getaran asing yang belum pernah kurasakan selama ini.
“Ndik boleh Mbak jadi pengganti Maria,” bisik
Mbak Ana mesra. Aku bingung, perasaanku berkecamuk antara senang dan takut,
“Andik takut Mbak,” jawabku lirih. “Mbak nggak akan meninggalkanmu Ndik, percayalah,” dengan kecupan yang lembut. “Bener Mbak, Mbak Ana berani sumpah tidak akan meninggalkan Andik,” bisikku spontan karena gembira.
“Andik takut Mbak,” jawabku lirih. “Mbak nggak akan meninggalkanmu Ndik, percayalah,” dengan kecupan yang lembut. “Bener Mbak, Mbak Ana berani sumpah tidak akan meninggalkan Andik,” bisikku spontan karena gembira.
Mbak Ana mengangguk dengan senyumnya yang
manis, kamipun berpelukan erat seakan-akan tidak akan terpisahkan lagi. Setelah
itu kami nonton Film yang banyak adegan romantis yang secara tidak sadar
membuat kami berpelukan, yang membuat kemaluanku berdiri. Entah disengaja atau
tidak, kemudian Mbak Ana mulai merebahkan kepalanya di pangkuanku dan aku
berusaha menahan nafsuku sekuat mungkin tapi mungkin Mbak Ana mulai
menyadarinya.
“Ndik kok kamu gerak terus sih capek ya.”
Dengan tersipu malu aku menjawab,
“Eh… nggak Mbak, malah Andik suka kok.” Mbak Ana tersenyum, “Tapi kok gerak-gerak terus Ndik..” Aku mulai kebingungan,
“Eh.. anu kok.” Mbak Anak menyahut,
“Apaan Ndik, bikin penasaran aja.” Kemudian Mbak Ana bangun dari pangkuanku dan mulai memeriksa apa yang bergerak di bawah kepalanya dan iapun tersenyum manis sambil tertawa,
“Hii.. hii.. ini to tadi yang bergerak,” tanpa canggung lagi Mbak Ana membelai benda yang sejak tadi bergerak-gerak di dalam celanaku dan aku semakin tidak bisa menahan nafsu yang bergelora di dalam dadaku. Kuberanikan diri, tanganku membelai wajahnya yang cantik dan Mbak Ana seperti menikmati belaianku hingga matanya terpejam dan bibirnya yang sensual itu terbuka sedikit seperti menanti kecupan dari seorang laki-laki.
“Eh… nggak Mbak, malah Andik suka kok.” Mbak Ana tersenyum, “Tapi kok gerak-gerak terus Ndik..” Aku mulai kebingungan,
“Eh.. anu kok.” Mbak Anak menyahut,
“Apaan Ndik, bikin penasaran aja.” Kemudian Mbak Ana bangun dari pangkuanku dan mulai memeriksa apa yang bergerak di bawah kepalanya dan iapun tersenyum manis sambil tertawa,
“Hii.. hii.. ini to tadi yang bergerak,” tanpa canggung lagi Mbak Ana membelai benda yang sejak tadi bergerak-gerak di dalam celanaku dan aku semakin tidak bisa menahan nafsu yang bergelora di dalam dadaku. Kuberanikan diri, tanganku membelai wajahnya yang cantik dan Mbak Ana seperti menikmati belaianku hingga matanya terpejam dan bibirnya yang sensual itu terbuka sedikit seperti menanti kecupan dari seorang laki-laki.
Tanpa pikir panjang, kusentuhkan bibirku ke
bibir Mbak Ana dan aku mulai melumat habis bibir yang merah merekah dan kami
saling melumat bibir. Aku begitu terkejut ketika Mbak Ana memainkan lidahnya di
dalam mulutku dan sepertinya lidahku ditarik ke dalam mulutnya, kemudian tangan
kiri Mbak Ana memegang tanganku dan dibimbingnya ke belahan dadanya yang
membusung dan tangan yang lain sedari tadi asyik memainkan kemaluanku. Akupun
mulai berani meremas- remas buah dadanya dan Mbak Anapun menggelinjang
kenikmatan, “Te..rus… Ndik aaahh…” Kemudian dengan tangan
yang satunya lagi kuelus dengan lembut paha putih mulus Mbak Ana, semakin lama
semakin ke atas.
Tiba-tiba aku dikejutkan tangan Mbak Ana yang
semula ada di luar celana dan sekarang sudah mulai berani membuka reitsletingku
dan menerobos masuk meremas-remas buah zakarku sambil berkata,

“Sayang.. punyamu besar juga ya..” Akupun
mulai berani mempermainkan kemaluan Mbak Ana yang masih terbungkus CD dan iapun
semakin menggeliat seperti cacing kepanasan,
“Aaahh lepas aja Ndik..” Sesaat kemudian CD yang melindungi bagian vital Mbak Ana sudah terhempas di lantai dan akupun mulai mempermainkan daging yang ada di dalam liang senggama Mbak Ana.
“Aaahhh enak, enak Ndik masukkan aja Ndik,” jariku mulai masuk lebih dalam lagi, ternyata Mbak Ana sudah tidak perawan lagi, miliknya sudah agak longgar dan jariku begitu mudahnya masuk ke liang kewanitaannya.
“Aaahh lepas aja Ndik..” Sesaat kemudian CD yang melindungi bagian vital Mbak Ana sudah terhempas di lantai dan akupun mulai mempermainkan daging yang ada di dalam liang senggama Mbak Ana.
“Aaahhh enak, enak Ndik masukkan aja Ndik,” jariku mulai masuk lebih dalam lagi, ternyata Mbak Ana sudah tidak perawan lagi, miliknya sudah agak longgar dan jariku begitu mudahnya masuk ke liang kewanitaannya.
Satu demi satu pakaian kami terhempas ke
lantai sampai tubuh kami berdua polos tanpa selembar benang pun. Mbak Ana
langsung memegang batang kemaluanku yang sudah membesar dan tegak berdiri,
kemudian langsung diremas-remas dan diciumnya. Aku hanya bisa memejamkan mata
merasakan kenikmatan yang diberikan Mbak Ana saat bibir yang lembut itu
mengecup batang kemaluanku hingga basah oleh air liurnya yang hangat. Lalu
lidah yang hangat itu menjilati hingga menimbulkan kenikmatan yang tak dapat
digambarkan.

Tidak puas menjilati batang kemaluanku, Mbak
Ana memasukkan batang kemaluanku ke mulutnya yang sensual itu hingga amblas
separuhnya, secara refleks kugoyangkan pantatku maju mundur dengan pelan sambil
memegangi rambut Mbak Ana yang hitam dan lembut yang menambah gairah seksualku
dan aroma harum yang membuatku semakin terangsang.

Setelah puas, Mbak Ana
menghempaskan pantatnya di sofa. Akupun paham dan dengan posisi kaki Mbak Ana
mengangkang menginjak kedua pundakku, aku langsung mencium paha yang jenjang
dari bawah sampai ke atas.
Mbak Ana menggelinjang keenakan, “Aaahhh…”
desahan kenikmatan yang membuatku tambah bernafsu dan langsung bibir
kemaluannya yang merah merekah itu kujilati sampai basah oleh air liur dan
cairan yang keluar dari liang kenikmatan Mbak Ana. Mataku terbelalak saat
melihat di sekitar bibir kenikmatan itu ditumbuhi bebuluan yang halus dan lebat
seperti rawa yang di tengahnya ada pulau merah merekah.
Tanganku mulai beraksi menyibak kelebatan
bebuluan yang tumbuh di pinggir liang kewanitaan, begitu indah dan
merangsangnya liang sorga Mbak Ana ketika klitoris yang memerah menjulur keluar
dan langsung kujilati hingga Mbak Ana meronta-ronta kenikmatan dan tangan Mbak
Ana memegangi kepalaku serta mendorong lebih ke dalam kedua pangkal pahanya
sambil menggoyanggoyangkan pinggulnya hingga aku kesulitan bernafas. Tanganku
yang satunya meremas-remas dan memelintir puting susu yang sudah mengeras
hingga menambah kenikmatan bagi Mbak Ana.

“Ndik.. udah… aaahhh, masukin.. ajaaa..
ooohh…” aku langsung berdiri dan siap-siap memasukkan batang kemaluanku ke
lubang senggama Mbak Ana.
Begitu menantang posisi Mbak Ana dengan kedua
kaki mengangkang hingga kemaluannya yang merah mengkilat dan klitorisnya yang
menonjol membuatku lebih bernafsu untuk meniduri tubuh Mbak Ana yang seksi dan
mulus itu.

Perlahan namun pasti, batang kemaluanku yang basah dan tegak
kumasukkan ke dalam liang kewanitaan yang telah menganga menantikan kenikmatan
sorgawi. Setelah batang kemaluanku terbenam kami secara bersamaan melenguh
kenikmatan, “Aaahh…” dan mulai kugoyangkan perlahan pinggulku maju mundur,
bagaikan terbang ke angkasa kenikmatan tiada tara kami reguk bersama.

Bibir kamipun mulai saling memagut dan lidah
Mbak Ana mulai bermain-main di dinding rongga mulutku, begitu nikmat dan
hanggat. Liang senggama Mbak Ana yang sudah penuh dengan lendir kenikmatan
itupun mulai menimbulkan suara yang dapat meningkatkan gairah seks kami berdua.
Tubuh kamipun bermandikan keringat. Tiba-tiba terdengar teriakan memanggil Mbak
Ana.

“Aaaan… Anaaa..” Kami begitu terkejut,
bingung dan grogi dengan bergegas kami memungut pakaian yang berserakan di
lantai dan memakainya. Tanpa sadar kami salah ambil celana dalam, aku memakai
CD Mbak Ana dan Mbak Ana juga memakai CD-ku.
Kemudian aku keluar dari pintu belakang dan
Mbak Ana membukakan pintu untuk bapak dan ibunya. Keesokan harinya aku baru
berniat mengembalikan CD milik Mbak Ana dan mengambil CD-ku yang kemarin
tertukar. Aku berjalan melewati lorong sempit diantara rumahku dan rumah Mbak
Ana. Kulihat Mbak Ana sedang mencuci pakaian di dekat sumur belakang rumahku.
Setelah keadaan aman, aku mendekati Mbak Ana yang asyik mencuci pakaian
termasuk CD-ku yang kemarin tertukar. Sambil menghisap rokok sampurna A Mild,
“Mbak nih CD-nya yang kemarin tertukar,”
sambil duduk di bibir sumur, sekilas kami bertatap muka dan meledaklah tawa
kami bersamaan,
“Haa.. Haaaa…” mengingat kejadian kemarin yang sangat menggelikan. Setelah tawa kami mereda, aku membuka percakapan, “Mbak kapan main lagi, kan kemarin belum puas.” Dengan senyum yang manis, “Kamu mau lagi Ndik, sekarang juga boleh..” Aku jadi terangsang sewaktu posisi Mbak Ana membungkuk dengan mengenakan daster tidur dan dijinjing hinggga di atas lutut.“Emang ibu Mbak Ana sudah berangkat ke sawah, Mbak,” sambil menempelkan kemaluanku yang mulai mengeras ke pantat Mbak Ana.“Eh…eh jangan disini Ndik, entar diliat orang kan bisa runyam.” Kemudian Mbak Ana mengajakku masuk ke kamar mandi, sesaat kemudian di dalam kamar mandi kami sudah berpelukan dan seperti kesetanan aku langsung menciumi dan menjilati leher Mbak Ana yang putih bersih.
“Haa.. Haaaa…” mengingat kejadian kemarin yang sangat menggelikan. Setelah tawa kami mereda, aku membuka percakapan, “Mbak kapan main lagi, kan kemarin belum puas.” Dengan senyum yang manis, “Kamu mau lagi Ndik, sekarang juga boleh..” Aku jadi terangsang sewaktu posisi Mbak Ana membungkuk dengan mengenakan daster tidur dan dijinjing hinggga di atas lutut.“Emang ibu Mbak Ana sudah berangkat ke sawah, Mbak,” sambil menempelkan kemaluanku yang mulai mengeras ke pantat Mbak Ana.“Eh…eh jangan disini Ndik, entar diliat orang kan bisa runyam.” Kemudian Mbak Ana mengajakku masuk ke kamar mandi, sesaat kemudian di dalam kamar mandi kami sudah berpelukan dan seperti kesetanan aku langsung menciumi dan menjilati leher Mbak Ana yang putih bersih.
“Ohhh nggak sabaran baget sih Ndik,” sambil
melenguh Mbak Ana berbisik lirih.“Kan kemaren terganggu Mbak.” Setelah puas
mencium leher aku mulai mencium bibir Mbak Ana yang merah merekah, tanganku pun
mulai meremas- remas kedua bukit yang mulai merekah dan tangan yang satunya
lagi beroperasi di bagian kemaluan Mbak Ana yang masih terbungkus CD yang halus
dan tangan Mbak Ana pun mulai menyusup di dalam celanaku, memainkan batang
kemaluanku yang mulai tegak dan berdenyut.
Sesaat kemudian pakaian kami mulai tercecer
di lantai kamar mandi hingga tubuh kami polos tanpa sehelai benangpun. Tubuh
Mbak Ana yang begitu seksi dan menggairahkan itu mulai kujilati mulai dari
bibir turun ke leher dan berhenti tepat di tengah kedua buah dada yang ranum
dengan ukuran yang cukup besar. Kemudian sambil meremas-remas belahan dada yang
kiri puting susu yang kecoklatan itu kujilati hingga tegak dan keras.
“Uhhh.. ahhh.. terus Ndik,” Mbak Ana melenguh
kenikmatan ketika puting susu yang mengeras itu kugigit dan kupelintir
menggunakan gigi depanku.
“Aaahhh.. enak Mbak..” Mbak Anapun mengocok dan meremas batang kemaluanku hingga berdenyut hebat. Kemudian aku duduk di bibir bak mandi dan Mbak Ana mulai memainkan batang kemaluanku dengan cara mengocoknya.“Ahhh.. uhhhhh..” tangan yang halus itu kemudian meremas buah zakarku dengan lembut dan bibirnya mulai menjilati batang kemaluanku.
“Aaahhh.. enak Mbak..” Mbak Anapun mengocok dan meremas batang kemaluanku hingga berdenyut hebat. Kemudian aku duduk di bibir bak mandi dan Mbak Ana mulai memainkan batang kemaluanku dengan cara mengocoknya.“Ahhh.. uhhhhh..” tangan yang halus itu kemudian meremas buah zakarku dengan lembut dan bibirnya mulai menjilati batang kemaluanku.
Terasa nikmat dan hangat ketika lidah Mbak
Ana menyentuh lubang kencing dan memasukkan air liurnya ke dalamnya. Setelah
puas menjilati, bibir Mbak Ana mulai mengulum hingga batang kemaluanku masuk ke
dalam mulutnya.
“Aahhh… uuuhhff…” lidah Mbak Ana menjilat
kemaluanku di dalam mulutnya, kedua tanganku memegangi rambut yang lembut dan
harum yang menambah gairah sekaligus menekan kepala Mbak Ana supaya lebih dalam
lagi hingga batang kemaluanku masuk ke mulutnya. “Gantian dong Ndik,” Mbak Ana mengiba memintaku bergantian memberi kenikmatan
kepadanya.
Kemudian aku memainkan kedua puting susu Mbak
Ana, mulutku mulai bergerak ke bawah menuju selakangan yang banyak ditumbuhi
bebuluan yang halus dan lebat. Mbak Anapun tanpa dikomando langsung
mengangkangkan kedua kakinya hingga kemaluannya yang begitu indah merangsang
setiap birahi laki-laki itu kelihatan dan klitorisnya yang kemerahan menonjol
keluar, akupun menjilati klitoris yang kemerahan itu hingga berlendir dan
membasahi bibir kemaluan Mbak Ana.
“Aaahhh… aaahh… terus… enak..” Mbak Ana
menggelinjang hebat dengan memegangi kepalaku, kedua tangannya menekan lebih ke
dalam lagi.
Setelah liang kenikmatan bak Ana mulai basah
dengan cairan yang mengkilat dan bercampur dengan air liur, kemudian aku
memasukkan kedua jariku ke dalam liang kewanitaan Mbak Ana dan kumainkan maju
mundur hingga Mbak Ana menggelinjang hebat dan tidak tahan lagi.
“Ndik.. ooohh.. ufff cepetan masukin aja..”
Dengan posisi berdiri dan sebelah kaki dinaikkan ke atas bibir bak mandi, Mbak
Ana mulai menyuruh memasukkan batang kemaluanku ke liang senggamanya yang sejak
tadi menunggu hujaman kemaluanku.

Kemudian aku memegang batang kemaluanku dan
mulai memasukkan ke liang kewanitaan Mbak Ana.
“Aahhh…” kami bersamaan merintih kenikmatan,
perlahan kuayunkan pinggulku maju mundur dan Mbak Ana mengikuti dengan
memutar-mutar pinggulnya yang mengakibatkan batang kemaluanku seperti disedot
dan diremas daging hidup hingga menimbulkan kenikmatan yang tiada tara.

Kemudian kuciumi bibir Mbak Ana dan kuremas
buah dadanya yang montok hingga Mbak Ana memejamkan matanya menahan kenikmatan.
“Ahhh… uhhh…” Mbak Ana melenguh dan berbisik,
“Lebih kenceng lagi Ndik.” Kemudian aku lebih mempercepat gerakan pantatku
hingga menimbulkan suara becek,

“Jreb.. crak.. jreb.. jreb…” suara yang menambah gairah dalam bermain seks hingga kami bermandikan keringat.
Setelah bosan dengan posisi seperti itu, Mbak
Ana mengubah posisi dengan membungkuk, tangannya berpegangan pada bibir bak
mandi kemudian aku memasukkan batang kemaluanku dari belakang. Terasa nikmat
sekali ketika batang kemaluanku masuk ke liang senggama Mbak Ana. Terasa lebih
sempit dan terganjal pinggul yang empuk. Kemudian tanganku memegangi leher Mbak
Ana dan tangan yang lain meremas puting susunya yang bergelantungan. “Uuuhhh…
ahhh enak Ndik,” dan aku semakin mempercepat gerakan pantatku.

“Uuuhhh.. uuuhhh Ndik, Mbak mau keluar,”
akupun merasakan dinding kemaluan Mbak Ana mulai menegang dan berdenyut begitu
juga batang kemaluanku mulai berdenyut hebat.

“Uuuhhhk.. aahh.. aku juga Mbak..” Kemudian tubuh Mbak Ana mengejang dan mempercepat goyangan pinggulnya lalu sesaat kemudian dia mencapai orgasme,
“Aaahh… uuuhh…” Terasa cairan hangat membasahi batang kemaluanku dan suara decakan itupun semakin membecek
“Jreeb… crak… jreb..” Akupun tak tahan lagi merasakan segumpalan sesuatu akan keluar dari lubang kencingku.

“Aaahhh… ooohhh… Mbak Anaaa…” Terasa tulang-tulangku lepas semua, begitu capek. Akupun tetap berada di atas tubuh sintal Mbak Ana. Kemudian kukecup leher dan mulut Mbak Ana,

“Makasih Mbak, Mbak Ana memang hebat..” Mbak Anapun cuma tersenyum manis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar